Patung Mengheningkan Cipta
Para pematung, yakni Cyca Leonita, Agoes Salim, Agus Widodo, Budi PM Tobing, Darwin, Hardiman Radjab, Henry Kresna, Jack S Riyadi, Teddy Murdianto, dan Yani Mariani Sastranegara, memamerkan 19 patung.
Berdiam diri di rumah semasa pandemi Covid-19 ternyata bisa menjadi ritual mengheningkan cipta yang panjang. Raga berdiam, namun jiwa tak mau diam.
Jiwa terjaga dan dijaga untuk bergerak berkelana menengok hikmah masa lalu dan usaha menjejakkan kaki ke tanah-tanah harapan di masa depan. Seniman pematung muda Cyca Leonita, lulusan Institut Kesenian Jakarta tahun 2017, meraih keyakinan itu. Ia menanamkan sugesti ke dalam karya patung yang diberi judul ”Mengheningkan Cipta”.
Patung itu berbentuk sepotong tubuh bagian atas. Tingginya 16 sentimeter, panjang 32 sentimeter, dan lebar 7 sentimeter. Kedua lengannya bersedekap di atas meja. Kepalanya tertunduk dan ditopang kedua lengan itu. Posisi tubuh itu menunjukkan kelesuan. Namun, Cyca mengubah bentuk kepala seperti sebuah baskom yang terbuka ke atas. Baskom kosong yang siap menampung apa saja.
Di lapisan permukaan cekungan, Cyca menorehkan awan-awan putih di langit membiru. Seakan isi kepala tertunduk lesu itu memuat langit dan alam raya tak berbatas. Tubuh patungnya memerah. Di permukaannya digambari anak-anak muda-mudi penuh sukacita. Mereka dalam riang sedang duduk bersantai, memainkan gitar, atau membaca buku.
Cyca menuangkan kisahnya itu ke dalam Pameran Patung Virtual Stay @Home 2020”. Pameran diselenggarakan Asosiasi Pematung Indonesia (API) Cabang Jakarta. Pameran diluncurkan dalam Dialog Virtual API Jakarta, Senin (14/9/2020), bertajuk ”Dulu, Kini, & Esok”. Bambang Asrini Wijanarko hadir sebagai moderator perbincangan. Benny Ronald Tahalele menjadi kurator pameran patung virtual tersebut.
Karya Cyca hadir bersama karya para pematung lain yang tinggal di Jakarta dan sekitarnya. Dipamerkan sebanyak 19 patung karya 10 seniman. Para pematung lain ialah Agoes Salim, Agus Widodo, Budi PM Tobing, Darwin, Hardiman Radjab, Henry Kresna, Jack S Riyadi, Teddy Murdianto, dan Yani Mariani Sastranegara.
Kebaikan terbesar dari sebuah patung adalah kemampuannya memberikan sugesti. Entah sugesti pada diri seniman pematung itu sendiri atau sugesti kepada orang lain. Sugesti dari sebuah patung itu halus, tak kentara. Di situ ada komunikasi bermakna yang terstruktur dan sistematis, disengaja untuk membangkitkan respons secara sukarela.
”Saat pandemi, badan terasa lesu. Tetapi, pikiran melayang, berlabuh, dan tak henti menyusuri yang ingin dituju. Maju saja terus. Mengheningkan cipta. Daging lemah, tapi rasa, karsa, dan karya tetap kuat,” demikian Cyca menuangkan kisahnya di dalam deskripsi karya patung itu.
Pematung Agoes Salim menggunakan sebongkah kayu nangka tertusuk pipa-pipa kuningan kecil hingga menyerupai ilustrasi Covid-19. Tinggi patung itu 55 sentimeter dengan diameter 55 sentimeter pula. ”Waspada dan tetap bersyukur dalam menghadapi masalah sesuai kodratnya,” demikian Agoes Salim.
Patung figur perempuan dengan model resin untuk perunggu ditampilkan Agus Widodo dengan judul ”Ibu”. Dimensi patung itu tingginya 54 sentimeter, panjang 35 sentimeter, dan lebar 21 sentimeter. Ia seolah ingin menyiratkan pesan seorang ibu.
