Bali Megarupa Menyemai Benih
Tugas utama seniman setelah menguasai teknik berkarya, juga mempertanyakan kompleksitas kekinian dengan bahasa visual.
Pameran seni rupa modern dan kontemporer Bali Megarupa hadir di tengah Festival Seni Bali Jani II 2020. Ini menyemai benih generasi perupa Bali dengan mengkhususkan peserta para perupa di bawah usia 30 tahun.
Nuansa karya seni rupa disuguhkan oleh 45 peserta. Mulai dari karya yang kental dengan kebalian tradisional sampai yang menunjukkan usaha melepas ikatan tradisi menuju universalitas. Namun, sebagian besar perupa muda itu tetap berpegangan erat nilai tradisi Bali.
Peserta I Gusti Ngurah Dalem Ramadi menampilkan sebuah patung yang terbuat dari anyaman bambu. Dimensinya 50 x 50 x 170 sentimeter dan diberi judul ”Little Khrisna” (2019).
Patung ini berupa figur seorang bocah laki-laki. Ia mengalungkan kotak kecil dengan bulatan di tengah layaknya sebuah tustel kamera. Bagian punggungnya memiliki dua sayap.
Anyaman bilah bambu kecil memenuhi setiap permukaan patung itu. Silang- menyilangnya bilah bambu memberi tekstur yang menarik.
”Little Khrisna” merujuk tokoh Khrisna di masa kanak-kanaknya yang lucu dan nakal. Di kemudian hari, dalam kisah Mahabharata, Khrisna menjadi tokoh penentu peperangan Bharatayuda.
Putu Gede Ramavijaya Wiguna Putra menghadirkan karya yang kontras. Ia menampilkan karya lukisan yang diberi judul ”Belajar dari Budaya Semut” (2020).
Wiguna menggunakan media pastel minyak di atas kanvas berukuran 100 x 140 sentimeter. Di Bali, ada istilah ngayah. Ini sama halnya dengan gotong royong untuk menuntaskan pekerjaan dengan belajar dari budaya semut. Mereka bekerja bahu-membahu tanpa mengharapkan imbalan.
Ramadi dan Wiguna tengah mempertontokan ragam bahasa visual berbeda untuk mencapai predikat seni modern dan kontemporer. Begitu pula peserta lainnya menggunakan ragam bahasa visual cukup kaya. Sebagian besar mereka memilih tema yang terinspirasi nilai tradisi.
Pameran Bali Megarupa di tahun kedua ini mengambil tema Candhika Jiwa: Melampaui Medium, Ruang, dan Waktu. Dinas Kebudayaan Pemerintah Provinsi Bali menyelenggarakannya secara luar jaringan (luring) dan daring. Publik bisa menikmati pameran ini secara luring sesuai protokol kesehatan di Museum ARMA, Ubud, Bali, 28 Oktober-10 November 2020.
Kepala Dinas Kebudayaan I Wayan Adnyana menyebutkan, program ini sekaligus upaya menjaga optimisme masyarakat di tengah pandemi Covid-19. ”Kegiatan ini juga menjaga eksistensi dan elan kreatif para perupa,” ujar Adnyana.
I Wayan Setem, staf pengajar Program Studi Seni Murni Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar, Bali, serta Jean Couteau (75), pemerhati budaya Bali asal Clisson, Perancis, menulis catatan kuratorial pameran ini. Couteau tiba di Indonesia pertama kali tahun 1972 dan akhirnya menetap di Bali sejak 1979 sampai sekarang.
Tugas utama seniman
Jean Couteau di dalam catatannya menekankan perlunya kritik seni konstruktif bagi perupa-perupa muda Bali. Ia menguraikan, tugas utama seniman setelah menguasai teknik berkarya, juga mempertanyakan kompleksitas kekinian dengan bahasa visual.
Teknik karya para peserta masih mengedepankan segi grafis. Di situ, garis atau kontur dijadikan elemen representasi yang justru menghambat ekspresi warna.
Penggunaan warna tidak bisa otonom karena terbentur kontur yang dibentuk garis. Pewarnaan menjadi identik coloring, memoles bentuk dengan warna datar. Warna tidak dipakai secara bebas.
