Dangdut ”Remukan Ati”
Bahasa Jawa dipilih dalam penulisan lirik karena Om Wawes ingin mengangkat pamor bahasa Jawa. Om Wawes sejak awal mengusung ”tagline” dangdut remukan ati, lirik-liriknya selalu berakhir sedih.
Melawan tradisi di skena musik dangdut, band dangdut asal Yogyakarta, Om Wawes, merilis album pertama bertajuk Restu. Eksplorasi musik mereka kaya. Dangdut kawin mawin dengan pop, jazz, ska, reggae, hingga rock. Liriknya tetap ”remuk redam”, menolak akhir bahagia.
Om Wawes adalah anomali. Saat band-band dangdut, khususnya yang tumbuh mekar di Yogyakarta, merasa cukup dengan merilis singel pada periode waktu tertentu, Om Wawes memilih merilis album.
Om Wawes yang diawaki oleh Dhyen Gaseng (vokal), Tony Kurniawan (drum), Louis David (kendang/ketipung), dan Bayu Garnindra (gitar), bukannya tak melakukan hal serupa. Sejak terbentuk pada 2012, mereka rutin merilis singel secara cuma-cuma di kanal Youtube.
Setidaknya ada 11 singel yang sudah dirilis Om Wawes, termasuk ”Sayang”. Singel ini melesat saat dibawakan oleh band dangdut hiphop seangkatan Om Wawes di Yogyakarta, NDX A.K.A, juga biduan Via Vallen.
Meski popularitas Om Wawes terus menanjak di skena musik dangdut Yogyakarta, membuat album nyaris tak masuk dalam rencana. Dalam skena dangdut, membuat album bukan tradisi. Iklim digital yang memungkinkan musisi merasa ”cukup” merilis singel saja membuat album semakin terpinggirkan. Umumnya, album dibuat dari singel-singel yang sudah dirilis lebih dulu.
”Semakin ke sini semakin enggak ada yang sadar akan pentingnya album sewajarnya band-band di luar dangdut. Karena menurut kami album itu penting, akhirnya kami sepakat membuat album,” papar Gaseng, sapaan akrab Dyen, Rabu (21/10/2020).
Dengan membuat album mereka berharap para milenial penggemar mereka, dikenal dengan sebutan Konco Remukan Ati, paham, Om Wawes adalah band dangdut serius.
Di sisi lain, mereka berharap langkah mereka menjadi pemicu band-band dangdut lain karena album tak hanya sebagai sebuah pertanggungjawaban, tetapi juga catatan sejarah bagi perjalanan musik mereka. ”Kami memang dangdut, tapi jalan yang dipakai bukan jalan dangdut,” kata Gaseng.
Ide yang muncul pada 2018, realisasinya tercapai setahun kemudian. ”Akhir 2019 bener-bener gas. Setelah hampir jadi, eh pandemi,” ujar Gaseng.
Pantang mundur, album akhirnya siap dirilis secara fisik dalam format bag set lengkap dengan kaus dan Buku Babat Alas Dangdut Anyar pada 19 Agustus 2020. Seratus bag set pertama seharga Rp 185.000 per buah ludes dalam waktu hanya dua minggu, menunjukkan antusiasme penggemar mereka.
Rilis album kemudian disusul dengan konser virtual di kanal Youtube pada 21 Agustus 2020. Format album digital akan dirilis antara akhir Oktober dan awal November 2020.
Eksploratif
Dari 15 lagu yang disiapkan, album Restu memuat 11 lagu, yaitu ”Restu”, ”Tresno Semu”, ”Yen Wis”, ”Bedo Agomo”, ”Orasah Bali”, ”Aku Sing Mundur”, ”Bubrah”, ”Nyonggo”, ”Sabaro Sedelo” feat Pendhoza, ”Aku Wis Trimo”, dan ”Ilang Roso” feat Nufi Wardhana.
”Ilang Roso” merupakan singel lama yang dimasukkan ke album baru karena sifatnya yang monumental. Saat singel itu dirilis, tak hanya karakter penonton Om Wawes yang berubah, didominasi perempuan milenial berkerudung, tapi juga dari sisi musik.
”Singel pertama sampai keempat dulu masih bener-bener dangdut elekton. Terus makin berkembang ditambahi genre-genre lain. Puncaknya adalah lagu ’Dienggo Bukti’ featuring Yogyakarta Brass Ensemble. Itu titik paling ngawur, sudah keluar dari lingkaran dangdut-dangdut sekarang,” kata Gaseng.
