Inilah Gangguan Tenggara-Edisi Indonesia, sebuah tema pameran seni rupa kontemporer di New South Wales, Australia.
Oleh
Nawa Tunggal
·5 menit baca
Seandainya permukaan bumi yang bulat itu digelar mendatar, Indonesia yang bertetangga dekat dengan Australia barangkali ditempatkan posisinya di bagian tenggara bumi datar tersebut. Lalu, masuk akal ketika hadir Gangguan Tenggara-Edisi Indonesia, sebuah tema pameran seni rupa kontemporer di New South Wales, Australia.
Gangguan itu bukan ingin merusak. Gangguan menyeruak lewat karya seni rupa satire dari kekelaman masa lalu, rupa indah dan lucu menyikapi fenomena kekinian, serta imajinasi jauh ke depan tentang keindonesiaan kita.
Pameran mengusung karya seniman Eko Nugroho, Zico Albaiquni, dan Leyla Stevens ini diselenggarakan Bega Valley Regional Gallery, berlangsung dari 21 September hingga 7 November 2020.
Karya Eko Nugroho (43), seniman yang bermukim di Yogyakarta, berjudul ”Lot Lost” (2013-2015). ”Karya saya merupakan komposisi baru dari beberapa karya dari tahun yang berbeda-beda,” tulis Eko dalam wawancara tertulis lewat surat elektronik, Jumat (9/10/2020).
Eko menjelaskan karya-karya yang dirangkai menjadi komposisi baru tersebut. Ia membuat karya bordir yang diproduksi pada 2013. Kemudian karya patung tahun 2015 dan mural di atas lembar stiker vinil di tahun 2015 pula.
Kumpulan karya ini kemudian disusun menjadi satu keutuhan dan menjadi karya komposisi baru. ”Lot Lost” merefleksikan fenomena di tengah masyarakat Indonesia saat ini.
”Karya ini pertama kali dipamerkan tahun 2015 di Encounter Projects, Art Basel Hong Kong. Pada tahun 2016, dipamerkan di Art Gallery of New South Wales, dan tahun 2020 dihadirkan ke dalam Pameran Gangguan Tenggara ini,” ujar Eko.
”Lot Lost” memiliki makna banyak yang hilang. ”Ini sebagai bentuk pesan dan kritik terhadap apa yang terjadi di negara kita,” kata Eko.
Seri demokrasi
”Lot Lost” disebut Eko sebagai karya seri demokrasi. Demokrasi di Indonesia yang masih menunjukkan sengal napas, ratap, dan isak tangis. Intimidasi, manipulasi, kemunafikan, anarki, dan minimnya toleransi. Semestinya, itu semua tidak ada di alam demokrasi.
Eko mewujudkan keprihatinan-keprihatinan itu. Lembaran-lembaran vignet dekoratif dituangkan dengan teknik border. Dekorasinya indah dan lucu. Namun, teks satire dituangkan seperti interupsi dengan tabuhan genderang panjang. Di antaranya bertuliskan ”Negeri Kaya Fatwa”, ”Reformasi Picisan”, ”Mayoritas Dihalalkan, ”Minoritas Diharamkan”, dan ”Permen dan Politik Sama-sama Mengandung Pemanis Buatan”.
Kemudian karya patung merefleksikan masyarakat terhubung dengan persoalan ideologi, pendidikan, dan ekonomi. Di bagian depan komposisi Lot Lost, Eko menempatkan patung seseorang dengan kepala batu sedang menjinjing tas keresek.
”Dia barusan mencari nafkah. Itu simbol pekerja, simbol orang-orang yang bekerja keras dan terus berusaha, meskipun mereka tidak bisa melihat,” kata Eko.
Kita terkungkung oleh permasalahan diri sendiri dalam demokrasi ini.
Patung berikutnya, figur orang membawa buku sebagai simbol edukasi. Namun, tangannya mengenakan sarung tinju. Eko merefleksikan tentang edukasi di Indonesia belum merata. Di sisi lain, terjadi kesenjangan dalam sistem edukasi kita. Saat ini demokrasi membawa harapan baru meskipun kita masih gagap dalam menerjemahkannya. Bagi Eko, inilah saatnya kita mengupayakan pemahaman dan menerapkan demokrasi.