Meskipun memiliki kekuatan garis, tidak ada satu pun peserta yang membebaskan garis menjadi tujuan tersendiri. Couteau mencontohkan, pelukis I Gusti Nyoman Lempad (1862-1978) berhasil menjadi seniman maestro yang membebaskan garis menjadi tujuan tersendiri.
”Peserta yang memakai warna demi warna itu sendiri juga belum ditemukan di pameran ini,” ujar Couteau.
Ia merujuk seniman Srihadi Soedarsono dan Wayan Karja, yang berhasil membebaskan diri berkarya dengan menuangkan warna demi warna itu sendiri. Warna yang tidak memiliki hambatan kontur atau garis. ”Bahkan, olah warna tidak ditemukan di antara perupa yang mencoba berekspresi secara abstrak,” kata Couteau.
Ditengarai, pengaruh seni rupa tradisi Bali masih mengikat persepsi para perupa muda. Warisan seni rupa Bali tradisi mempunyai ciri grafis yang sama.
Disebutkan, peserta Komang Wastra berhasil menampilkan karya drawing figur manusia dengan proporsi tubuh yang baik. Namun, tetap saja ragamnya dengan pola tradisi.
I Gede Sukarya dinilai berhasil menampilkan lukisan dengan warna orisinal dan membentuk figur yang bebas. Sukarya menggunakan medium kulit sapi.
Kritik berikutnya, sebagian besar peserta belum mengedepankan tema dengan sikap kritis dan otokritik yang mengemuka. Tidak ada ciri politik pada wacana sosial yang diusung. Tema mereka masih terbetot ikonik ritual tradisi. ”Ada nada kepedulian, tetapi dalam ragam yang lunak,” demikian Couteau.
Ia menyebutkan deretan nama yang menampilkan karya dengan nada kepedulian yang masih lunak. Peserta Wahyu Simbrana dengan karya simbolik kulit tubuh yang disobek. Wayan Sudarsana mengunggah perihal manusia yang mulai mempertimbangkan masalah sumber air.
Muhammad Aqil Nazih Reza menampilkan karya lukisan manusia dengan kepala yang ditancap panah. Ni Wayan Panawati dengan lukisan sosok wanita sebagai jiwa dan tubuh gunung serta sumber air.
Bersembunyi di studio
I Wayan Setem juga memberikan kritik konstruktif terhadap para peserta perupa muda dalam pameran ini. Setem menyebutkan, para perupa muda masih banyak yang belum berkembang karena selalu bersembunyi di balik studio. ”Ketika berpameran pun, mereka hanya menaruh lukisan, lalu pulang,” kata Setem.
Setem memaparkan, capaian para maestro seniman Bali tidak datang dari balik studio masing-masing. Maestro Lempad membaurkan diri terhadap lingkungannya. Sekitar 1930-an, sebuah kelompok Pita Maha lahir di Ubud.
Di kelompok itu, para seniman Bali berinteraksi dengan seniman yang datang dari negara lain, seperti Rudolf Bonnet dan Walter Spies. Dalam suatu pameran di Paris, Perancis, 1936, dua seniman Bali anggota Pita Maha mendapat medali perak. Mereka adalah Ida Bagus Gelgel dan Ida Bagus Kembeng.
Pada pertengahan 1960-an, Setem mencontohkan seniman Arie Smit, yang mendirikan kelompok Young Artist di desa Penestanan, Ubud. Arie menghimpun anak-anak muda di desa. Mereka diajak mengamati yang ada di sekeliling desa untuk dijadikan obyek lukisan. Arie Smit tidak bersembunyi di balik studionya.
Gubernur Bali Wayan Koster membuka Pameran Bali Megarupa ini. Ia memaparkan dua wahana pemajuan seni sebagai ajang kreativitas yang penting bagi seniman Bali.
Pertama, Pesta Kesenian Bali sebagai wahana pemajuan seni untuk penggalian, pelestarian, dan pengembangan nilai seni tradisi Bali. Kedua, Festival Seni Bali Jani sebagai wahana ekspresi seni Bali modern dan kontemporer.
Tidaklah mudah untuk memenuhi wahana ekspresi seni modern dan kontemporer Bali. Keterikatan dengan nilai seni tradisi ternyata masih melekat kuat.
Sampai-sampai Jean Couteau melontarkan kritik demikian. Apakah sebaiknya seniman berperan sebagai perintis masa depan, seperti di dunia modern, atau sebagai pengibar bendera masa silam?