Hibernasi Kreatif di Musim Pandemi
Para musisi, yang biasa tampil sebagai macan panggung, seolah berhibernasi karena tak leluasa konser selama pandemi. Selama itu, mereka terus berkarya.
Industri musik Tanah Air seolah mati suri selama pandemi. Para musisi, yang biasa tampil sebagai macan panggung, seolah berhibernasi. Namun, mereka tetap produktif berlatih dan mencipta karya.
Sudah hampir genap setahun terakhir grup band cadas Tanah Air, Seringai, absen manggung. Akibat pandemi Covid-19, setidaknya 16 rencana roadshow live mereka di sejumlah kota di Tanah Air sepanjang tahun 2020 batal. Saat normal, dalam setahun, Seringai bisa tampil berkeliling rata-rata 50-60 konser.
”Sampai lupa, ya, kapan terakhir kali (Seringai) manggung live. Mungkin Desember 2019, ya? Sepanjang tahun 2020, belum pernah manggung lagi, sih,” ujar sang vokalis, Arian Arifin Wardiman alias Arian 13, Selasa (1/12/2020).
Untuk mengisi kekosongan, setiap personel band cadas ini tetap menyibukkan diri. Ada yang menggarap konten akun media sosial band atau pribadi. Sementara untuk menjaga daya musikalitas, para personel Seringai rutin berlatih di studio dan terus menciptakan karya-karya baru.
Kisah tak jauh berbeda dialami band asal Yogyakarta, Sheila On 7. Menurut sang basis, Adam Subarkah, akibat pandemi, sejumlah rencana manggung batal atau dijadwal ulang walaupun belum jelas sampai kapan. Kini, Sheila On 7 memutuskan untuk nonaktif.
Keputusan itu diambil karena mereka ingin menjaga Sheila On 7 berikut keluarga, penonton, dan mitra dari kondisi yang serba tidak pasti seperti sekarang.
Enggan konser virtual
Menariknya, baik Seringai maupun Sheila On 7 sama-sama tak menjadikan konser virtual sebagai pilihan untuk tetap eksis di era pandemi. Bagi Adam, Sheila On 7 merupakan band yang mengandalkan tampil langsung di atas panggung dengan berkonser mendatangi sejumlah kota di Indonesia.
Ia menambahkan, pihaknya sempat memikirkan untuk menggelar konser drive-in dengan penonton berada di dalam mobil. Akan tetapi, mereka akan melihat perkembangan lebih dahulu.
Sementara itu, bagi Seringai, konser virtual tak memiliki unsur fun, atau menyenangkan. Oleh Arian, konser virtual dianggap sama tak serunya seperti saat dia menonton pertandingan daring sang legenda tinju dunia, si leher beton Mike Tyson, baru-baru ini.
Dalam pertandingan Tyson melawan Roy Jones Jr itu, protokol kesehatan ketat diterapkan. Alhasil, pertandingan digelar tanpa kehadiran penonton di lokasi. Suasana di sekitar ring, yang seharusnya hiruk pikuk dipenuhi penonton, tampak kosong melompong. Hanya para kru dan petugas lainnya yang hadir di lokasi dalam jumlah sangat terbatas.
”Saat Tyson keluar, lalu naik ke atas (ring tinju), yang tepuk tangan sedikit. Jadinya, kayak nonton acara enggak laku gitu, kan?” ujar Arian yang kini dalam masa pemulihan setelah penyakit Gerd mengganggu pita suaranya.
Artis pop dengan kiprah mendunia, Agnez Mo, juga belum menjadikan konser virtual sebagai pilihannya. Menurut Agnez, saat bernyanyi, dirinya harus bisa merasakan langsung kehadiran energi penonton dari atas panggung. Energi dari antusiasme dan histeria spontan penggemar saat lagu dimainkan, ditambah tata suara, lampu, dan panggung yang mendukung, menjadi penyemangat bagi Agnez.
”We feel the lighting, the sweat, the heat (Kami merasakan pencahayaannya, keringatnya, panasnya). Mendengar suara artisnya tampil. Walau punya CD-nya, orang selama ini akan tetap datang ke konser,” ujar Agnez, 23 November 2020, di acara Entertainment Outlook oleh Eventori.
