Di dunia musik indie yang kerap luput dari pemberitaan media nasional, semangat saling menguatkan kental terasa
Oleh
Eko Wustuk
·4 menit baca
”As you grow older, you will discover that you have two hands, one for helping yourself, the other for helping others.” Audrey Hepburn
Kutipan kalimat yang disampaikan Audrey Hepburn (1929-1993), aktris dan aktivis kemanusiaan asal Inggris itu, sungguh benar adanya. Manusia, sebagai makhluk sosial, tentu tidak bisa lepas dari manusia lainnya. Kita berurusan dengan manusia lain di sekitar untuk meminta pertolongan saat ditimpa nasib buruk atau sebaliknya, memberi bantuan ketika sedang berkelimpahan.
Pada masa sulit seperti tujuh bulan belakangan ini, ketika wabah Covid-19 menghantam seperti badai tanpa titik cerah bakal segera mereda, manusia dipaksa semakin menghayati perannya sebagai makhluk sosial. Makhluk pintar yang sejatinya tidak pernah sepenuhnya mampu berdiri sendiri.
Kita melihat begitu banyak upaya saling menguatkan yang bergulir di tengah masyarakat. Ada kegiatan pengadaan masker dan alat pelindung diri bagi masyarakat yang kurang mampu atau yang profesinya kebetulan berisiko tinggi untuk tertular Covid-19. Ada yang mengumpulkan dana untuk menyiapkan menu makan siang harian bagi masyarakat yang kehilangan mata pencaharian. Paling sederhana, ajakan untuk membeli barang dagangan kawan-kawan sendiri yang digaungkan di media sosial.
Jika kita meyakini bahwa semua hal di dunia ini memang ada sisi baiknya, maka sisi baik Covid-19 adalah ia telah membuat sifat individualistis kita bertekuk lutut dan mengembalikan kita pada hakikat manusia sebagai makhluk yang harus saling menolong.
Di dunia musik indie yang kerap luput dari pemberitaan media nasional, semangat saling menguatkan itu pun kental terasa. Demikian kentalnya, tidak hanya mereka yang tinggal di Jakarta yang gesit bertindak, tetapi juga yang tinggal di tepiannya, yakni Pamulang dan bahkan di Pulau Bali nun jauh di sana.
Berbeda dengan musik mainstream yang cenderung Jakarta-sentris, musik indie memang terbilang lebih terdesentralisasi. Dan dengan perkembangan musik digital belakangan, semakin menjanjikan secara finansial.
Dari Pamulang, ada Endah n Rhesa yang baru saja merilis singel berjudul ”Pulang ke Pamulang”. Lagu renyah dengan lirik yang berisi keseharian orang-orang Pamulang ini terdengar ringan. Dengan lembut dan merdu, duo musisi yang kebetulan juga suami istri ini mengisahkan soal danau, rindang pepohonan, kuda, jalanan yang kadang macet, warung tenda yang marak kala malam, dan ular yang terpaksa keluar sarang ketika banjir melanda.
Lirik lagu terbaru mereka bisa saja terdengar ringan. Namun, itu kiranya adalah muara dari kecintaan mereka pada Pamulang. Pada kota kecil di tepian Jakarta yang selama satu dekade lebih telah menjadi ruang kreasi bagi mereka untuk kemudian meraih demikian banyak kesuksesan di dunia musik indie. Ya. Bagi Endah N Rhesa, Pamulang jelas telah memberi mereka cinta. Banyak sekali cinta.
Maka, patutlah kiranya lagu baru berjudul ”Pulang ke Pamulang” itu menjadi mahkota bagi upaya mereka selama ini untuk membangkitkan dan membangun komunitas kreatif Pamulang melalui sebuah ruang bersama bernama Earhouse.
Di kedai kecil yang nyaman itu, semua pegiat kreatif diberi ruang kreasi. Diberi panggung. Mulai dari musisi yang ”sudah jadi”, penulis lagu yang sedang mencari bentuk, comic, hingga orang-orang yang tengah menekuni teknik bermain musik. Semua diterima dengan tangan terbuka. Diberi kesempatan untuk berkarya.
Lain Pamulang, lain lagi Bali. Di sana, di pulau yang ekonominya paling terdampak Covid-19 itu, ada Pohon Tua Creatorium, music label seumur jagung yang gagah berani memproduksi beragam karya musisi indie asal Bali.
Beberapa musisi yang dikelola, antara lain, Made Mawut yang memainkan delta blues sarat protes sosial, tetapi segar dan jauh dari kesan menggurui (silakan dengar ”Blues Kamar Mandi”), Soul & Kith dengan folk muramnya (coba dengarkan ”Basuh”), Manja yang terdengar modern dan manis (intip ”Rise”), dan Soulfood dengan suguhan Jamaican beat yang penuh tenaga layaknya sebuah pesta (coba tengok ”Mi Say”).
Sepak terjang Pohon Tua Creatorium yang dimotori Dadang Pranoto (Navicula, Dialog Dini Hari) punya kemiripan motivasi dengan Earhouse yang dibangun oleh Endah n Rhesa. Mereka sama-sama peduli dan khawatir soal regenerasi. Soal keberlangsungan kreasi musik indie di tangan generasi penerus. Kekhawatiran tersebut, untungnya, menemukan penawarnya di era ini. Era digital.
Maraknya layanan music streaming di Indonesia rupanya telah menjadi ladang revolusi bagi musisi indie. Diam-diam mereka mengumpulkan sumber daya dan melancarkan revolusi musik digital dari kamar-kamar kecil rumah mereka yang telah disulap menjadi studio rekaman. Mereka membangkang aturan kolot music label tradisional yang masih gemar mengumbar mantra karatan ”selera pasar”.
Dengan penguasaan atas proses produksi, distribusi digital, dan pemasaran di media sosial, musisi indie berpengalaman, seperti Endah n Rhesa dan Pohon Tua Creatorium, secara tidak resmi memimpin sebuah pemberontakan karya.
Di tengah hantaman badai Covid-19, ketika semua orang dipaksa memeras daya kreasi lebih keras dari sebelumnya, sepertinya memang hanya melalui pemberotakan musik digital itulah musisi indie di Indonesia punya peluang untuk bertahan. Setidaknya, sekadar untuk menyambung nafas sampai badai celaka ini berlalu dan semua kembali seperti sedia kala.