Lukisan-lukisan Imersif Affandi Membuka Kemungkinan Baru
Teknologi imersif memiliki gagasan mengaburkan antara dunia nyata dan dunia digital. Tujuannya untuk menciptakan suasana menjadi seolah-olah nyata. Lewat teknologi ini, karya Affandi terlihat berbeda.
Lukisan-lukisan maestro yang ditinggal mangkat para penciptanya tidak akan pernah berubah sepanjang zaman. Akan tetapi, perkembangan teknologi memberi perubahan cara menikmati dan meresapi keindahan karyanya dengan penuh gairah kebaruan.
Seperti lukisan-lukisan karya Affandi (1907-1990) ketika disuguhkan dengan teknologi imersif. Terasa vibrasi ruang batin Affandi.
Affandi seakan tidak ingin mengajak pemirsa karyanya untuk sekadar memandang setiap obyek yang dipindahkan ke kanvasnya. Dia lebih jauh mengajak pemirsanya untuk merasakan suasana yang dilukisnya.
Itulah mengapa ketika Affandi yang di awal kariernya sangat mahir melukis realis, akhirnya berubah menjadi ekspresionis. Karya yang pekat menggambarkan situasi ini, antara lain, pada lukisan Affandi yang diberi judul ”Pemakaman Raja Inggris” (1952), media cat minyak di atas kanvas berukuran 107 X 66 sentimeter. Affandi tidak melukis secara fisik pemakaman Raja George VI, tetapi melukiskan suasana muram penuh kedukaan.
Setidaknya, ini yang dirasakan Mutiara Marthalena dalam menyuguhkan proyeksi gambar bergerak berdurasi 30 menit untuk Pameran Imersif Affandi: Alam, Ruang, Manusia, di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta, 27 Oktober sampai 25 November 2020.
”Saya menggunakan 28 proyektor dengan lumens yang sama untuk menghadirkan proyeksi gambar bergerak yang diolah dari 98 lukisan Affandi,” kata Marthalena yang akrab disapa Lena, Kamis (29/10/2020).
Sebanyak 98 lukisan Affandi diambil dari koleksi Galeri Nasional, Museum Affandi, Museum Oei Hong Djien, dan koleksi kolektor Raka Sumichan. Karya itu dibuat pada 1940-an sampai 1970-an. Data Indonesian Visual Art Archive (IVAA) dan Indonesian Heritage Society juga digunakan untuk menunjang informasi seputar Affandi dalam lini masanya.
Pameran ini digelar dalam rangka Pekan Kebudayaan Nasional (PKN) 2020 atas prakarsa Direktorat Jenderal Kebudayaan pada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Lena menggunakan teknologi imersif yang untuk pertama kali ditampilkan di hadapan publik.
Metode ini sebelumnya untuk keperluan privat. Kemampuan Lena dengan teknologi imersif terasah dari dunia kerjanya di bidang pertelevisian swasta. Lena sendiri menempuh studi di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (UI) angkatan 1995 dan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UI angkatan 1996.
Teknologi imersif memiliki gagasan mengaburkan antara dunia nyata dan dunia digital. Tujuannya untuk menciptakan suasana menjadi seolah-olah nyata.
Teknologi imersif banyak digunakan di bidang lain, seperti untuk simulasi kendali pesawat terbang yang membawa peserta didik seolah berada di ruang kendali pesawat yang melakukan penerbangan nyata. Dalam seni rupa, teknologi imersif memunculkan kemungkinan baru, obyek lukisan maestro menjadi obyek pengolahan video bergerak.
Bunga gladiol
Deretan bunga gladiol bergoyang ke kiri ke kanan memenuhi dinding ruang utama Gedung A Galeri Nasional. Inilah bagian awal Pameran Imersif Affandi.
Menurut Lena, lukisan bunga gladiol kental mewakili karakter Affandi yang penuh kesederhanaan. Ia tidak melukis bunga-bunga yang mewah. ”Affandi melukis bunga gladiol yang ada di pinggir jalanan di Eropa. Itulah Affandi yang menunjukkan kesederhanaan hidupnya,” ujar Lena.
Musik syahdu mengiringi bunga-bunga gladiol. Sesaat kemudian dinamika musiknya menanjak. Proyeksi gambar bergerak untuk bagian pembuka makin memuncak.
