Mengakhiri Sepi
Problema percintaan hanya sebagai pengait untuk masuk ke dalam persoalan psikologis sesungguhnya yang jauh lebih menyakitkan, tetapi kerap kali disembunyikan oleh masing orang-orang agar tidak dianggap lemah.

Jessie Buckley yang memerankan tokoh utama perempuan dalam film ”I’m Thinking of Ending Things”.
Apa yang paling kita takuti dalam hidup? Kesepian? Kegagalan? Penolakan? Ekspektasi yang terpatahkan? Merasa tak dianggap? Atau menjadi tua dan terkunci dalam rutinitas yang perlahan mematikan rasa, bahkan asa?
”Pulang itu tak enak.. Walau ada anjing yang menjilat wajahmu atau tidak. Walau kau punya istri atau hanya rasa kesepian berbentuk istri yang menunggumu. Pulang itu sangat sepi.”
Sepenggal dari puisi berjudul Bonedog milik penulis Eva HD beberapa kali muncul mewarnai adegan film I’m Thinking of Ending Things. Puisi yang seolah membingkai rajutan kisahnya dan menguarkan bermacam rasa dengan cara tak biasa.
Film yang diadaptasi dari novel milik Iain Reid berjudul serupa ini telah tayang di Netflix sejak 4 September 2020. Jalinan cerita dimulai dengan perjalanan tokoh Lucy (diperankan Jessie Buckley) menuju ke rumah orangtua kekasihnya, Jake (diperankan Jesse Plemons), di tengah badai salju.
Sekilas kegelisahan yang dirasakan tokoh Lucy ketika berada di dalam mobil kekasihnya sekadar menyiratkan kebingungannya bagaimana cara mengakhiri hubungan percintaannya dengan segera tanpa menyakiti. Rasa cemasnya membaur dengan keengganan bertemu dengan orangtua sang kekasih, sementara dirinya sedang mempertimbangkan untuk memutuskan hubungan.
Film yang dilabeli genre horor drama ini merupakan besutan Charlie Kaufman sebagai penulis sekaligus sutradara. Kaufman dikenal dengan karyanya yang sarat mengulik sisi psikologis manusia dengan gaya penceritaan eksentrik dan enigmatik. Oleh karenanya, tak cukup sekadar menyimpulkan dari permukaan cerita yang terlihat.

Salah satu adegan ”I’m Thinking of Ending Things”.
Alur cerita mulai terasa sureal saat Jake dan kekasihnya tiba di rumah orangtuanya. Tokoh yang diperankan Buckley tak lagi bernama Lucy. Namanya berubah-ubah, begitu pula latar belakang dan profesinya. Orangtua Jake yang diperankan David Thewlis dan Toni Collette pun berubah-ubah penampilan dan kondisinya.
Ada pula tokoh seorang petugas kebersihan sekolah yang sudah renta dengan latar tempat dan waktu yang berbeda. Petugas kebersihan yang silih berganti muncul di tengah cerita ini bekerja di SMA tempat Jake pernah bersekolah. Seperti Jake, petugas kebersihan ini menggemari sebuah teater musikal bertajuk Oklahoma!. Menjadi teka-teki apakah sosok ini merupakan representasi Jake di masa tua?
Sejumlah lagu dari teater musikal itu pun mewarnai beberapa adegan dalam film. Bahkan, dekorasi dari teater ini juga menjadi latar panggung pada adegan Jake menerima penghargaan dan menyampaikan pidatonya. Ternyata pidato yang dibacakan adalah milik John Nash dari film A Beautiful Mind, adegannya pun meniru persis momen Nash setelah memperoleh Nobel.
Ini menjadi semacam fantasi dari seorang Jake akan kehidupan yang semestinya ideal. Imajinasi lain dituangkan melalui komposisi balet dengan percampuran musik milik Claud Debussy dan Igor Stravinsky yang justru menampilkan gambaran menyedihkan.
