Indonesian Dance Festival bertema IDF 2020.zip Daya: Cari Cara, 7-14 November 2020, dilangsungkan secara daring lewat kanal Youtube.
Oleh
Putu Fajar Arcana
·5 menit baca
Penari muda bernama Eka Wahyuni lahir di Berau, berdarah Bugis, berprilaku Berau, bergaya Jawa, dan berbahasa Indonesia. Namun, tidak ada yang benar-benar melekat pada dirinya. Setiap saat ia selalu disandingkan dengan Dayak, dan mungkin justru ia dilirik karena berbeda dari yang lain. Siapakah dia?
Dalam garapan tari bertajuk ”The Enchantment of Tari Gong”, Echa begitu ia dipanggil tak hanya mempertanyakan eksistensi dirinya sebagai bagian dari Indonesia, tetapi juga keberadaannya di tengah-tengah arus deras teknologi. Ia katakan, ”Aku Echa yang tengah berjalan di lorong pengalaman media untuk menemuimu.” Proyek itu dipentaskan untuk pertama kali dalam Indonesian Dance Festival bertema IDF 2020.zip Daya: Cari Cara, 7-14 November 2020, yang dilangsungkan secara daring lewat kanal Youtube.
Garapan tari yang dikerjakan Echa sesungguhnya bisa jadi semacam refleksi diri bagi tubuh manusia di tengah beragam badai belakangan ini. Setelah delapan bulan manusia ”terkarantina” di tengah-tengah pandemi Covid-19, banyak di antara kita mulai terengah-engah. Tubuh-tubuh yang terjalin dalam ikatan sosial, sebagaimana dalam koreografi bertajuk ”Buron Peken dari Putu Bagus Bang Sada Graha Saputra”, pada akhirnya harus ”sendirian”.
Ikatan sosial yang disimbolkan dengan menari di tengah-tengah kerumunan pasar, ”diseret-paksa” untuk memasuki ruang-ruang kehidupan yang tak hanya sempit, tetapi juga mengekang. Manusia tiba-tiba ”terpenjara” di dalam tubuhnya sendiri. Lihat saja komposisi bertajuk ”Suwung” yang dimainkan oleh Benny Krisnawardi. Dalam bingkai gambar-gambar videonya, ia masukkan proses pengujian darah, seperti rapid test, yang belakangan ini menjadi begitu mencekam.
Rapid test untuk mengetahui reaktif atau non-reaktif antibodi kita terhadap virus menjadi momen-momen yang menakutkan. Seolah-olah di situlah nasib tubuh itu ditentukan: apakah akan diisolasi atau justru ”terbebaskan”, tetapi tetap tak berdaya? Realitas ini ibarat takdir dan bukan pilihan yang bisa disadari. Maka, tubuh seolah-olah bertemu dengan kekosongan, suwung, tak mengerti terhadap kodrat dirinya.
Pertanyaan eksistensial
Koreografer kawakan Martinus Miroto mempertajam pertanyaan eksistensi ketubuhan lewat karya bertajuk ”Sadhana”. Karya yang tak lebih dari 4 menit ini mencoba mengajak kita untuk menyadari bahwa tubuh adalah jalan spiritual yang terkadang gagap memasuki wilayah kesejatian dirinya. Miroto mengekspresikannya lewat jari-jari yang tak henti mencari serta ekspresi wajahnya yang penuh pertanyaan. Penyair Pablo Neruda mempertanyakan kondisi ini dengan mengatakan, ”Siapakah aku ini, jika bukan aku yang kemarin….?”
Direktur Program Indonesian Dance Festival 2020 Ratri Anindyajati, Kamis (12/11/2020), mengatakan sebagai seorang penyintas Covid-19 dan penari, ia tak henti mempertanyakan eksistensi dirinya, terutama saat-saat menjalani isolasi di rumah sakit. ”Apakah saya masih Ratri yang dulu, atau sudah berubah menjadi Ratri yang lainnya?” Infeksi virus korona telah membuatnya merasa menjadi orang yang berbeda di satu sisi, tetapi disi lain ia terus berada di bawah bayang-bayang pandemi.
Dalam pada itu, mungkin banyak orang akan mengambil sikap seperti koreografi yang ditunjukkan oleh Retno Maruti, mencakupkan tangan dan berserah kepada Tuhan. Tuhanku, kami memohon karunia-Mu/Perasaan damai di hati bagi seluruh hamba-Mu/yang menderita karena cobaan/Cahaya terang menyinari/terlepas dari segala dosa yang membelenggu/Berkat limpahan kasih-Mu/Memberi kekuatan hamba-Mu/Tembus, melesat bagai anak panah lepas dari busurnya/.
Setelah menyanyikan tembang dalam bahasa Jawa itu, Retno Maruti benar-benar membidik dan melepaskan anak panah. Pertanyaannya, andaikan yang dimaksud anak panah itu tubuh manusia, melesat ke manakah ia ketika dunia yang dihuninya dikungkung oleh ketakutan dan kecemasan? Akankah Tuhan benar-benar memberinya perasaan damai setelah menderita karena cobaan?
Tubuh-tubuh tak hanya medium berekspresi, ia telah lama menjadi cangkang dari life body dalam istilah Ayu Utami, yang berbicara dalam sesi diskusi Indonesian Dance Festival 2020. Dan, tubuh hidup atau roh itu telah beratus-ratus tahun mengembara dengan membawa segala penderitaan dan kegembiraan yang melekat pada dirinya.
Keniscayaan teknologi yang tiba-tiba seolah menjadi jawaban belakangan ini atas keterkungkungan diri manusia dengan tubuhnya justru menjadi pertanyaan besar bagi kita semua. Jika IDF 2020 bersikutat dengan istilah Daya: Cari Cara, ia juga benar-benar menjadi bagian dari banyak pertanyaan umat manusia dewasan ini: Akankah teknologi berhasil membebaskan ketakutan dan kecemasan kita semua menghadapi segala ketidakpastian belakangan ini? Benarkah vaksin sebagai hasil dari akumulasi pengetahuan dan kemajuan teknologi kesehatan manusia benar-benar memberi jawaban terhadap semua pertanyaan itu?
Manusia sedang berkompetisi dengan dirinya sendiri. Koreografer Padmini Chettur, seseorang yang menggeluti tari Bharatanatyam secara radikal, menempelkan tubuhnya di tubir dinding puing sebuah candi, seperti terlihat pada gambar kiri. Ia membagi bidang gambarnya menjadi dua bagian, yang selalu tampak berlawanan. Pada gambar bidang kanan, ia menggerakkan kamera agar merekam gambar secara bergerak dan seolah terus menjadi pengendali atas waktu.
Apakah ini yang menjadi representasi realitas konkret yang dihadapi manusia hari-hari belakangan ini? Satu sisi ia dihadapkan pada tubir penderitaan, sisi lain ada sesuatu yang terus bergerak di luar batas-batas kesadarannya, tetapi telah lama menjadi pengendali hidupnya? Apakah itu yang bernama Zat Maha Pengendali itu? Tuhankah Engkau itu atau justru bayang-bayang diri manusia sendiri?
Jangan-jangan benar seperti dikatakan Echa: Aku berjalan di tengah lorong pengalaman media untuk menemuimu. Media yang ia maksud tak hanya teknologi, tetapi tubuhnya sebagai medium terjujur dari seluruh bahasa yang dimiliki manusia.
Mungkin itu yang selama ini luput dari ingatan kita. Begitu kan?