Kelenturan Seni Tradisi
Ketika seni tradisi dilangsungkan sebagai peristiwa konvensional, publik sulit untuk menyaksikan dengan lebih mendetail. Ketika ditampilkan secara virtual, penampilan seni tradisi akan lebih mendetail.

Tangkapan layar kanal Youtube menampilkan acara pentas wayang orang Sriwedari dengan lakon ”Dewa Ruci”.
Merebaknya ekspresi seni di dunia virtual pada masa pandemi Covid-19 makin menyentuh ranah keragaman seni tradisi kita. Kelenturan seni tradisi pun diuji.
Seorang penari topeng Losari, Cirebon, Nurani M Imran, mengenakan topeng kayunya di babak akhir tarian topeng Klana Bandopati. Wajah topeng itu lengkap tak ubahnya topeng-topeng untuk tarian lain. Namun, topeng ini tanpa celah rongga mata.
Dengan mengenakan topeng itu, Nurani menari tanpa bisa melihat yang ada di depannya. Akan tetapi, gerak tariannya tetap tidak terganggu. Ia tetap berpusat ke arah pemirsanya. Nurani menggunakan segenap panca inderanya untuk menangkap atmosfer panggung.
Cucu mendiang maestro tari Losari, Sawitri, ini menyulut metafora baru dalam menarikan tarian dengan mata tertutup topeng. Kedua matanya tidak bisa melihat, tetapi mata batinnya bekerja untuk tetap bisa melihat. Ada kelenturan dalam memainkan metafora seni tradisi tari topeng. Ada pesan dan konteks memantik imajinasi pemirsa.
Tari topeng oleh Nurani ditampilkan dalam pembukaan Pekan Kebudayaan Daerah (PKD) Pemerintah Provinsi Jawa Barat, 19 September 2020. Berjeda beberapa pementasan seni tradisi berikutnya, Tari Topeng Cisalak dimainkan beberapa penari Sanggar Kinang Putra Bogor. Tarian ini memberi kontras tarian topeng Nurani.
Para penari Tarian Cisalak mengenakan topeng kayu dari awal hingga berakhirnya tarian. Kontras kedua tari topeng itu menghidupkan wacana. Rasa penasaran dan tafsir para permisa dinyalakan.
Pementasan ini dipanggungkan secara virtual di kanal Youtube @budayasaya. Kanal ini dikelola Direktorat Jenderal Kebudayaan pada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud).
Pekan Kebudayaan Nasional
Kemendikbud saat ini berencana mengerahkan sekitar 4.500 seniman yang sebagian besar pelaku seni tradisi untuk Pekan Kebudayaan Nasional (PKN). Menurut rencana, PKN dijadwalkan mulai akhir Oktober 2020 nanti. Beberapa daerah memulai pemanasan dengan penyelenggaraan Pekan Kebudayaan Daerah (PKD), di antaranya Provinsi Jawa Barat.
Disusul kemudian di keesokan harinya, 20 September 2020, diluncurkan pementasan PKD Pemerintah Kota Surakarta, Jawa Tengah. Pemerintah Kota Surakarta mengangkat pementasan seni tradisi wayang orang Sriwedari. Lakon yang dipilih, ”Dewa Ruci”.
Lakon ”Dewa Ruci” mengambil tokoh utama Bratasena atau Bima dalam epos Mahabharata. Akan tetapi, lakon ini merupakan carangan atau sempalan kisah utama Mahabharata. Lakon ”Dewa Ruci” sebagai wujud kejeniusan lokal. Ini juga bentuk kelenturan di dalam seni tradisi, khususnya seni wayang.
Di situ dikisahkan Bratasena atau Bima yang ingin mengejar ilmu kesempurnaan hidup kepada gurunya, Resi Durna. Durna pun menjerumuskan Bima. Tak ayal, petaka dijumpai Bima hingga akhirnya Bima bertemu Dewa Ruci yang bertubuh kecil, tetapi berwujud persis seperti dirinya.
Dewa Ruci kecil itu merupakan metafora hati kecil Bima, hati nurani Bima. Di situlah ilmu kesempurnaan hidup bernaung.
Pemerintah Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur, tidak ketinggalan. Pada Jumat, 25 September 2020, di kanal Youtube @budayasaya, mereka juga meluncurkan pementasan untuk pembukaan PKD.
Pementasan diberi tajuk, Hola Holo. Ini mengambil judul kreasi tarian Hola Holo, yang mengambil konteks stigma kampung idiot di Ponorogo. Pementasan tari Hola Holo mengandung pesan melawan perundungan kampung idiot.
Beberapa PKD atas prakarsa pemerintah daerah lainnya menyusul untuk dipentaskan. Hingga bermuara pada penyelenggaraan PKN nanti yang juga secara virtual.
Demokratisasi kesenian, seni tradisi khususnya, kini sedang berlangsung. Pementasan ekspresi seni masyarakat dari bawah ditumbuhkan meski dalam situasi di tengah pandemi Covid-19.
”Di tengah situasi seperti sekarang ini, negara mesti hadir. Negara hadir melalui pemerintah pusat, provinsi, kabupaten, atau kota,” ujar Direktur Jenderal Kebudayaan Kemendikbud Hilmar Farid, Kamis (24/9/2020), di Jakarta.

