Letupan Energi Seni-Teknologi
Media Art Globale 2020 yang digelar pada 20-30 November 2020 secara virtual memadukan instalasi seni dengan permainan tata cahaya, tata suara, dan tata visual.
Tantangan di tengah ketidakpastian menggerakkan para pelaku seni media baru ke cakrawala yang semakin luas. Dengan memadukan keindahan seni dan kemutakhiran teknologi, tercipta karya yang menggugah. Ada referensi, cita rasa, dan pengalaman baru untuk terus dijelajahi di masa depan.
Sepasang demi sepasang mata dengan pancaran, kedipan, dan ekspresi masing-masing menghiasi layar diiringi lantunan musik mendayu. Dua bola mata yang disorot sangat dekat itu didahului dengan kutipan kata-kata pemiliknya. Kisahnya beragam, tetapi semua bertutur tentang kehidupan mereka hari itu, menyuguhkan rasa haru.
Di antaranya ada penjual lontong yang dagangannya tidak laku, kurir yang tak pernah libur menyusuri jalanan, ibu rumah tangga yang bersyukur bisa berkumpul dengan keluarga, kuli bangunan yang masih bisa mendapatkan pekerjaan, serta mahasiswa yang tak henti dijejali tugas.
Video hitam putih berjudul ”It Is What Is It” karya Notanlab, sebuah lab kreatif asal Bandung, menggunakan pendekatan teknologi, sains, seni, dan desain untuk menyampaikan gagasan. Dalam catatan karya, Notanlab menyebutkan, kita sering melihat orang paling sedih menunjukkan senyum paling cerah.
”Mempelajari perilaku seseorang tidak pernah cukup hanya dengan memperhatikan kemampuan mereka. Jauh lebih baik ’membaca’ seseorang dengan mempelajari gerakan mata mereka. Mata adalah satu-satunya organ tubuh yang bisa memperlihatkan kebenaran,” sebut Notanlab.
Notanlab menjadi bagian dari 21 seniman yang karyanya dipamerkan dalam Media Art Globale (MAG) 2020 yang digelar pada 20-30 November 2020 secara virtual. Paduan instalasi seni dengan permainan tata cahaya, tata suara, dan tata visual menyapa para pengunjung festival seni media baru berbasis teknologi dan sains tersebut.
Begitu masuk di laman www.mediaartglobale.com sebagai ruang pameran, pengunjung akan disambut dengan semacam ”lobi” dalam ruangan virtual reality 360 guna membuat pengunjung merasakan sensasi hadir secara langsung.
Pengunjung bisa memilih untuk masuk dalam lima dunia (realm) berisi karya para seniman dengan kategorisasi masing-masing. Seniman dalam dan luar negeri ini datang dari beragam latar belakang, seperti perupa, musisi, aktivis, arsitek, studio motion, coding artist, creative lab, sound engineer, juga seniman mural. Mereka merespons tema besar ”Quantum Land” yang terinspirasi letupan energi dari upaya-upaya untuk tetap menyelaraskan hidup dan menciptakan harapan untuk keberlangsungan dunia ke depan, terlebih di tengah situasi tidak pasti seperti sekarang.
Ruang hidup
Melalui bermacam medium, pengunjung diajak membayangkan, memvisualisasikan, dan menciptakan ruang hidup yang ideal versi masing-masing. Realm Genesis mempersembahkan karya Motionbeast, Eldwin Pradipta, Ady Setiawan, dan Kei Kusuma. Isu yang diusung adalah harmonisasi kejadian masa lalu dan masa depan di masa sekarang.
Ady Setiawan, misalnya, menampilkan karya ”Zoetropia”, sebuah instalasi yang menampilkan rangkaian tata cahaya dan gerak untuk menghasilkan bentuk dan pola yang indah dan harmonis. Menggunakan media zoetrope (alat yang menghasilkan gambaran atau ilusi akibat pergerakan cepat dari gambar statis) dan proyeksi mapping, Zoetropia memvisualisasikan hubungan selaras antara manusia, hewan, tumbuhan, dan alam.