”Kesehatan tidak selalu datang dari obat-obatan. Sebagian besar datang dari ketenangan pikiran, hati, dan jiwa. Semua itu berasal dari sikap selalu bersyukur,” kata Agus Widodo.
Pematung Yani Mariani Sastranegara menghadirkan patung figur kepala seorang perempuan dengan kedua mata terkatup. Ia seperti melaju menembus angin. Patung ini berdimensi tinggi 42 sentimeter, panjang 19 sentimeter, dan lebar 18 sentimeter. Di bagian tengah kepala perempuan itu tumbuh sebatang pohon dengan dedaunannya. Ia memberinya judul ”Be Hopey, Shall Pass”. Yani memberi sugesti keteguhan dalam sebuah pengharapan.
Mengatasi ketidakpastian
Pameran virtual patung menggunakan sudut pandang putar 360 derajat. Keuntungannya, detail dari sebuah patung berukuran kecil sekalipun bisa diperbesar di layar monitor. Detail itu bisa ditampilkan dengan lebih jelas.
Kurator pameran Benny Ronald memaparkan, teknologi dunia maya telah mengambil perannya lewat pameran virtual seperti ini. Teknologi dunia maya bisa untuk menyiasati dan mengatasi ketidakpastian. Dengan peran teknologi dunia maya, hampir semua aspek kehidupan bisa tetap berjalan.
”Oleh karena itu, nikmati saja…. Rame-rame bermaya ria, menciptakan peluang baru yang tidak terduga,” ujar Benny Ronald.
Karya seni patung tidak bisa dipisahkan dengan karya-karya monumental atau patung publik. Patung-patung itu biasanya berukuran besar dan berada di tengah ruang publik. Inilah yang mendapat sorotan di dalam diskusi virtual, menjelang peluncuran pamerannya. Moderator Bambang Asrini memulai dengan presentasi karya patung publik oleh Agus Widodo dan Yani Mariani.
Kedua pematung ini tahun lalu memperoleh proyek komisi dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk menghadirkan patung publik di beberapa pulau di Kepulauan Seribu. Agus dan juga Yani Mariani menunjukkan patung-patung karya mereka.
Moderator pun melanjutkan kesempatan pemaparan oleh Ketua Umum API Pusat Arsono, yang sempat kesulitan sinyal. Arsono menyebutkan, salah satu program kerja API adalah membuat taman patung. Taman patung ini ditujukan untuk meningkatkan apresiasi publik terhadap karya seni patung.
Vandalisme
Karya seni patung menjadi strategis dan penting untuk menebar nilai-nilai kebaikan di tengah masyarakat. Keberadaan karya seni patung publik memberi banyak manfaat, tetapi akhir-akhir ini kerap dihadapkan pada masalah vandalisme, masalah perusakan patung-patung publik.
Kurator dan pengelola Galeri Cemara 6 Jakarta, Inda Citranida Noerhadi, mengemukakan hal itu dalam diskusi patung secara virtual tersebut. Inda dalam disertasi doktoralnya juga menyertakan riset mengenai vandalisme patung publik ini. ”Patung di ruang publik memiliki makna sebagai bukti perjalanan sebuah peradaban. Patung itu merepresentasikan zamannya,” ujarnya.
Keberadaan patung publik juga diwarnai adanya pengetahuan tentang pemimpin di zaman itu. Selain memiliki makna tersendiri, patung publik juga menyiratkan karakter pemimpin di masanya.
”Seperti patung-patung klasik di zaman Hindu-Buddha dan patung-patung publik yang dibuat di masa modern itu secara tidak langsung memberikan pengetahuan keragaman karakter pemimpinnya,” ucap Inda, yang juga mengajar di Institut Kesenian Jakarta dan Universitas Indonesia.
Patung publik menggambarkan visi dan misi, juga selera pemimpinnya. Pada akhirnya, keberadaan patung-patung publik akan menjadi identitas penting bagi suatu bangsa. ”Patung publik dari berbagai lapis peradaban juga memberikan kekayaan wacana. Seorang pemimpin membutuhkan itu, di antaranya akan bermanfaat untuk diplomasi budaya,” kata Inda.
Inda gelisah akan situasi terkini tentang kelangsungan dan keberadaan karya seni patung, terutama dari munculnya fenomena patung-patung publik yang dihancurkan.