Bukan Lakon Negeri Dongeng
Tak cukup dengan rangkaian acara seremonial, pencitraan mati-matian yang penuh kepura-puraan juga merupakan siasat krusial dalam strategi mempertahankan monarki.
29 Juli 1981, rakyat Inggris berpesta merayakan kisah dongeng yang terwujud. Seorang gadis sederhana berhasil menaklukkan hati sang pangeran. Gaun putih yang indah, tiara yang berkelip, arak-arakan kereta kencana, dan sang putri turun dengan anggun sambil melambaikan tangan dan tersenyum. Ah, bahagianya menjadi putri.
Sekilas pernikahan Pangeran Charles (Josh O’Connor) dan Putri Diana (Emma Corin) yang pernah disebut termegah di dunia pada era 1980-an itu masuk dalam menu cerita serial, The Crown, yang memasuki musim keempatnya. Serial orisinil milik Netflix ini telah tayang sejak 15 November 2020 sesuai jadwal meski sebagian rencana cerita sedikit berubah karena pandemi.
Selain kemunculan sosok Diana, musim ini juga mengangkat sepak terjang perdana menteri perempuan pertama di Inggris, Margaret Thatcher, yang diperankan Gillian Anderson. Kehadiran Diana dan Thatcher yang bukan berasal dari lingkaran kerajaan dalam jagat cerita kian menegaskan sulitnya menembus lingkungan istana yang kaku dan tertutup.
Sejak awal musim serial ini tayang pada 2016, benturan antara sikap dan pendapat pribadi dengan protokol kerajaan terus disuguhkan. Bahkan, Ratu Elizabeth II (Claire Foy) mendapati dirinya terpaksa dimusuhi adiknya, Putri Margaret (Vanessa Kirby), karena keputusan yang mengacu pada aturan kerajaan.
Berulang kali sang pemegang mahkota ini juga mau tak mau menahan pendapat pribadinya untuk berbagai hal. Alarm pengingat juga selalu berbunyi dari orang di sekitarnya ketika ia berupaya untuk menerobos sekat tebal yang menghalanginya. Hingga pada akhirnya, ia memilih menjalani pakem tersebut demi keberlangsungan monarki.
”Tidak bersuara dan berpendapat, itu adalah hidup kita,” ucap Elizabeth kepada Charles saat putra mahkotanya menyampaikan pandangan pribadinya dalam pidato penobatan dirinya sebagai Pangeran Wales.
Inggris memang berupaya keras mempertahankan sistem monarki yang mengurat sejak ratusan abad silam dengan aneka cara. Filsuf Jean Jacques Rousseau pernah meramalkan sistem monarki akan kandas dengan sendirinya karena dianggap tak lagi relevan. Terbukti pada masa Perang Dunia I. Sejumlah kerajaan besar yang ada di Jerman, Rusia, dan Austria dilibas habis oleh gerakan yang menginginkan perubahan dan kesetaraan.
Inggris sempat memasuki masa genting di masa Raja George V yang merupakan kakek dari Ratu Elizabeth II. Kala itu berkembang gerakan anti-Jerman di Inggris dan ketegangan dengan Rusia. Padahal, silsilah keluarga kerajaan tak bisa dilepaskan dari Jerman dan Rusia. Wangsa yang menaungi George V pun sesungguhnya diwariskan dari Jerman yang merupakan asal moyangnya.
Namun, ketakutan yang besar berkaca pada ambruknya monarki di Rusia dan Jerman, pilihan untuk mengganti nama wangsa pun diambil pada 1917. Demi mengantisipasi gerakan anti-Jerman, melalui sekretaris pribadi raja, Lord Stamfordham, Wangsa Saxe-Coburg Gotha yang kental nuansa Jerman berganti nama menjadi Wangsa Windsor yang berasal dari bahasa Inggris kuno dan digunakan hingga kini. Inilah yang di masa kini disebut sebagai strategi rebranding.
Selain itu, anggota kerajaan yang semula memakai bahasa Jerman sehari-hari juga dipaksa membiasakan diri berbahasa Inggris. Semua itu demi mengentalkan kualitas keinggrisan wangsa keluarga kerajaan yang berkuasa. Potongan sejarah itu bisa disimak dalam mini seri The Royal House of Windsor, juga di Netflix.
Dalam salah satu episode, Pangeran Philip (Matt Smith) yang merupakan suami dari Ratu Elizabeth II mendesak istrinya agar memakai nama keluarga dan wangsa Mountbatten sesuai dengan nama belakangnya. Walau sang ratu sebenarnya juga menginginkan, permintaan itu ditolak mentah oleh pemerintah dan pihak kerajaan karena rentan membangkitkan kembali gerakan anti-Jerman.
