Film sejarah di Indonesia masih idnetik dengan reka ulang fakta peristwa besar. Sebenarnya akan lebih menarik kalau ada yang membuat film sejarah eksperimental.
Oleh
ELSA EMIRIA LEBA
·5 menit baca
Film sejarah bukan barang baru di Tanah Air. Namun, film-film sejarah ini masih identik dengan reka ulang fakta-fakta dari peristiwa besar atau kehidupan tokoh di masa lalu. Para pembuat film belum berani bereksperimen untuk menciptakan film sejarah dari hasil interpretasi yang lebih personal.
Dinamika perkembangan film sejarah Indonesia dibahas dalam diskusi virtual Bincang Kamis (Bingkis): Sejarah dalam Pendaran Layar yang diselenggarakan Goethe-Institut Indonesien, Kamis (19/10/2020). Dalam diskusi ini, anggota Forum Lenteng, Anggraeni Widhiasih; Pengajar Prodi Film, Universitas Multimedia Nusantara, Umi Lestari; dan Sutradara Yosep Anggi Noen hadir sebagai pembicara.
Peristiwa bersejarah di Indonesia mulai terekam sejak tahun 1950-an. Film-film bertema kebangsaan bermunculan, seperti Darah dan Doa (1950) dan Enam Djam di Jogja (1951) karya sutradara Usmar Ismail, Si Pintjang (1951) karya Kotot Sukardi, Sedap Malam (1951) karya Ratna Asmara. Dalam film-film itu, pemuda berperan besar terhadap perjuangan kemerdekaan bangsa.
“Ini berbeda dibandingkan tahun 1940-an. Geng The Teng Chun pernah membuat film romansa tapi karakter pemuda berbanding terbalik karena dianggap hanya senang bersenang-senang,” kata Umi.
Citra pemuda Indonesia telah berkembang setelah sebelumnya digambarkan sebagai kelompok yang suka bersenang-senang dalam film-film romansa tahun 1930-1940-an dari produser atau Tan Khoen Yauw.
Sejak tahun 1950-an, kebanyakan film-film itu terinspirasi dari kisah nyata. Film Darah dan Doa dan Enam Djam di Jogja berasal dari pengalaman Usmar ketika menjadi tentara. Sementara itu, film Sedap Malam terinspirasi cerita penyintas perempuan perbudakan seks tentara Jepang.
Pengaruh pemerintah terhadap pembuat film terlihat di zaman Orde Baru yang berlangsung sejak 1960-an. Pemerintah menggelontorkan dana agar pembuat film membuat film sejarah versi sudut pandang negara. Sebut saja film kontroversial berjudul Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI (1984) oleh Arifin Chairin Noer yang membahas gerakan komunis di Indonesia.
Ada juga pembuat film yang berusaha menyentil pemerintahan Orde Baru melalui karyanya. Salah satunya adalah Nawi Ismail lewat seri film Benyamin. Dalam film komedi Benyamin Tukang Ngibul (1975), Benyamin mengalami sederet kesialan setelah menemukan sepatu boots. Sepatu boots dapat dimaknai sebagai metafora dari Angkatan Bersenjata Indonesia pada waktu itu.
Di masa pasca-reformasi, film sejarah tetap banyak terinspirasi dari fakta peristiwa besar atau kehidupan tokoh di masa lalu, misalnya Soekarno (2013), Kartini (2017), dan trilogi Habibie & Ainun (2012-2019). Meskipun memang ada beberapa film, seperti Ziarah (2017), yang mengambil dari sudut pandang lain dari keluarga pejuang.
Selain itu, negara pasca-reformasi tidak lagi menggelontorkan dana untuk membuat film semasif dulu. Film-film sejarah justru mulai banyak digagas oleh para pemodal.
Belum eksperimental
Anggi mengatakan, film sejarah biasanya terinspirasi dari sebuah peristiwa. Sayangnya, pembuat film Tanah Air kerap hanya fokus mengulik cerita peristiwa bersejarah besar. Mereka belum banyak menggali peristiwa kecil yang turut berperan kuat dalam membangun narasi sejarah yang besar.
