Abstraksionisme Berdamai
Karya-karya Aisul dan Chryshnanda menyiratkan keduanya tidak sedang melukis abstrak dalam konteks ideologis. Mereka menyoal isu lokalitas, identitas, keberagaman cara pandang atas medium seni lukis dan ideologi aliran.
Seni abstrak tidak meributkan soal makna. Tidak lagi mengusung aksi kehidupan. Namun, ia mampu melahirkan anak yang tidak ”taat” sebagai abstraksionisme yang ”representational”, yang meributkan soal makna, yang mengusung aksi kehidupan dan sebagainya.
Ini catatan yang diberikan Mikke Susanto, akademisi Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, untuk Pameran Lukisan Berdamai yang menampilkan karya-karya pelukis Aisul Yanto dan Chryshnanda Dwilaksana di Balai Budaya Jakarta.
Pameran bisa dikunjungi secara fisik di Balai Budaya, 22 September-2 Oktober 2020. Namun, secara virtual disajikan lebih lama lagi hingga 22 Oktober 2020.
Suasana pembukaan pameran disiarkan langsung. Duduk di barisan kursi terdepan menghadap para pemirsa di antaranya Ketua Balai Budaya Syahnagra Ismail, Joko Kisworo (kurator), Aisul Yanto, Chryshnanda, dan komisioner pada Komisi Kepolisian, A Wahyu Rudhanto, sebagai pembuka pameran.
Di sekeliling mereka terpajang sebanyak 13 lukisan karya Aisul Yanto, dan sebanyak 9 lukisan karya Chryshnanda. Lukisan-lukisan itu menghilangkan elemen wujud atau niskala menuju seni abstrak.
Aisul memakai warna kromatik hitam dan putih. Chryshnanda memberi sentuhan warna-warni. Dari karya keduanya terlihat aura untuk membebaskan pikiran. ”Ketika saya sudah memegang kuas dan di depan kanvas, saya sudah tidak lagi berpikir untuk melukis,” demikian kutipan dari Chryshnanda yang hadir dalam sebuah rekaman video untuk mengawali prosesi pembukaan pameran.
Lantas, ditunjukkan Chryshnanda dan Aisul melukis bersama di bidang kanvas masing-masing. Setelah itu, Aisul juga diberi kesempatan menyampaikan komentarnya.
”Chryshnanda, ’sparing partner’ saya untuk merespons situasi dan kondisi yang ada, berdamai dengan situasi dan kondisi. Berdamai dengan sesama seniman, masyarakat, dan alam semesta,” kata Aisul.
Kurator Joko Kisworo mengimbuhinya. Di antara Aisul dan Chryshnanda yang melukis dalam waktu bersamaan di kanvas yang berbeda itu disebutnya sebagai kolaborasi. Kolaborasi untuk berdamai dengan menyatukan energi.
Wahyu Rudhanto sesaat sebelum menyatakan pameran resmi dibuka mengemukakan, lukisan sebagai produk kebudayaan mampu untuk membuat damai. Konsep kepolisian dan konsep kebudayaan berjalan seiring.
Konsep kepolisian, disebutkan Wahyu, karena bertolak dari profesi Chryshnanda sebagai polisi aktif sampai sekarang. Aisul sendiri sebagai seniman yang aktif pula berperan di Balai Budaya.
Maka, terjadilah pameran lukisan abstrak karya Aisul dan Chryshnanda. Lukisan-lukisan abstrak yang memanggul konsep kepolisian, konsep damai di tengah masyarakat.
Mungkin saja hal ini yang dimaksud Mikke sebagai aksi kehidupan, sebagai representational, sebagai makna, yang semestinya terhindarkan di dalam seni abstrak. Mikke lalu menyebutnya itu sebagai abstraksionisme, sebagai anak yang tidak ”taat” kepada induk seni abstrak.
Energi damai
Karya Aisul diberi judul ”Seri Energi Damai #1” (2020) dengan media cat akrilik di atas kanvas berukuran 131 cm x 142 cm. Aisul menerakan tulisan ”energi damai” di atas karya monokromatik hitam dan putih tersebut.
”Saya ingin menuju pada kesederhanaan warna hitam dan putih. Tetapi, saya merasakan, meskipun kedua warna itu terlihat tunggal, tetap saja ada gradasinya, bahkan sampai seribu warna gradasi hitam dan putih,” ungkap Aisul.