Kebiasaan tur ke negara persemakmuran dan mengunjungi masyarakat juga diawali pada masa Raja George V demi menjaga kepercayaan dan kecintaan masyarakat terhadap kerajaan. Pada masa Ratu Elizabeth II, hubungan dengan masyarakat dibuat lebih terbuka dengan diundangnya warga dari berbagai kalangan untuk bertemu ratu di Istana, walau sarung tangan ratu dan ibu suri tetap terpasang saat bersalaman dengan rakyat.
Upaya tersebut terjadi setelah mendengar masukan dari bangsawan dan pemilik media, Lord Altrincham, yang mengkritik lewat tulisannya. Fragmen itu ditunjukkan pada musim kedua serial yang memenangi Emmy Awards dan Golden Globe Awards ini.
Negeri dongeng
Tak cukup dengan rangkaian acara seremonial, pencitraan mati-matian yang penuh kepura-puraan juga merupakan siasat krusial dalam strategi mempertahankan monarki. Demi monarki seolah-olah tetap relevan dengan zaman. Pangeran Philip sendiri dalam salah satu episode mengumpamakan segala ritual istana bagai pertunjukan sirkus.
”Satu hal tentang monarki. Kita harus lihai menutupi masalah. Selama kita melakukan dengan tegas dan percaya diri, tak ada yang menyadari bahwa kita tengah hancur. Itu yang harus kita lakukan,” ujar Margaret kepada Elizabeth di akhir musim ketiga.
Tak ada ruang untuk menjadi diri sendiri, karena itu tabu dalam lingkungan kerajaan. Margaret yang sempat dibela media ketika rencana pernikahannya dengan seorang duda dilarang gereja dan pemerintah, berbalik dicibir karena pembawaannya yang ceplas-ceplos. Putri Anne yang mempertahankan karakternya justru disebut penggerutu oleh media dan masyarakat. Begitulah risiko keluarga kerajaan ketika menunjukkan diri yang sejati.
Oleh karena itu, pihak istana mengatur tiap detail dan memoles semuanya sehingga yang terlihat hanya kesempurnaan. Bahkan, sebisa mungkin, berita miring tentang keluarga kerajaan dibungkam tidak terbit dengan mengancam pemilik medianya. Diana pun pada akhirnya terjebak hanyut dalam pusaran ini, gelombang fiksi.
Kehidupan yang dijalaninya bersama pangeran idamannya merupakan rangkaian mimpi buruk. Si ceria Diana berubah pemurung hingga mengidap bulimia sesaat setelah pertunangannya diumumkan dan dirinya pindah ke Istana Buckingham. Tak ada satu pun teman bercerita. Sang pangeran pun asyik dengan mantan kekasihnya, Camilla Parker-Bowles, tanpa memedulikan Diana.
Gambaran yang muncul pada musim keempat ini dikritik keras oleh Pangeran William yang menuding serial ini sengaja mengeksploitasi hubungan ayah dan ibunya untuk meraup untung.
”Kami hanya berpegang pada cerita sesungguhnya walau sebagian di sejumlah episode tentu ada yang berasal dari penerjemahan dari peristiwa yang ada atau ditulis ulang agar berkesinambungan. Namun, untuk hubungan Charles dan Diana, sebagian besar sesuai,” sergah penulis naskah dan kreator serial, Peter Morgan.
Semula Diana sempat hendak membatalkan pernikahannya dengan Charles. Lagi-lagi hal itu pantang. Takdir sudah ditentukan. Sampai pada titik, Diana merasa kisah dongeng yang berubah tragedi harus segera ditamatkan. Babak ini direncanakan masuk pada musim kelima yang mundur penayangannya pada 2022.
Ada perubahan yang terjadi pada musim kelima dan keenam yang merupakan penutup serial ini. Mengikuti linimasa yang diterapkan penulis naskah, Peter Morgan, sosok ratu yang semula diperankan Claire Foy lalu beralih ke Olivia Colman, akan ditutup oleh Imelda Staunton.
Begitu pula sosok Margaret yang dipegang Vanessa Kirby dan Helena Bonham Carter, akan digantikan Lesley Manville. Peran Diana yang dimainkan aktris muda Emma Corin juga akan berpindah kepada Elizabeth Debicki. Dua musim terakhir nanti juga akan berkisar pada kerajaan di abad ke-21 hingga kini.
Di antara banyak monarki, kerajaan Inggris memang mampu bertahan di tengah gempuran zaman. Berbagai protokol kian longgar sebagai penanda adaptasi. Monarki Inggris melintasi zaman dengan satu garis merah cara, yakni merawat dongeng dengan segala siasat, demi tetap relevan di panggung dunia. Dongeng setidaknya adalah kepura-puraan yang tampil anggun, bukan jenis kebohongan yang buruk rupa.
Sebab, bagaimanapun, fakta yang dioplos dengan fiksi senantiasa adalah mantra kehidupan yang masih diimani manusia dalam meniti peradaban. Monarki bagai sebuah performance yang belum mengenal kata tamat. Versi tamat delusional yang senantiasa kita dambakan hanyalah: ”dan mereka hidup bahagia selamanya...”.
Sampai kapan?