Menurut dia, dalam membuat film tentang Pemerintahan Orde Baru, misalnya, pembuat film bisa menggali sisi lain selain pergolakan politik yang terjadi di Jakarta. Pembuat film bisa menceritakan situasi politik yang terjadi ketika terjadi pergantian kekuasaan di Nusa Tenggara Timur atau Bali.
Sebagai sutradara, Anggi berusaha untuk membuat film dari sudut pandang yang berbeda. Ini sekaligus untuk mendiversifikasi jenis film sejarah beredar di Tanah Air. Selama ini, film sejarah atau dokumenter yang banyak diproduksi lebih mengarah kepada film dokumenter yang bersifat jurnalistik.
“Itulah mengapa dokumenter eksperimental tidak berkembang. Sebagai penonton, saya bosan dengan sajian itu karena merasa kami tidak diberi kemungkinan baru untuk terlibat atau menggugat sejarah itu sendiri. Kita seperti dicekoki,” kata Anggi.
Upaya Anggi terlihat dalam Istirahatlah Kata-Kata (2017). Film ini menginterpretasi kehidupan penyair Wiji Thukul yang kerap mengkritik pemerintahan Orde Baru melalui puisi dan kesaksian orang sekitarnya.
Anggi mengakui, tidak semua adegan dalam film itu mencerminkan kenyataan. Namun, dirinya memang sengaja melakukan itu sebagai suatu bentuk dari proses kreatif. “Penulisan sejarah fiksi bisa menjadi pintu masuk melihat konteks lebih besar,” tuturnya.
Anggi berharap, pembuat film di Tanah Air lebih berani untuk bereksperimen, menginterpretasi, dan mengkritik kejadian bersejarah. Pembuat film tidak perlu berpatokan terhadap akurasi sejarah dan genre karena film merupakan karya seni.
Apalagi, pasar untuk film sejarah yang bersifat eksperimental tersedia. Film drama komedi Jojo Rabbit (2019) karya Taika Waititi, misalnya, memparodikan pemimpin Nazi, Adolf Hitler, sebagai teman khayalan tokoh utama, Johannes "Jojo" Betzler. Film ini memenangkan Piala Oscar untuk kategori Skenario Adaptasi Terbaik pada tahun ini.
Umi menambahkan, pembuat film juga dapat bereksperimen dengan membuat alur film yang yang lebih menarik. Selama ini, film sejarah di Indonesia mengimplementasikan alur maju. Padahal, banyak alternatif alur yang bisa diterapkan.
Film yang bermain-main dengan alur mundur, meskipun bukan film sejarah, adalah Peppermint Candy (1999) karya Lee Chang-dong dan Memento (2000) karya Christopher Nolan. “Yang masih belum dieksplorasi pembuat film adalah bahasa visual dalam film itu sendiri,” kata Umi.
Bukan beban
Anggraeni berpendapat, tuntutan agar film sejarah di Indonesia selalu merujuk terhadap fakta kemungkinan muncul karena penonton mengambil film sebagai rujukan. “Situasi dalam film sejarah ditarik masuk ke kenyataan sehari-hari penonton, terus kembali ke film,” tuturnya.
Akan tetapi, lanjutnya, yang perlu disadari adalah film bukan hanya rekonstruksi peristiwa bersejarah. Film juga merupakan kumpulan kenyataan, imajinasi, dan spekulasi dari sudut pandang pembuat film. Perspektif si pembuat biasanya tidak kelihatan dan terkadang bersifat abstrak.
Anggi menambahkan, film sepatutnya tidak mendapatkan beban sebagai medium yang bertanggung jawab untuk mengarahkan persepsi orang. Beban untuk tetap merujuk pada fakta justru membuat gerak film sebagai karya seni yang interpretatif menjadi terbatas.
“Saya sebagai pembuat film menyadari untuk terus masuk ke dalam ruang populer untuk mempromosikan film sejarah sebagai karya seni. Kami harus lebih komersial,” ujar Anggi.