Realm Enigma menyuguhkan karya dari Monica Hapsari, Paul Bai, Dwi Putro, dan Notanlab. Karya mereka merefleksikan interaksi pikiran terdalam manusia dengan apa yang dilakukan dalam keseharian dengan medium suara, tubuh, dan manusia.
”The Land of the Sun (Surya Namaskara)” karya Monica Hapsari menampilkan eksperimen laboratorium berupa instalasi 360 derajat dengan paduan komposisi suara dalam tujuh frekuensi selama 16 menit. Ruang berlatar merah terang dengan suara-suara itu sejatinya adalah tempat meditasi, untuk kabur dari dunia luar, masuk ke dalam diri.
”Temanya tentang matahari dari terbit hingga tenggelam. Sebenarnya kalau kita melihat di titik yang sama, tidak terlihat bedanya. Karya ini bicara tentang pandemi, kematian, kehancuran, yang bukan akhir, tapi awal siklus hidup yang lain. Energi bertransformasi. Matahari tidak mungkin terbit terus, kan? Artinya kita tidak bisa harus be positive terus, tidak sehat. Kalau tidak menerima negatifnya, bagaimana memahami positifnya,” papar Monica saat konferensi pers virtual, Selasa (17/11/2020).
Dwi Putro menampilkan teatrikal lukisan berjudul ”Ruwat”. Karya-karya lukisan Dwi Putro diisi dengan cerita yang dirangkai dalam sebuah video. Dari karya abstrak yang mengibaratkan alam dengan segudang permasalahan, ditingkahi tarik-menarik antara keburukan dan kebaikan yang diwakili lukisan wayang Pandawa-Kurawa, lalu dipulihkan oleh pandemi menjadikan bidang putih tempat kelahiran baru yang direpresentasikan lukisan anak-anak ayam.
Terobosan
Di Realm Nexus, ada karya WSTG, Renjani Damais, Patub Porx, Bjarne Jensen, Hysteria, dan Rubi Roesli yang menjelaskan komunikasi lintas generasi lewat medium analog dan digital. Rubi lewat karyanya, ”Instalasi String Seri 8, Perspektif, Persepsi, dan Interaksi”, mengajak pengunjung membubuhkan dua huruf dari nama mereka, lalu menekan empat tombol yang tersedia untuk mengubah warna-warna instalasi string secara langsung dan nyata. Dengan cara itu, Rubi menyatakan bahwa koneksi digital sekarang ini membuat dampak ke bentuk fisik.
”Saya mencoba mengintegrasikan ruang kita sekarang dengan ruang digital. Teknologi membawa kita ke ranah baru untuk menikmatinya. Saya bicara dengan garis, ada silangan dengan teknologi, lalu mencoba memasukkan unsur teknologi di dalamnya, yang merupakan dunia di ’seberang’ dunia saya selama ini,” tutur Rubi.
Masih ada Realm Magna yang menampilkan karya enam seniman pendatang baru hasil open call yang diikuti 60 seniman dari 23 negara. Mereka menyajikan eksperimen dengan kinetik, tanaman, hingga papan selancar. Realm Master menyajikan bincang-bincang dan pelatihan dalam membuat karya yang memadukan seni, sains, dan teknologi.
Kurator MAG 2020, Mona Liem, menuturkan, ajang ini merupakan pertunjukan proses berkarya dengan seni media baru. ”Dengan cara ini seni tidak berhenti pada karya pajangan. Kami ingin agar seni pun bisa menjadi penyokong sebuah masyarakat. Misalnya, ketika seniman dan ilmuwan bertemu, mereka bisa membantu pengembangan pertanian atau industri otomotif,” tuturnya.
Sejumlah seniman mengakui bahwa pameran virtual tidak akan bisa menggantikan pameran secara fisik, terlebih dalam pengalaman rasa. Namun, tidak perlu pula rasanya membandingkannya. Menurut Mona, justru ”perkawinan” beragam medium ini bisa menghadirkan terobosan, gairah, dan persepsi baru yang lebih menyemarakkan dunia seni.