Hologram Diponegoro
Pameran ”Pamor Sang Pangeran” menghidupkan secara intim Pangeran Diponegoro. Ada aroma modern melalui dongeng cahaya, film animasi, dan hologram. Juga dihadirkan lukisan dan pusaka-pusaka Pangeran Diponegoro.
Karya seni dalam wujud aslinya sebagai lukisan kian mendapat sentuhan teknologi mutakhir dalam menghadirkan cara-cara baru untuk menikmatinya. Salah satunya dengan teknologi hologram untuk Pangeran Diponegoro yang ditafsir dari lukisan-lukisan sosok pangeran yang disebut-sebut sebagai berhidung jambu ini.
”Ada aroma modern dalam menghadirkan pameran Diponegoro kali ini,” ujar Peter Carey (72), sejarawan Inggris kelahiran Burma, yang mendedikasikan waktu cukup panjang untuk meriset sejarah Diponegoro ini.
Peter mengemukakan hal itu dalam perbincangan dengan wartawan di Museum Nasional Indonesia, di Jakarta, Kamis (5/11/2020), melalui saluran virtual. Peter bersama Nusi Lisabilla Estudiantin ditunjuk menjadi kurator pameran ”Pamor Sang Pangeran” di museum itu yang berlangsung pada 28 Oktober hingga 26 November 2020.
Ada aroma modern dalam menghadirkan pameran Diponegoro kali ini.
Pameran ini diprakarsai Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dalam rangka Pekan Kebudayaan Nasional 2020. Hal itu sekaligus menandai kepulangan terakhir salah satu pusaka milik Pangeran Diponegoro dari di Belanda, yaitu keris Kiai Naga Siluman, Maret 2020.
Kepulangan Keris Naga Siluman menyusul pusaka Diponegoro lainnya yang sudah dikembalikan Belanda sebelumnya. Di antaranya tongkat ziarah Kanjeng Kiai Cokro (2015), tombak Kiai Rondhan, pelana kuda Kiai Gentayu, dan payung kebesaran (1977).
Menurut Nusi, saat ini masih terus diupayakan pemulangan benda-benda rampasan perang Belanda dari Diponegoro lainnya. Di antaranya tali kekang kuda Diponegoro yang kini masih dalam penelitian.
Dipamerkan pula salinan Babad Diponegoro koleksi Perpustakaan Nasional Indonesia. Catatan tulisan tangan Diponegoro setebal 1.151 halaman itu dibuat selama perjalanan pengasingan ke Manado, Sulawesi Utara, sekitar tahun 1831-1832.
Nusi mengutip referensi yang menyebutkan naskah asli Babad Diponegoro saat ini tidak diketahui keberadaannya. Belanda sendiri menyimpannya dalam bentuk salinan.
Di buku itu, Diponegoro menulis dengan aksara Arab dan bahasa Jawa dengan sangat rapi. Penulisan huruf Arabnya dikenal sebagai Arab pegon, atau Arab gundul. Karena kerapiannya itu pula, ada yang menyangsikan itu sebagai keaslian tulisan tangan Diponegoro.
”Melalui pameran ini, kita ingin menghidupkan secara intim Pangeran Diponegoro. Ada aroma modern melalui dongeng cahaya, film animasi, dan hologram. Selain itu, dipamerkan pula koleksi-koleksi lukisan dan pusaka-pusaka Pangeran Diponegoro sebagai rampasan perang yang telah kembali, seperti balung (tulang) terpisah selama ini,” ujar Peter Carey, yang pernah menjadi tutor Sejarah Modern di Trinity College, Oxford, Inggris, 1979-2008, dan menaruh minat besar terhadap sejarah yang berkembang di wilayah Asia Tenggara, termasuk Indonesia.
Aroma modern
Pandemi Covid-19 juga mendorong pemerintah untuk merespons dengan kreativitas-kreativitas baru. Itu disebut Peter dalam pameran ”Pamor Sang Pangeran” sebagai aroma modern.
Ketika memasuki ruang pameran, pengunjung akan menyaksikan dongeng cahaya selama 15 menit. Dongeng cahaya dirancang menggunakan teknik video mapping atau pemetaan video yang diaplikasikan pada buku pop up komik manga. Ariyo Zidni dari komunitas Ayo Dongeng Indonesia menjadi narator dongeng cahaya itu.
”Pembuatan video mapping untuk dongeng cahaya ini jauh lebih rumit,” kata Mutiara Marthalena Nauli yang memproduksi pemetaan video untuk media dongeng cahaya tersebut.
Dongeng cahaya merupakan proyeksi gambar gerak yang dijatuhkan ke atas buku pop up, buku cerita yang tersusun dari lipatan kertas berisi komik manga membentuk tiga dimensi. Semburan cahaya proyektor ”menghidupkan” gambar-gambar komik tersebut.
Narator mengisahkan enam buku. Kisahnya tentang kehidupan Pangeran Diponegoro hingga akhir perjuangannya melawan Belanda. Teknik mendongeng yang dilengkapi pemetaan video ini diharapkan menarik minat pengunjung, terutama generasi milenial.