Energi penonton itulah yang juga menurut Arian terlebih sangat dibutuhkan dalam pertunjukan genre musik grupnya. Aliran energi seolah terus memuncak sepanjang konser, apalagi saat para penggemar Seringai ikut bernyanyi. Hal itu juga terasa saat mereka melakukan beragam ”ritual” konser musik cadas, seperti headbanging, moshing, atau tarian bersama membentuk pusaran di depan panggung (circlepit).
”Penonton menyanyi bersama-sama dan grup band bisa mendengar langsung dari atas panggung. Kalau (konser) daring, ya, mungkin bisa ada sing along, tetapi tetap beda. Enggak terasa kegilaannya,” sanggah Arian.
Walaupun tidak bisa berkonser live, band Seringai bukannya sepi tawaran. Menurut sang manajer, Wendi Putranto, sepanjang tahun 2020, ada 15 tawaran konser virtual, tetapi semuanya ditolak. Wendi menceritakan hal itu saat berbicara di webinar Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) yang membahas konser virtual, Rabu (2/12/2020).
Inovasi menarik penonton
Dalam artikel ”Concerts Aren’t Back. Livestreams Are Ubiquitous. Can They Do the Job?”, The New York Times menulis, konser daring di masa pandemi terus berevolusi. Awalnya, konser daring sekadar aktivitas iseng di masa lockdown saat beberapa musisi berinisiatif tampil personal di akun media sosial mereka. Penampilan serba seadanya dari rumah masing-masing demi mengobati rindu penggemar.
Setelah itu, marak bermunculan konser virtual yang jauh lebih serius, terutama untuk mencari donasi bagi mereka yang membutuhkan. Sampai kemudian, sebuah konser virtual, yang digelar band K-pop, BTS, dinyatakan sebagai yang paling sukses dengan meraup keuntungan hingga 20 juta dollar AS, setara Rp 283 miliar.
Dalam diskusi virtual oleh DKJ, Wakil Presiden Loket.com Ario Adimas menyebut pertumbuhan minat penonton terutama di Indonesia mengakses konser virtual berbayar terbilang tinggi. Dia meyakini angkanya masih akan naik.
Loket.com mencatat jumlah tertinggi penjualan tiket konser virtual saat menangani konser ”Selamat Ulang Tahun” Nadin Amizah, November lalu. Sebanyak 4.000 tiket terjual.
”Sebelum Nadin, kondisi konser virtual kita sebetulnya sedang mencapai titik jenuh. Orang jenuh dan menunggu ada konsep baru,” ujar Ario.
Saat pihaknya meriset, kebanyakan orang ternyata kepingin konser virtual di Indonesia bisa cepat mengadopsi konsep-konsep di luar negeri. Biasanya mengacu pada apa yang terjadi di Korea Selatan.
Di Korsel, konser virtual digarap dengan konsep panggung dan penampilan layaknya konser luring, full production, menggunakan tata cahaya dan suara panggung canggih. Penyanyi pop Latin, Ricky Martin, menerapkan hal yang sama.
Demi memanjakan para penggemarnya, Ricky, seperti dikutip AFP, berencana menggunakan teknologi suara konser virtual termutakhir. Hal ini memungkinkan orang mendengar suara seperti saat menonton konser live. Sistemnya bernama audio orbital.
Di Tanah Air, penggagas Konser 7 Ruang, Donny Hardono, juga berencana melengkapi semua ruang di studionya dengan kamera bergerak robotik. Setiap kamera mampu merekam dalam empat posisi. Sejak awal pandemi, Konser 7 Ruang sukses menggelar 92 konser virtual sejumlah nama besar musisi Indonesia.
Selain berinovasi dalam bentuk teknologi, para musisi juga diminta menawarkan konsep dan ide panggung yang menarik serta orisinal. Dengan begitu, orang akan bersedia merogoh kocek lebih dalam untuk membeli tiket menonton.
Kita tunggu akan seperti apa wajah dunia perkonseran ini. Sebab, di lubuk hati terdalam, siapa pun kini haus hiburan!