Aisul menghadirkan karya-karya monokromatik hitam dan putih lainnya yang senapas dengan karya ”Seri Energi Damai #1”. Ia terinspirasi suatu motif batik dengan corak warna hitam dan putih yang pernah dijumpai di wilayah pantai utara Jawa. Konon, corak seperti itu terpengaruh era Majapahit.
Sekarang Aisul menyerap monokromatik dua warna itu untuk karya-karya lukisannya. Lewat goresan tak berwujud benda, Aisul mengunggah tema tentang energi atau kekuatan kehidupan.
”Ketika saya melukis, itu menghabiskan energi. Melukis itu menguras energi, seperti orang berhubungan badan juga menguras energi, tetapi menuju suatu kelegaan meski sekaligus merasa kelelahan fisik,” ujar Aisul.
Aisul mengisahkan kesan melukis bersama Chryshnanda, seperti disiarkan melalui rekaman video pada saat pembukaan pameran. Ketika akan melukis, yang dirasakan adalah membangun strategi ketahanan energi selama melukis.
”Saat itu saya merasakan melukis menjadi pertarungan. Tetapi, pertarungan untuk berdamai, pertarungan untuk mendapatkan kelegaan,” kata Aisul.
Lukisan Aisul dan Chryshnanda sama-sama bercorak abstrak. Di balik itu, keduanya mengusung representational makna di balik karya lukisan mereka.
”Saya ingin menuju ke ekspresionis abstrak,” kata Chryshnanda. Di dalam melukis abstrak, Chryshnanda menemukan dialog antara indera dan jiwa. Di situ ada kewarasan. Kewarasan untuk mengendalikan diri.
Meski dengan kewarasan, ”kegilaan” juga dibutuhkan. Namun, kegilaan yang dimaksud Chryshnanda itu sebagai kemampuan melepaskan diri dari ego dan superego.
Produk akhir tidak lagi bermakna tunggal, tetapi mampu merangsang multitafsir para pemirsanya. Produk akhir menjadi jiwa yang terlihat, ”jiwa ketok”, seperti kata pelukis maestro Sudjojono.
Karya Chryshnanda diberi judul ”Berdamai dengan Hati” (2020) dengan media cat akriliks di atas kanvas berukuran 131 cm x 143 cm. Di situ ada dominasi warna kuning, merah, dan hijau. Lalu, disertai garis lentur seperti membentuk figur orang menari. Chryshnanda membubuhkan lelehan-lelehan catnya. Berdamai dengan hati lebih pada suasana diri yang semula terbentuk sebagai manusia Jawa yang suka menggambar figur Punakawan, kemudian beralih menuju abstrak.
”Pada tahun 2002 saya pernah kehabisan warna cat tertentu. Saya mencoba membentuk warna itu dengan cara mencampurkan dua warna cat, tetapi tidak berhasil,” ujar Chryshnanda.
Ada kejengkelan di situ. Kaleng cat itu sampai ditendang dan sebagian catnya tertumpah di kanvas. Pada waktu itu, Chryshnanda gemar melukis tokoh Semar. Tumpahan cat ternyata memberinya kepuasan tersendiri. Chryshnanda pun berkeinginan untuk melukis tanpa wujud, tetapi hanya ingin bermain warna.
Realitas seni
Lukisan abstraksionisme karya Aisul dan Chryshnanda, bagi Mikke, menunjukkan realitas seni tersendiri. Bahwa pelukis tidak ingin seni difungsikan hanya untuk seni itu sendiri. ”Seni diperlukan untuk pendokumentasian atau pelepasan pikiran dan mental,” kata Mikke.
Bagi Mikke, karya-karya Aisul dan Chryshnanda menyiratkan bahwa keduanya tidak sedang melukis abstrak dalam konteks ideologis. Keduanya lebih mempermasalahkan isu lokalitas, identitas, keberagaman cara pandang terhadap medium seni lukis dan ideologi aliran.
Meskipun demikian, hal itu bukanlah ide yang sama sekali baru. Banyak pelukis dari sejumlah negara sekalipun yang menggunakan seni abstrak hanya sebagai media atau instrumen kerja. Di balik karya-karya itu, mereka menggulirkan isu-isu kontekstual.
”Dengan fungsi yang sedemikian rupa, Aisul dan Chryshnanda berusaha memberi arti yang lebih. Lukisan mengentaskan persoalan di luar dirinya,” kata Mikke.