”Kadang kita sibuk dengan fantasi yang ada di dalam kepala kita, menyusun rangkaian harapan yang belum tentu berhasil. Di sini, bahkan dalam imajinasinya, Jake tetap tidak memperoleh apa yang dia inginkan,” ujar Kaufman dalam wawancara dengan The Atlantic.
Inspirasi memilih memasukkan Oklahoma! dalam bangunan cerita juga dilatarbelakangi pengalaman pribadi Kaufman mementaskan teater ini semasa sekolah. Pertimbangan lainnya, tokoh Jud Fry dalam teater ini lekat dengan kesepian hingga kematian menjemputnya sehingga dinilainya sesuai dengan apa yang ingin disampaikannya.
Pengategorian genre horor pun dinilai Kaufman tak melenceng. ”Horor bukan berarti sekadar mengagetkan orang dengan adegan tertentu atau musik yang menakuti. Aku menerjemahkannya dengan sesuatu yang berbeda. Menjadi tua, kesepian, kebingungan, kecemasan, hingga kegagalan merupakan hal yang mengerikan dalam hidup bukan?” tutur Kaufman.
Sosok yang pernah menyabet Best Original Screenplay Academy Awards pada 2005 lewat film Eternal Sunshine of The Spotless Mind (2004) ini memang identik menggunakan kesepian, kehilangan, keputusasaan, hingga rasa rendah diri sebagai benang merah dalam karyanya.
Sebut saja film yang ditulisnya, seperti Being John Malkovich (1999) dan Adaptation (2002). Tak ketinggalan, film yang sekaligus disutradarainya, seperti film Synecdoche, New York (2008), dan Anomalisa (2015). Meski berbalut komedi, animasi, atau fiksi sains, rasa yang ditinggalkan adalah kekosongan dari berbagai bentuk ketakutan yang ada pada diri manusia.
Melankoli dan rasa frustrasi memang tidak melulu tampil dalam drama mendayu-dayu yang menguras air mata. I’m Thinking of Ending Things adalah salah satunya. Problema percintaan hanya sebagai pengait untuk masuk ke dalam persoalan psikologis sesungguhnya yang jauh lebih menyakitkan, tetapi kerap kali disembunyikan oleh masing orang-orang agar tidak dianggap lemah.
Metafora yang menyusun rangkaian cerita hingga detail suasana perjalanan dalam badai salju yang muram dan rumah orangtua Jake dipadu dengan akting apik dari masing-masing pemain. Semuanya menyingkap persoalan psikologis yang ingin ditunjukkan. Meski bagi sebagian orang, film ini akan terasa membingungkan dan menimbulkan decakan, ”Lho, kok begini? Lalu akhirnya bagaimana?”
Kaufman pun memilih menyerahkan perspektif kepada masing-masing penonton. ”Biarkan orang memiliki pengalaman dan perspektifnya masing-masing terhadap film ini. Aku benar-benar tidak berekspektasi terhadap apa yang mereka pikirkan dari film ini. Aku mendukung apa pun interpretasi mereka,” kata Kaufman.
Kegelisahan relevan
Kegelisahan yang berusaha ditampilkan film ini terasa relevan dengan keadaan saat ini. Meski dibuat sebelum pandemi, aura muram akibat pandemi dan mimpi-mimpi yang harus diikhlaskan untuk tak dicapai seolah digambarkan dalam jalinan cerita ini.
Berapa banyak yang kehilangan orang yang tersayang di kala pandemi? Berapa banyak orang yang rencana dan impian besarnya harus batal? Berapa banyak yang harus berjibaku dengan stres dan ancaman kesehatan mental karena terbelenggu sepi?
Hubungan sosial terasa merenggang. Pertemuan virtual selalu disebut-sebut menjadi jalan keluar. Namun, pertemuan virtual terasa semu dan tak menghapus sepi. Kebutuhan untuk bisa bertatap dan berpeluk tanpa rasa khawatir sukar digantikan. Efektif pula menyirnakan ketakutan. Ah, tapi kapan semua ini berakhir?
Rasa-rasanya, belakangan ini gumaman kita mungkin mirip seperti tokoh dalam film ini, ”Aku ingin segera mengakhiri ini.”