Muncul tokoh-tokoh wayang dalam kisah Ramayana. Ada Anoman, Rahwana, Rama, dan sebagainya, bergerak seperti gerakan wayang kulit di tangan seorang dalang pada dinding-dinding galeri. Goresan kuas melekat pada figur-figur wayang Affandi yang penuh ekspresi.
Lalu bunga-bunga gladiol betebaran memenuhi dinding dengan iringan musik menuju lirih. Taman bunga gladiol pun beralih menjadi taman bunga matahari. Lukisan bunga matahari karya Affandi memiliki kemiripan dengan lukisan bunga matahari karya Vincent Van Gogh, idola Affandi.
Kelopak-kelopak bunga matahari kuning bertaburan di dinding. Bunga-bunga itu bergoyang-goyang di atas tangkainya. Suatu ketika ada matahari dilukiskan Affandi bersinar di atas bunga-bunga matahari.
Bulatan matahari sesungguhnya digambarkan berwarna kehitaman, sedangkan bunga-bunga matahari dengan warna kekuningan. Affandi mengalirkan kuningnya matahari sungguhan ke bunga-bunga matahari di Bumi.
Lukisan pemandangan pantai segera mengikutinya. Kapal-kapal nelayan bergerak terombang-ambing di pantai. Kemudian panorama yang dilukiskan Affandi dengan penuh warna hitam.
Lalu muncul lukisan celeng. Kengerian dari seekor binatang liar dan buas ini segera dialihkan ke lukisan sapi yang memberi energi baru, kemudian lukisan-lukisan figur manusia. Lena menempatkan lukisan-lukisan wajah realis dan wajah-wajah potret diri Affandi yang bergaya ekspresionisme.
Manusia saja
Kata-kata Affandi dituangkan di dinding ruang pamer paling depan. Bunyinya, ”Beberapa kritikus Barat menyebut lukisan-lukisan saya sebagai jalan baru dalam ekspresionisme. Tapi, bagi saya, aliran saya adalah humanisme. Artinya, saya melukis berdasarkan perikemanusiaan. Karena itu, saya tidak dapat bersemboyan seni–untuk–seni. Bagi saya sebutan seniman itu terlalu tinggi. Sebut saja saya tukang gambar atau lebih baik lagi, manusia saja.”
Kata-kata Affandi itu menjadi bekal Lena. Dia menangkap suasana batin Affandi yang penuh kerendahan hati. ”Saya juga menghargai etos berkarya Affandi. Ia bekerja keras sampai habis, sampai tua, untuk menghasilkan ribuan lukisan di sepanjang hidupnya,” ujar Lena.
Kurator pameran, Bayu Genia Krishbie, mengatakan, aliran ekspresionisme bagi Affandi itu terlampau kecil. Affandi berusaha melampauinya dan menyebutkan karya-karyanya sebagai karya kemanusiaan.
Para kritikus seni Barat menelaah cara Affandi dalam melukis, terutama ketika Affandi tidak lagi menggunakan kuas. Ia menggunakan teknik plototan cat langsung dari tube ke atas kanvas. Kemudian jari-jemari Affandi melengkapi goresan catnya di atas kanvas.
”Teknik Affandi ini mencuri perhatian para kritikus seni Barat. Karya-karya Affandi disebut sebagai ekspresionisme baru,” kata Bayu.
Menurut Bayu, kita bisa becermin dari filosofi hidup Affandi melalui simbol yang banyak dilukiskan berupa matahari, tangan, dan kaki. Di situ, Affandi memberikan kisah daya hidup yang dipenuhi kerja keras dan terus bergerak maju.
Affandi terlahir di Cirebon pada 1907. Tahun 1949, Affandi mendapat hibah dari Pemerintah India untuk residensi di India selama dua tahun. Lalu dia berkeliling Eropa, seperti London, Amsterdam, Brussel, Paris, dan Roma. Pemerintah Indonesia saat itu menunjuk Affandi untuk mewakili Indonesia hadir di kancah seni rupa internasional di Brasil (1952 dan 1956), serta di Venice, Italia (1956).
Pada periode 1957-1958, Affandi memperoleh beasiswa dari Pemerintah Amerika Serikat untuk tinggal selama empat bulan di negara itu. Affandi pun melebarkan sayapnya. Beberapa pameran tunggal digelar di sana.