Kesebelas lagu memuat lirik khas Om Wawes yang sejak awal mengusung tagline dangdut remukan ati. Maksudnya, lirik-lirik lagu Om Wawes selalu tentang perasaan hati yang remuk atau hancur.
”Lagu-lagunya memang bener-bener remuk. Harus sad ending. Enggak boleh bahagia. Kenapa? Karena dulunya saya memang benar-benar keracun sama lagu-lagu Didi Kempot. Jadi, saya lihat, kok, lagunya sedih semua. Kayaknya asyik bikin kayak gini,” katanya.
Tentang lirik cengeng itu, Gaseng punya alasan. Menurut dia, seperti halnya perempuan, laki-laki tak bisa dilarang untuk cengeng. ”Sekali dua kali boleh cengenglah. Soalnya, kalau dipendam terus, ya, enggak bisa. Segarang apa pun minimal pas sendiri di kamar pernah menangis. Manusiawi,” katanya.
Bahasa Jawa dipilih dalam penulisan lirik karena Om Wawes ingin mengangkat pamor bahasa Jawa. Simak contohnya di lagu ”Ilang Roso”. ”Rontok ati iki nibani batinku/ Ilang roso ninggalke catu neng atiku/Loro ati iki kelingan janjimu/Rosoku wes lali, rosoku wes mati.”
Liriknya jelas menggambarkan hati yang remuk. Namun, soal musik, eksplorasi Om Wawes dalam mengaransemen lagu-lagu mereka tanpa batas.
Simak ”Tresno Semu” yang mengawinkan dangdut dengan ska dan reggae. Lalu, ”Orasah Bali” yang mellow dengan alunan kibor, lantas berubah ngerock. Juga ”Bubrah” yang pop, lalu berubah menjadi jazz yang menyentak dengan permainan musik dari jajaran alat musik tiup alias brass section.
Permainan ketipung yang berhenti-berhenti itu dia bikin sendiri, belum dipakai orang lain. Jadi, minimal orang lihat, yang punya entakan-entakan kayak gitu cuma Om Wawes.
Lagu ”Aku Sing Mundur” malah hanya diracik dengan piano, vokal, dan cello. Dangdutnya hanya ada di bagian akhir, sebagai penutup menggunakan ketipung.
Yang menarik, karakter entakan dari permainan kendang ketipung Om Wawes berbeda dengan lainnya, khususnya di ranah dangdut koplo. Entakan-entakan itu konon sengaja diciptakan oleh pemain kendang Om Wawes, Louis alias Gendut.
”Permainan ketipung yang berhenti-berhenti itu dia bikin sendiri, belum dipakai orang lain. Jadi, minimal orang lihat, yang punya entakan-entakan kayak gitu cuma Om Wawes,” kata Gaseng.
Tawaran ”genuine”
Menurut peneliti musik dangdut sekaligus penulis buku Babat Alas Dangdut Anyar, Michael HB Raditya, apa yang dilakukan Om Wawes dengan merilis album, terlebih di masa pandemi, cukup ”nekat”. Upaya ini memperlihatkan, Om Wawes memang berbeda dengan band-band dangdut lain.
”Yang lain, kan, akhirnya, setelah Rhoma Irama, lalu koplo, konsep album, apalagi dengan dunia digital masuk, jadi enggak terlalu penting. Lebih penting singel yang didistribusikan melalui Youtube dan platform digital,” kata Michael.
Michael juga melihat Om Wawes dan band-band dangdut serupa dari Yogyakarta spesial. ”Dalam arti mereka ini punya tawaran musikal. Jadi, kalau kita dengar dangdut Yogyakarta ini, kita akan tahu bahwa ini berbeda dengan dangdut koplo, beda juga dengan dangdut Jakarta,” katanya.
Hal ini salah satunya dipengaruhi latar belakang para personel yang umumnya juga sekolah musik. Dengan latar belakang itu, mereka membuka ruang musik yang besar untuk eksplorasi. Di Yogyakarta, selain Om Wawes, ada NDX A.K.A, Pendhoza, Guyon Waton, dan banyak lagi.
”Kreativitas anak-anak muda ini yang bikin dangdut justru lebih menarik karena musikalitasnya terus berjalan. Tadinya saya sudah percaya, evolusi dangdut terakhir itu koplo. Tapi, saya jadi ragu setelah lihat mereka. Tawaran mereka cukup genuine,” ujar Michael.