Sederhana dan Mengakar
Pameran ini menjadi bahasa seni yang sekarang di tengah masyarakat dihadapkan ancaman bahasa kekerasan. Bahasa-bahasa seni ini untuk melawan bahasa kekerasan yang bermunculan.
Berangkat dari ritus tradisional masyarakat petani menjadi inspirasi sebuah pesta seni rupa Nandur Srawung #7 di Yogyakarta. Ritus itu adalah wiwitan atau "restart", yaitu tradisi memetik padi pertama kali ketika memasuki masa panen untuk dijadikan benih masa tanam berikutnya. Ini sederhana dan mengakar.
Pameran seni rupa Nandur Srawung #7 yang mengambil tema Wiwitan atau Restart ini diselenggarakan pengelola Taman Budaya Yogyakarta, 11 – 21 Oktober 2020.
Sebanyak 73 peserta individual maupun kolektif turut serta. Beberapa karya datang dari seniman luar negeri seperti Malaysia, Afghanistan, Jepang, Australia, Slovenia, Liechstentein, Hungaria, Perancis, dan Amerika Serikat.
Di masa pandemi Covid-19 ini, pameran disuguhkan secara daring. Namun, publik bisa mengunjungi pameran fisiknya secara terbatas sesuai protokol kesehatan di Taman Budaya Yogyakarta (TBY).
Ketika memasuki halaman TBY, terpampang seni instalasi karya peserta kolektif Tempa. Mereka terdiri seniman Putud Utama dan Rara Kuastra, yang mencipta seni instalasi "Laku Rasa" dengan anak tangga naik disambung lagi anak tangga turun. Ini menafsir tema Wiwitan tentang hidup sebagai perjalanan siklus naik dan turun.
Wiwitan atau memulai adalah niat untuk mencapai sesuatu yang diinginkan. Ada perjalanan naik. Ada perjalanan turun. Keduanya silih berganti. Keduanya menjadi satu kesatuan yang terus akan berulang hingga mencapai akhir perjalanan.
Niatan menentukan perjalanan. Titik awal bahkan bisa menjadi titik akhir sebuah perjalanan. Ada sejumlah peristiwa untuk itu. Ada yang sekadar jalan di tempat. Ada pula seperti sejauh-jauhnya burung terbang, akhirnya kembali ke sarang.
Perjalanan yang tidak mengenal jalan pulang tidak mendapat ruang di sini. Meski akhir perjalanan tidak selalu kembali di titik awal.
Seni instalasi Laku Rasa sekaligus menjadi gerbang ruang pamer. Melalui pameran daring bisa dinikmati karya lainnya di dalam 30 ruang pamer. Teknik penyajiannya dengan sudut pandang kamera 360 derajat. Penikmat pameran daring dibawa seperti hadir di ruang pamer.
Pesta spora
Peserta Endang Lestari menyuguhkan karya terbilang unik. Ia merefleksikan pengalaman keseharian selama dua tahun terakhir dalam bertani jamur tiram di rumahnya di Yogyakarta. Ia membuat seni instalasi "Pesta Spora". Ada sekitar 20 bentuk instalasi bubu ikan terbuat dari kain kelambu yang digantung di langit-langit. Ada iringan musik meditatif mengiringi pantulan citra spora beterbangan yang diperbesar melalui sebuah proyektor. Spora semacam biji regenerasi bagi jamur.
“Karya ini berawal ketika setiap jam tiga pagi saya masuk kumbung atau rumah jamur tiram. Ketika itu saya melihat jamur seperti mengeluarkan asap tipis dan ternyata itu hujan spora, jamur-jamur mengeluarkan spora untuk proses regenerasinya,” tutur Lestari.
Pukul tiga pagi, bagi Lestari, menjadi waktu terbaik untuk memanen jamur tiram. Untuk menjaga kesegarannya, di pagi hari setelah matahari terbit, hasil panennya harus segera didistribusikan kepada konsumen.
Karya seni instalasi "Pesta Spora" menjadi refleksi masa pandemi Covid-19 . Masa pandemi diibaratkan sama seperti pukul tiga pagi. Kita tidak pernah menyadari di situ terjadi proses alami yang memberi manfaat bagi pertumbuhan dan kehidupan.
“Proses mengeluarkan spora itu berlangsung dua jam lamanya, sampai sekitar pukul lima pagi. Bagi saya, ini sekaligus memberi ruang kontemplasi untuk lebih mesra kepada lingkungan,” ujar Lestari.
Lain lagi, peserta kolektif Barabaradoz Art Familia memanggungkan karya "Melihat Lebih Dalam". Komunitas ini menyuguhkan seni instalasi sekitar 60 lukisan dari beberapa anggotanya untuk membentuk bangunan sebuah rumah.