Kurator pameran Iain Dawson menempatkan ”Lot Lost” sebagai karya utama. Bagi Dawson, dalam karya Eko terdapat humor dan satire yang menyentuh persoalan sosial dan politik di Indonesia.
”Ini pameran yang spesifik. Bagi saya, ini menunjukkan institusi seni di Australia juga melakukan pengamatan terhadap apa yang ada di Indonesia lewat bahasa karya,” kata Eko.
Pembacaan ulang
Zico Albaiquni (33), seniman yang bermukim di Bandung, Jawa Barat, menghadirkan tiga lukisan dalam pameran ini. Ia mengisyaratkan pembacaan ulang dunia seni rupa di Indonesia.
Salah satu lukisannya, ”Pewaris Sah Kebudayaan Dunia” (2020), media cat minyak di atas linen berukuran 150 cm x 150 cm. Zico merefleksikan dunia seni rupa Indonesia terus berkembang, bukan memoles-moles produk kebudayaan lama hingga mengilap.
Di dalam karya lukisan itu, Zico menyertakan di sisi kanan bidang terdapat citra lukisan Pablo Picasso yang berjudul, ”Les Demoiselles d’Avignon”. Lukisan Picasso itu terpengaruh kebudayaan Afrika dan pernah mengundang ketegangan dunia, karena mengunggah persepsi Afrika yang primitif.
Begitu juga dengan dunia seni rupa Asia atau Indonesia secara lebih khusus. Bagi Zico, kita mempunyai kedaulatan sendiri di dunia seni rupa. ”Dari masa lalu, kita memiliki narasi sendiri tentang dunia seni rupa. Ini perlu dinegosiasikan ulang,” kata Zico.
Narasi dunia seni rupa bukan hanya terletak di atas kanvas. Bahkan, di masa lalu adanya relief-relief di atas batu itu tak ubahnya sebagai karya lukisan dengan ruang waktu datar.
Ruang waktu datar sebagai teori gambar dalam bahasa rupa yang berkembang di luar kebudayaan Barat. Ruang waktu datar lebih menceritakan cara baca ruang, bukan seperti gambar dari kamera yang dikembangkan Barat.
Zico menyentuh pula perihal cara baca ruang dari produk budaya wayang beber. Lukisan diciptakan dari kesan samping. Namun, ada keistimewaan dari pencantuman sepasag mata. ”Itu tak ubahnya seni kubisme yang dikenal sebagai ciptaan Picasso. Padahal, di dalam seni wayang beber sudah ada terlebih dahulu,” kata Zico.
Dua lukisan Zico yang berikutnya, ”Mooi Enchantment after Sekarmadji” (2009) dan ”Be Kind, Rewind” (2020). Dua karya ini bercerita kejelitaan alam dan sejarah Indonesia yang selalu dibagus-baguskan.
”Pada akhirnya, generasi kita mendapatkan ilusi sejarah, ilusi tentang kejelitaan. Padahal, banyak peristiwa kelam yang tidak disingkap di dalam sejarah kita,” kata Zico.
Kejelitaan itu sampai disimbolisasikan Zico lewat aura langit berwarna pink atau merah jambu. Zico menyampaikan kejelitaan sebagai kritik sosial yang menutup mata terhadap peristiwa sejarah kelam.
Pada akhirnya, ketika muncul berbagai persoalan sosial dan politik yang sensitif, kita menjadi gagap dan tidak jernih dalam menyikapinya. ”Kita sudah tersihir dengan mooi atau kejelitaan,” kata Zico.
Leyla Stevens (38), seniman berdarah Australia-Bali, ini mengetengahkan karya instalasi video 3 kanal yang diberi judul ”Lament/Kidung” (2019). Ia mengunggah kombinasi elemen dokumenter dan performans tradisi Bali.
Leyla menyuarakan respons atas suatu tragedi. Tragedi pembunuhan massal yang pernah terjadi di sejumlah daerah di Indonesia pada 1965.
Karya Eko Nugroho, Zico Albaiquni, dan Leyla Stevens dalam Pameran Gangguan Tenggara-Edisi Indonesia mengentak pikiran dan mengusik batin kita. Mungkin saja ada rezim yang terganggu. Namun, gangguan disingkap bukan untuk membuat kita terpaku. Gangguan itu untuk penting sebagai bekal memperbaiki di masa mendatang.