Kekalutan ini beranjak menjadi kenakalan remaja. Dalam beberapa dialog, Theo kecil maupun dewasa menekankan kehidupannya akan baik-baik saja jika ibunya tak meninggal. Itu cuplikan film ”The Goldfinch”.
Oleh
Riana A Ibrahim
·4 menit baca
Kehidupan keluarga pascaperistiwa terorisme berulang kali diangkat ke layar Hollywood. Dari dokumenter hingga fiksi. Ada yang sukses mengaduk emosi, tetapi tak sedikit yang kurang tajam menyampaikan pesan dari latar belakang kejadian yang mencerabut nyawa suatu keluarga, bahkan masa depan orang per orang.
Berlatar sebuah kamar hotel di Amsterdam, Theodore Decker yang diperankan Ansel Elgort mencoba bunuh diri dengan menyayat pergelangan tangannya. Perasaan bersalah atas kematian ibunya bercampur rindu terus menghantuinya. Ibu Theo menjadi salah satu korban tewas dalam peristiwa pengeboman oleh teroris di Metropolitan Museum of Art, New York.
Dari kamar hotel itu, latar berpindah ke sebuah apartemen mewah milik keluarga Barbour yang dipenuhi ragam lukisan. Tampak sesosok anak laki-laki diperankan Oakes Fegley berdiri sambil mendengarkan percakapan Nyonya Barbour (Nicole Kidman) dengan petugas dinas sosial. Sosok itu adalah Theo kecil seusai kehilangan ibunya.
Nyonya Barbour pun menerimanya tinggal karena Theo tak lagi memiliki keluarga. Ayahnya telah lama pergi tanpa kabar. Kebetulan Theo juga merupakan sahabat dari anak Nyonya Barbour, Andy. Ketertarikan Theo terhadap lukisan juga membuat Nyonya Barbour tak butuh lama untuk menyayanginya.
Belum lama menikmati kehangatan keluarga baru, ayahnya dan kekasih ayahnya datang menjemput Theo dan membawanya ke Las Vegas. Keluarga Barbour yang mulai menerimanya tak berdaya mencegah karena tak memiliki hak. Kehidupan Theo berubah signifikan setelah ikut dengan ayahnya.
Meski bertemu teman sepermainan bernama Boris yang diperankan Finn Wolfhard, kekosongan dan bayangan tentang pengeboman itu terus muncul. Ditambah lagi, Theo membawa sebuah rahasia. Seusai kejadian tragis itu, lukisan Carel Fabritius berjudul ”The Goldfinch” yang dikira hancur akibat pengeboman nyatanya dia bawa.
Kekalutan ini beranjak menjadi kenakalan remaja, seperti minuman keras hingga narkoba. Dalam beberapa dialog, Theo kecil maupun dewasa menekankan kehidupannya akan baik-baik saja jika ibunya tak meninggal.
Kejadian saat dirinya berusia 13 tahun itu terus membekas meninggalkan trauma mendalam sekaligus menjadi benang merah dari kisahnya yang tertuang dalam film The Goldfinch yang ditayangkan HBO Go pada 17 Oktober 2020. Film besutan sutradara John Crowley ini merupakan adaptasi dari novel berjudul sama yang ditulis Donna Tartt pada 2013 dan meraih penghargaan Pulitzer pada 2014.
Dalam wawancara dengan Times, Crowley yang teruji memindahkan cerita novel ke layar lebar ini tak ingin meninggalkan detail sekecil mungkin dari novel itu. ”Lompatan besar dari halaman ke layar, menjadi nonlinear,” ujar Crowley yang memilih alur mundur lalu dikembalikan pada kelanjutan dari adegan pembuka di dalam kamar hotel.
Namun, keinginan Crowley memasukkan secara rinci 784 halaman novel ini justru membuat film ini kehilangan rasa. Kritik ini muncul pula seusai ditayangkan di Toronto International Film Festival. Crowley memang digadang mampu meracik apik seperti saat dirinya mengadaptasi novel Brooklyn milik Colm Toibin menjadi film berjudul sama pada 2015 dan memperoleh nominasi Academy Awards untuk kategori Best Adapted Screenplay.
Mengemas cerita ratusan halaman menjadi film berdurasi 145 menit tanpa ingin meninggalkan tiap detail kisah tentu sangat ambisius. Meski dibagi dalam dua fase, yakni masa Theo kecil dan Theo dewasa, tiap penggal kisahnya hanya terulas sekelumit demi sekelumit. Pengolahan emosinya pun menjadi tanggung. Seperti ketika Theo kecil melarikan diri dari rumah ayahnya dan kembali ke New York dengan naik bus. Rasa sedih belum mencapai klimaks, tetapi latar adegan sudah berganti pada Theo dewasa dengan kisah cintanya.
Bahkan, pesan bahwa orang dapat mengobati kerinduan dan kehilangan serta mengatasi trauma lewat seni tanggung tersampaikan. Terlebih lagi, seni tersebut diperkenalkan oleh orang terdekat. ”Ini semacam memberi tahu pentingnya mewariskan sesuatu, terutama terkait seni. Jika kamu tergerak atau tersentuh dengan karya seni, menjadi tanggung jawabmu untuk meneruskan ke keturunanmu,” ujar Crowley.
Kendati demikian, film ini terselamatkan sinematografi yang digarap teliti oleh Roger Deakins. Pria ini dikenal lewat karyanya yang memperoleh Academy Awards seperti 1917 (2019), Blade Runner 2049 (2018) dan meraih BAFTA Awards kategori sinematografi untuk dua film yang sama di atas dan No Country For Old Men (2008).
Sedikit berbeda jika melihat film Extremely Loud & Incredibly Close (2011). Film yang mengambil latar waktu pascaperistiwa 11 September itu sukses mengaduk emosi. Sama-sama berkisah tentang kehidupan seorang anak yang kehilangan orangtuanya karena menjadi korban terorisme. Filmnya pun sama merupakan adaptasi dari novel.
Dengan pemilihan Tom Hanks sebagai pemeran utama, film ini sempat disebut-sebut sebagai ”Oscar-bait”. Namun, pada akhirnya, film ini memang masuk nominasi Academy Awards untuk kategori Best Picture dan Best Supporting Actor.
The Goldfinch juga dijuluki serupa karena memasang Nicole Kidman dalam jajaran pemain, ditambah sinematografi dan tema cerita yang mudah dilirik para juri piala Oscar. Kehadiran Elgort sebagai pemeran utama semula dinilai pula mampu mendongkrak film. Walakin, akting nomine Golden Globe Awards 2017 lewat film Baby Driver ini justru tergilas Fegley.
Aksi terorisme memang selalu melahirkan luka mendalam bagi keluarga korban dan penyintas. Berbagai medium, termasuk seni, kerap disasar para penyintas untuk menyembuhkan dan mengubur masa kelam. Ada yang bangkit, ada yang masih terus berjuang mengikis trauma. Apa pun itu, mereka butuh ditemani agar tak salah jalan dalam mencari terang pasca-kehilangan.