“Ini sebuah manifesto di kala pandemi Covid-19 kami merasakan sebuah ketakutan. Dengan rasa ketakutan itu kami kembali melihat rumah dan melihat kembali lebih dalam,” ujar Adhek Kristiantoro, Ketua Komunitas Barbaradoz Art Familia.
Komunitas ini dibentuk tahun 2004 dan beranggotakan mahasiswa Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta dengan lintas disiplin ilmu. Adhek sendiri angkatan 2002 ISI Yogyakarta yang merumuskan visi komunitas ini sebagai ruang sinergi seni penuh rasa kekeluargaan.
“Semua orang yang bermimpi ingin menjadi apa saja, tentu akan bermula dari rumah. Terlebih di masa pandemi ini saatnya melihat kembali lebih dalam ke rumah kita,” tutur Adhek.
Di ruang pamer bangunan rumah itu disusun dengan ukuran bujur sangkar 244 X 244 sentimeter dengan tinggi 280 sentimeter. Setiap dinding hingga atap dan langit-langit diisi lukisan karya belasan anggota komunitas.
Adhek sendiri membuat dua lukisan berjudul, "Tari Piring di Padang Pasir" dan "Pencerna Emosi". Ada hal menarik di lukisan pertama. Adhek menorehkan mimpinya.
“Di padang pasir itu adanya tarian perut. Kita punya tari piring dari Sumatera Barat dan saya ingin memiliki mimpi membawa penari piring menari di padang pasir,” ujar Adhek.
Kalau saja tari piring bertemu tari perut di padang pasir, tentu itu akan sangat indah. Melalui mimpi ini semata Adhek ingin menunjukkan delegasi budaya kita siap dikirim ke mana saja.
Peserta asal Jepang, Jun Kitazawa, menampilkan "Documentation of Nowhere Oasis". Ia menyertakan foto tentang Kota Yogyakarta, kota tempat singgahnya dan menetap pada saat ini.
Foto utama Jun tentang sebuah angkringan. Di situ Jun mengobservasi angkringan sebagai ruang bertemu warga dengan penuh nikmat dan santai. Jun ikut merasakan seolah waktu bergulir lebih lambat di Yogyakarta.
Karya Kitazawa sebenarnya ditujukan untuk kampung halamannya di Jepang. Di mana pun di Jepang tentu berbeda dengan kota Yogyakarta yang dikenal sebagai masyarakat memiliki pedoman alon-alon waton kelakon (lambat asal terlaksana). Di Jepang, semua serba bergerak cepat.
Dari para peserta lain di pameran ini tentu juga menampilkan sejumlah karya yang cukup bermakna. Pameran daring menyuguhkan keasyikan tersendiri.
Melawan bahasa kekerasan
Pameran Nandur Srawung merupakan pameran berkala tahunan yang dimulai sejak 2014. Istilah “nandur srawung” dalam bahasa Jawa itu kurang lebih bermakna, menanam benih persaudaraan.
Pameran tahun ini dikurasi lima kurator. Mereka meliputi Sudjud Dartanto, Rain Rosidi, Arsita Pinandita, Irene Agrivie, dan Bayu Widodo.
“Pameran ini menjadi bahasa seni yang sekarang di tengah masyarakat dihadapkan ancaman bahasa kekerasan. Bahasa-bahasa seni ini untuk melawan bahasa kekerasan yang bermunculan,” tutur Sudjud Dartanto.
Bahasa seni dihadirkan sederhana dan mengakar dari keindahan menghormati bumi. Keindahan menghormati warisan leluhur dalam menciptakan cara menjaga kelangsungan hidup sebaik-baiknya.
Bahasa kekerasan yang berlangsung tidak hanya dalam skala politik parsial dan seketika seperti demonstrasi yang disertai pembakaran dan perusakan sarana publik. Bahasa kekerasan kerap berjalan senyap.
Seperti ketika mengeksploitasi hutan. Bahasa kekerasan senyap ketika abai menanam benihnya kembali. Hutan dibabat dan tak lagi peduli tanahnya rusak, merana, dan gersang.
Bahasa kekerasan lain senyap mengalir dari adanya pengabaian polutan hasil aktivitas manusia. Polutan mencemari lingkungan. Ini kian mengancam kelangsungan hidup manusia.
Ritus Wiwitan memberi pelajaran kecil tentang suka cita manusia tanpa menanggalkan perputaran laku. Kelangsungan hidup dijaga penuh dan dihormati sebaik-baiknya.