Tak Redam meski Dibungkam
Katup-katup penyalur aspirasi generasi muda akhirnya jebol, kemudian mewujud gerakan anti-peperangan. Kaum ”hippie” berhimpun di konser fenomenal Woodstock di New York, AS.
Kekritisan anak muda terhadap berbagai isu untuk mendorong perubahan sosial lewat gerakan dan pemikirannya merupakan suara jernih yang patut didengar. Bukan dilawan dengan kekerasan. Bukan dicibir. Bukan pula dituding bermufakat jahat melawan negara.
”The whole world is watching!”
Gemuruh suara dari massa itu terdengar beberapa kali, menjadi mantra yang menggulirkan kisah nyata sejumlah anak muda dalam The Trial of Chicago 7. Film yang disutradarai Aaron Sorkin ini tayang di Netflix mulai 16 Oktober 2020.
Tahun 1968 yang melatari film ini memang dipenuhi kekisruhan. Meski banyak ditolak, kuota wajib militer yang menyasar anak muda Amerika Serikat terus ditambah oleh Presiden Lyndon B Johnson yang berasal dari Partai Demokrat. Sebanyak 382.386 anak muda dikirim ke Vietnam. Mereka harus berhadapan dengan Vietkong yang melancarkan ”Tet Offensive”. Menurut Buku Pintar 100 Peristiwa yang Membentuk Sejarah Dunia yang ditulis Bill Yenne dan Eddy Soetrisno, serangan Tet dilancarkan dengan penyerbuan besar-besaran.
Hingga berakhir, Perang Vietnam mengorbankan sekitar 47.000 prajurit AS yang usianya berkisar 16-28 tahun. Mereka kehilangan masa depan, bahkan dibantai di Vietnam akibat kewajiban mengikuti perang.
Katup-katup penyalur aspirasi generasi muda akhirnya jebol, kemudian mewujud gerakan anti-peperangan. Kaum hippie berhimpun di konser fenomenal Woodstock di New York, AS. Sebagian dari mereka meneriakkan ”make love, not war”. Wajib militer tak lagi dipandang sebagai patriotisme. Jiwa-jiwa yang terkoyak perang justru dicaci setibanya mereka di tanah air.
Kepelikan kian bertambah setelah dua tokoh yang getol memperjuangkan hak asasi manusia, yakni Martin Luther King Jr dan senator Robert Francis Kennedy, mati ditembak pada tahun itu juga.
Beberapa kelompok anak muda pun mengincar Konvensi Nasional Partai Demokrat ke-35 yang dihelat di Chicago sebagai momen berpendapat dan melakukan aksi damai. Unjuk rasa damai untuk menghentikan Perang Vietnam berujung kekerasan. Inilah pangkal plot The Trial of the Chicago 7.
Tom Hayden (Eddy Redmaine), Rennie Davis (Alex Sharp), Jerry Rubin (Jeremy Strong), Abbie Hoffmann (Sacha Baron Cohen), David Dellinger (John Carroll Lynch), Lee Weiner (Noah Robbins), dan John Froines (Daniel Flaherty) disidang pada 1969.
Mereka dituduh berkonspirasi memicu kerusuhan lewat unjuk rasa. Dari reka ulang dan berbagai kesaksian, kekerasan aparat memperuncing kerusuhan. Jelas dalam arahan Wali Kota Chicago Richard J Daley untuk menghabisi orang yang memicu unjuk rasa. Sebanyak 15.000 polisi dari Chicago dan pasukan antihuru-hara sengaja diturunkan.
Jaksa Agung Ramsey Clark (Michael Keaton) yang tidak bersedia menggugat para anak muda ini pun dicopot. Penggantinya, John Mitchell, memaksa jaksa federal Tom Foran dan Richard Schultz (Joseph Gordon-Levitt) mendakwa mereka dengan pasal konspirasi melakukan kerusuhan untuk hukuman 10 tahun penjara.
Satu terdakwa lainnya, yakni Bobby Seale (Yahya Abdul Mateen II) dari Black Panther Party yang ikut berorasi dalam unjuk rasa juga disidang bersama meski pria kulit hitam ini didakwa dengan tindakan yang berbeda.
Rasa geram terpicu karena hakim Justin Hoffman yang kentara memihak penuntut. Berbagai keberatan dan permohonan terdakwa yang diajukan selalu ditolak. Juri yang teridentifikasi membela terdakwa pun diganti. Seale juga diperlakukan diskriminatif.
Kepercayaan masyarakat berangsur lemah. Kalau pemerintah salah langkah, bisa semakin turun.
Relevan
Seperti beberapa film dan serial yang dibuatnya, kritik sosial dijahit rapi dalam setiap adegan berpadu dengan dialog menonjok. Ragam gugatan yang bersumber dari kejadian nyata, seperti kekerasan aparat, rasisme, pembungkaman pendapat terhadap anak muda yang kritis, permainan politik elite, hingga penegakan hukum pesanan pemerintah terasa relevan dengan masa kini.
”Ini juga sedang terjadi saat ini. Kekerasan penegak hukum terjadi. Pemerintahan saat ini tak memberikan ruang kebebasan berpendapat,” ujar Sorkin yang merekonstruksi setiap adegan lewat cerita langsung dari Hayden sejak 2006 hingga ia meninggal empat tahun lalu. Sorkin juga menyesuaikan dengan 21.000 halaman transkrip persidangan yang dibacanya sepanjang proses pembuatan.
Film berdurasi 2 jam ini pun menyuguhkan drama persidangan khas Sorkin. Berbeda dengan film milik sutradara lain yang juga menceritakan persidangan ini, seperti The Chicago 8 (2011), Chicago 10 (2007), dan Conspiracy: The Trial of Chicago 8 (1987).
Tak hanya di AS, seperti yang diungkap Sorkin. Di Indonesia, kekerasan aparat yang berpusar dalam unjuk rasa tak benar-benar padam. Unjuk rasa damai pada September 2019 dengan mosi menolak sejumlah rancangan undang-undang (RUU), seperti RUU KPK, RUU KUHP, dan RUU Minerba, di sejumlah kota berujung ricuh.
Paling baru, kericuhan dalam menyampaikan aspirasi terhadap RUU Cipta Kerja meletus lagi pada awal Oktober 2020. Tudingan pendemo yang didominasi mahasiswa dan kaum muda ditunggangi dan berdampak ricuh dinarasikan lagi.
Isu kelompok kiri dan bingkai gangguan stabilitas keamanan juga menyusul pascademonstrasi. Ini mengingatkan pada surat perintah tertanggal 5 Oktober 1968 dalam film, organisasi kiri harus diperangi karena mencoba merusak masyarakat AS lewat aksi di Chicago.
”Kepercayaan masyarakat berangsur lemah. Kalau pemerintah salah langkah, bisa semakin turun,” ujar Direktur Riset Paramadina Public Policy Institute Ika K Idris.
Ia menyarankan pemerintah menggunakan strategi komunikasi dengan penjelasan logis. Strategi ini dinilai cocok jika pemerintah menghendaki publik menerima kebijakan yang disahkan dan menjawab kritik pengunjuk rasa.
Tidak ada yang ingin merusuh. Mengutip pernyataan Abbie Hoffman dalam sidang, ”Kami hanya punya gagasan dan pemikiran. Tapi untuk itu, kami disemprot gas air mata, dipukuli, ditangkap, dan disidang.”
Izinkan anak muda menggunakan hak yang dilindungi konstitusi. Sekali lagi, seluruh dunia melihat.