Setelah mengikuti dongeng cahaya, pengunjung diajak memasuki ruang pamer utama. Pertama kali, pengunjung disuguhi lukisan-lukisan tentang Diponegoro yang ditampilkan di layar dengan proyektor.
Muasal Pangeran Diponegoro yang disebut-sebut berhidung jambu dapat dijumpai dari salah satu sketsa yang ditampilkan di sini. Sketsa arang (charcoal) di atas kertas berukuran 30 x 70 sentimeter dengan pencipta anonim itu melukiskan Diponegoro di usia muda dengan nama Raden Ontowiryo atau Bendoro Raden Mas Mustahar.
Pembuatan sketsa diperkirakan di lingkungan Keraton Yogyakarta pada tahun 1805-1807. Diponegoro sendiri lahir pada tahun 1785 sehingga usianya saat dibuat sketsa itu sekitar 20 sampai 22 tahun.
Hidung Diponegoro digambar menyerupai bentuk jambu air, mengembang ke sisi kiri dan kanan. Ini ditafsir Peter Carey, Diponegoro memiliki hidung yang tidak mancung alias pesek.
”Ketika uji coba penampilan hologram Pangeran Diponegoro, Peter Carey berkali-kali meminta supaya hidung Pangeran Diponegoro dalam tiga dimensi itu dikurangi mancungnya,” ujar Nusi.
Di sketsa itu, kedua bibir Diponegoro mengatup rapat. Kedua bibirnya dilukiskan tipis, kedua matanya memiliki tatapan tajam. Pipi kiri dan kanannya tidak menampakkan cekungan. Diponegoro di masa muda itu tidaklah terlampau kurus.
Di layar proyektor, lukisan-lukisan lain tentang Diponegoro dari beberapa maestro, seperti Basuki Abdullah dan S Sudjojono, ditampilkan. Begitu pula karya-karya lukisan tentang Diponegoro ditampilkan dari para seniman yang beberapa waktu lalu memamerkan karya lukisan berdasarkan tafsir Babad Diponegoro di Yogyakarta.
Film animasi karya Subiyanto dan Peter Carey juga ditampilkan di pameran ini. Film ini mengisahkan perjalanan Diponegoro menuju pengasingannya dari Batavia ke Manado.
Duplikasi pelana kuda
Makin ke dalam ruang pamer, tampak hologram tiga dimensi Pangeran Diponegoro yang sedang berada di depan kuda kesayangannya, Kiai Gentayu. Di situ dipajang duplikasi pelana kuda dengan ukuran sesuai yang asli seolah-olah ada di punggung kuda itu.
”Ukuran kuda menyesuaikan pelananya dan ternyata itu kuda yang besar,” kata Marthalena.
Pangeran Diponegoro sendiri digambarkan bertubuh ramping dan tidak terlampau tinggi. Menurut Marthalena, ukuran tubuh Diponegoro yang kecil itu sesuai dengan karakter keahlian Diponegoro sebagai penunggah kuda yang tangguh.
Dikisahkan, Diponegoro memiliki istal yang luas di kediaman neneknya di Tegalrejo, Yogyakarta. Sebelum pecah peperangan, Diponegoro mempekerjakan sekitar 60 orang untuk merawat kuda-kudanya.
Hologram tiga dimensi tubuh Diponegoro yang digambarkan kurus itu juga mengambil referensi beberapa lukisan tentang Diponegoro. Latar peristiwa yang dituangkan berupa akhir peperangan yang menyengsarakan Diponegoro. ”Menurutku, Diponegoro seperti joki-joki kuda yang biasanya memiliki tubuh kecil dan ringan,” kata Marthalena.
Suasana itu dibangun Marthalena untuk melukiskan perpisahan Pangeran Diponegoro dengan kuda kesayangannya itu, kuda hitam yang berkaki putih semuanya. Hologram itu mengambil latar peristiwa sebelum terjadinya penyergapan pasukan gerak cepat Belanda yang dipimpin Mayor AV Michiels di Pegunungan Gowong, sebelah barat Kedu, Jawa Tengah.
Penyergapan persis pada tanggal kelahiran Diponegoro, 11 November 1829. Diponegoro berulang tahun ke-44, tetapi justru naas yang harus dihadapinya. Pasukan Belanda memporakporandakan pasukan Diponegoro dan dia nyaris tertangkap.
Dengan kaki terluka, Diponegoro melarikan diri. Sejumlah harta benda dan pusakanya dirampas pasukan Belanda, termasuk tombak Kiai Rondhan dan kuda kesayangan Kiai Gentayu beserta pelananya. ”Hologram ini tragedi hidup Pangeran Diponegoro yang menjadi pemimpin dan rela hidup menderita,” ujar Marthalena.
Di hologram, Pangeran Diponegoro dilukiskan sedang mengucapkan selamat tinggal kepada kuda kesayangannya, Kiai Gentayu. Kepala kuda Kiai Gentayu pun mengangguk-angguk. Ia seakan tahu salam perpisahan yang diucapkan tuannya.