Tangkapan layar kanal Youtube menampilkan acara pentas wayang orang Sriwedari dengan lakon ”Dewa Ruci”.
Ekspresi seni tradisi pun menggelegak. Para pelaku seni tradisi antusias mengambil peran. Pementasan bertransfromasi secara virtual. Ini terbukti pada keterlibatan sebagian besar seniman tradisi dari jumlah 4.500 seniman pada PKN nanti.
”Pandemi Covid-19 akhirnya mengundang pertanyaan, apakah ini menjadi berkah atau kutukan bagi kelangsungan seni dari masyarakat,” ujar Hilmar.
Cara pandang
Dengung alat musik karinding terdengar mengalun dinamik dan merdu. Seniman musik karinding, Iman Rahman Anggawira Kusumah, atau akrab disapa Kang Kimung, memainkan alat musik itu di depan mulutnya.
Iman mendampingi Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil dalam sebuah sesi bincang pentas pembukaan PKD Provinsi Jawa Barat. Ia bercerita tentang asal-muasal alat musik karinding dari Sunda.
”Karinding diyakini sebagai alat musik yang pertama kali ada di Sunda,” ucap Iman.
Karinding terbuat dari potongan bilah bambu. Ada sayatan bagian kecil bambu yang bisa bergetar dan menimbulkan suara berdengung. Dengungan itulah yang diperkuat dengan resonansi udara di rongga mulut.
Bahan baku karinding berupa bambu atau awi, dalam bahasa Sunda. Kemudian dengan bambu itu berkembang menjadi alat-alat musik lainnya, seperti angklung khas Sunda.
Ridwan Kamil kemudian bertutur tentang tiga wilayah budaya di Jawa barat, yaitu wilayah budaya Priangan, yang membawa kekhasan budaya Sunda. Kemudian Cirebon sampai Indramayu membawa pengaruh budaya Jawa. Yang ketiga, wilayah Depok hingga Bogor yang membawa pengaruh budaya Betawi.
”Kebudayaan itu cara pandang. Kebudayan bukan hanya kesenian,” ujar Ridwan Kamil.
Di tengah pandemi Covid-19, Ridwan Kamil menghimpun sekitar 100 pelaku seni tradisi untuk meramaikan Pekan Kebudayaan Daerah Jawa Barat. Tentu dengan beragam corak keseniannya.
Terbayang dari satu ragam tarian topeng, seperti tari topeng Losari dan Cisalak, memiliki keunikan tersendiri. Justru di tengah pandemi Covid-19, keberagaman seni tradisi membuka dialektika baru.

Tangkapan layar kanal Youtube menampilkan acara pembukaan pekan kebudayaan daerah Jawa Barat 2020.
Cara menyajikannya pun menuntut adaptasi kebiasaan baru, yaitu pemanggungan secara virtual. ”Strateginya, kita tidak pernah sendirian,” ujar Ridwan Kamil.
Ridwan melibatkan lima pihak, meliputi akademisi, pebisnis, komunitas, pemerintah, dan media. Demokratisasi kesenian, khususnya seni tradisi, pun akhirnya berlangsung meski di tengah pandemi.
Sebagian seni tradisi sebelum berlangsungnya pandemi Covid-19, diakui Hilmar Farid, banyak memudar. Generasi penerusnya terpupus.
”Saya mengambil pemahaman secara positif, seni tradisi bukan memudar, tetapi mengalami pergeseran,” demikian Hilmar Farid.
Melalui penyajian secara virtual, nyala seni tradisi yang meredup ingin terus dijaga dan dipertahankan. Ada banyak kemungkinan yang bisa terjadi. Semula, seni tradisi ada yang cenderung sakral. Dengan ditampilkan secara virtual, kemungkinan ada pergeseran menjadi profan.
Ketika seni tradisi dilangsungkan sebagai peristiwa konvensional, publik sulit untuk menyaksikan dengan lebih mendetail. Ketika ditampilkan secara virtual, penampilan seni tradisi akan lebih mendetail.
Seni tradisi dalam pementasan virtual dan diunggah di media sosial tak pelak bisa disaksikan berulang. Seni tradisi akhirnya tumbuh sebagai akar dalam berkesenian di masa sekarang dan mendatang.
”Seni tradisi adalah inovasi di masa lalu. Ketika kita mengenal gramatika kesenian, mestinya tidak ada keresahan,” tutur Hilmar Farid.