”Emily in Paris” menyajikan visual lanskap yang menawan atas kota Paris. Tentu saja di dalamnya muncul cerita-cerita seru khas drama romantis.
Oleh
Fransisca Romana Ninik
·5 menit baca
Ada banyak alasan untuk tidak menyukai Emily in Paris. Namun, tak sedikit pula alasan untuk menyukainya. Serial ini membuka ruang perbincangan lebih luas daripada sekadar cerita tentang seorang perempuan muda di kota yang disebut-sebut paling romantis itu.
Klise. Demikian kesan umum saat menjelajahi episode demi episode Emily in Paris yang ditayangkan kanal Netflix mulai 2 Oktober 2020. Musim pertama serial yang terdiri atas 10 episode ini menuai kritik negatif, terutama dari warga Paris, yang kotanya menjadi latar film.
Emily in Paris dinilai mencemooh kebiasaan, pandangan, bahkan nilai yang selama ini dihidupi warga kota tersebut. Orang Paris digambarkan tidak ramah terhadap orang asing, apalagi yang tidak berbahasa Perancis; tidak mengenal konsep kesetiaan; mengumbar asmara; datang ke kantor lebih siang; merokok di kantor (yang bahkan sudah dilarang secara hukum); sampai cara melafalkan huruf R yang unik.
Paris, salah satu pusat mode dan seni dunia, dianggap hanya menjadi ”area bermain” Emily. Dia datang dari Chicago, Amerika Serikat, untuk bekerja tanpa bekal bahasa Perancis serta berharap bisa diterima dan disukai. Dandanan Emily yang selalu tampak modis, ceria, dan cenderung playful, dilengkapi stiletto alias sepatu jinjit untuk berjalan di cobblestone—jalanan berbatu kuno—pun tak luput dari sasaran kritik karena dinilai tidak masuk akal.
Yang paling ”ajaib” adalah kehadiran Emily di Paris untuk membawa perspektif Amerika pada firma pemasaran kelas atas yang sudah mapan di Eropa. Ini dinilai sebagai sebentuk arogansi.
Namun, penonton yang bukan warga Paris barangkali tak terlalu terganggu dengan semua anggapan itu. Meskipun kisahnya dangkal, agak berlebihan, mudah ditebak, dan terlalu banyak kebetulan yang indah, Emily in Paris masih menyajikan hiburan menarik.
Serial ini merupakan karya Darren Star, yang dikenal sebagai kreator Beverly Hills 90210 (1990-2000), Melrose Place (1992-1999), Sex and the City (1998-2004), dan Younger (2015-sekarang). Jadi, tak heran jika penonton bakal menemukan atau merasakan elemen dari serial-serial tersebut dalam Emily in Paris.
Kisahnya bermula ketika Emily Cooper (Lily Collins) mendapat durian runtuh, bisa bekerja di Paris, kota yang menyematkan impian besar bagi gadis muda berusia awal 20-an itu. Kariernya di bidang pemasaran dianggap cemerlang untuk bisa membantu sebuah firma terpandang menjadi lebih maju dengan cara memaksimalkan media sosial.
Tugas yang tampak berat itu diterima dengan riang. Apalagi saat dijumpainya tetangga di apartemen yang tampan dan menawan, Gabriel (Lucas Bravo), seorang chef yang masakannya lezat tiada tara. Bos firma, Sylvie Grateau (Philippine Leroy-Beaulieu), langsung memandang sebelah mata kepada Emily karena dia tidak bisa berbahasa Perancis dan dianggap tidak memiliki selera dalam gaya.
Bisa ditebak, cerita berjalan dengan berbagai benturan antara Emily dan sang bos. Dia menemukan sahabat, Mindy Chen (Ashley Park), seorang keturunan China yang berada di Paris karena bersembunyi dari keluarganya. Dia juga berteman dengan Camille (Camille Razat) yang ternyata kekasih Gabriel.
Pekerjaan mempertemukan Emily dengan sejumlah pria yang menarik hatinya. Dia pun berpusar bersama denyut kota Paris untuk meraih cita dan cinta.
”Pertarungan”
Emily bisa dibilang mewakili mimpi, bahkan ada yang menyebutnya fantasi, kaum muda yang ingin menjadi bagian dari kehidupan kota besar kelas dunia. Usia belia, karier mapan, dan tipe generasi langgas yang cenderung suka tantangan, tidak baper, mengikuti isu terbaru, serta sangat lekat dengan media sosial.
Dia mengukur hidupnya dari seberapa dia disukai orang lain. Emily memulai akunnya dengan 48 pengikut dan berakhir dengan lebih dari 20.000 pengikut. Jadi, ia berjuang sangat keras untuk bisa disukai Sylvie.
Hubungan Emily-Sylvie ini sangat menarik, bisa dilihat sebagai representasi kesenjangan generasi dalam memandang suatu hal. Sylvie, mewakili generasi yang lebih tua, menganggap anak muda itu tidak sopan, tidak becus, dan hanya menimbulkan masalah. Sementara Emily menilai orang tua itu sudah ketinggalan zaman, berpandangan usang, dan butuh kebaruan. Dalam ”pertarungan” generasi ini, Emily ”dimenangkan” dengan keberhasilan dan capaiannya dalam mengeksekusi ide.
Hubungan keduanya juga seakan-akan mewakili ”perseteruan” Amerika Serikat versus Perancis karena Emily in Paris juga mencemooh kebiasaan dan pandangan orang Amerika. Mereka hanya bisa berbahasa Inggris, terlalu percaya diri, norak, sering mencampuri urusan orang lain, dan merasa bisa mengubah dunia.
Darren Star, dalam wawancara dengan The New York Times, menyebutkan, Emily in Paris sedikit banyak menggambarkan impiannya sendiri. Dia mempelajari bahasa Perancis saat kuliah dan sering membayangkan hidup di Paris. Beberapa tahun lalu, impiannya terwujud.
”Saya tahu bagaimana orang Perancis memandang saya, saat mereka melihat orang Amerika, saya bisa melihat sedikit prasangka, dan saya juga bisa melihat prasangka saya,” katanya.
Di luar jalan cerita yang ditulisnya, Star juga ingin agar penonton melihat keindahan kota Paris yang membuatnya jatuh cinta. Memang, Emily in Paris menyajikan visual lanskap yang menawan atas kota Paris. Penanda kota yang mendunia, bangunan lawas yang bersejarah, jembatan di atas La Seine yang ikonik, membuat ke mana pun kamera mengarah, hasilnya indah belaka.
Formula ini mirip dengan pemandangan Beverly Hills atau Manhattan yang juga disajikan dalam serial garapan Star sebelumnya. Penonton diajak ”berjalan-jalan” menjelajahi kota, sesuatu yang di masa pandemi ini sangat kita rindukan.
Bagi pencinta mode, deretan busana yang dikenakan Emily, Camille, juga Sylvie menarik untuk dilihat. Padu padan warna, tabrak motif, berikut aksesori yang dikenakan bisa menjadi inspirasi.
Dengan segala hal menjengkelkan dan menyenangkan yang ada di serial ini, penonton kini justru tak sabar menanti Emily in Paris musim kedua.