Musim Seni Salihara
Melati memegang falsafah Jawa berupa hidup dengan tradisi laku atau ”nglakoni”, yaitu hidup untuk melakukan dan mengalami.

Karya instalasi Eko Purwanto (2008) dalam ”Di Ruang-Ruang Terbuka Salihara” menjadi salah satu pengisi Musim Semi Salihara yang berlagsung secara daring selama sebulan, 12 September-11 Oktober 2019.
Hakikat berkesenian terurai. Laku seni beragam pesona pecah terberai begitu indahnya. Ini semua bisa dijumpai dalam rangkaian perhelatan seni selama satu bulan Musim Seni Salihara.
Dibuka dengan sebuah tampilan video dokumenter otobiografi ”Mencari Jarum dalam Setumpuk Jerami” oleh Melati Suryodarmo, Sabtu (12/9/2020). Ini menjadi program lecture performance.
Direktur Program Musim Seni Salihara Nirwan Dewanto mengutarakan, sedikitnya ada 14 tampilan utama yang semuanya akan dilangsungkan secara daring hingga 11 Oktober 2020. Setelah tampilan pembuka oleh Melati, keesokan harinya dilanjutkan tampilan konser musik kontemporer Gema Swaratyagita dalam Jeng Sri (Ngangon Kaedan), kemudian karya seni rupa media baru Heavenly Glitches oleh Achmad Krisgatha.
Rangkaian pentas pada pekan-pekan berikutnya sudah dijadwalkan. Seni tari oleh Riyo Tulus Pemando dengan karya Hiruk Pikuk (18 September), musik Nitiswara oleh Gatot Danar Sulistiyanto dan seni tari Eyi Lesar dengan karya Karfos (19 September).
Presentasi seni rupa 69 Performance club: Out of in The Penal (21 September), seni music Nursalim Yadi Anugerah dalam karya Lawing (23 September), seni tari Ayu Permata Sari dalam karya Ma Nam Ju Pan (25 September), dan seterusnya.
”Sajian karya seni berlangsung dalam format digital. Musim Seni Salihara ini menggantikan Salihara International Performing-arts Festival (SIPFest) yang biasanya berlangsung dalam dua tahunan,” ujar Nirwan.
Titik awal
Di sepanjang durasi video 40 menit, Melati Suryodarmo menyampaikan kisah perjalanan hidupnya. Di situ pula, Melati membentuk titik awal pemahaman tentang hakikat berkesenian.
Di pemungkas tuturnya, ia menekankan tiga hal yang harus dilalui dalam berkesenian. Ketiganya itu mencakup kesenian yang berfungsi, kesenian yang membangkitkan wacana, dan kesenian yang memahami manusianya.
Melati dikenal karena karya-karya seni performans. Ia menekuni itu dan sudah tidak penting lagi untuk mempertentangkan karyanya itu sebagai bentuk seni tari atau bukan.
Karya Melati memiliki fungsi. Karya-karyanya bukan menyuguhkan tontonan, melainkan mengajak pemirsa turut mengalami laku seni. Itulah alasan Melati, ketika menampilkan karya seni performans selalu mengambil durasi yang panjang. Laku seninya pun sederhana dan repetisinya tinggi.
Bayangkan, Melati dalam karya seni performans yang diberi judul ”I’m a Ghost in My Own House” itu berdurasi 12 jam. Karya ini diciptakan Melati pada 2012.
Melati menggunakan batu penggilingan jamu tradisional untuk menggiling arang-arang kayu. Bongkah-bongkahan arang ditumbuknya. Pecahan arang kemudian digiling dan berbunyi gemeretak di atas batu pipih.
Tubuh Melati semula dibalut destar lengan panjang berwarna putih. Tak berselang lama, baju putih itu berubah warna menjadi hitam arang.
Remah-remah arang pun beterbangan kian kemari. Dinding-dinding di sekelilingnya juga berubah warna menjadi hitam. Hitam pekat bisa berkonotasikan ghost atau hantu.

Karya instalasi Purjito berjudul ”Gus Dur: Tuhan Tak Perlu Dibela” dalam ”Di Ruang-Ruang Terbuka Salihara” menjadi salah satu pengisi Musim Semi Salihara yang berlagsung secara daring, 12 September-11 Oktober 2019.
Ketika berada di tengah arang yang hitam dan terus menggiling arang itu hingga menjadi debu hitam, tak pelak tubuh akan turut serta menjadi hitam. Melati mengambil hikmah dari itu semua.
”Ketika menggilas arang, saya menemukan jalan yang tepat untuk menyatukan karya dan kehidupan saya,” ucap Melati.
Melati mengulang-ulang cara menggilas arang itu. Para pemirsa diajak merasakan proses meleburkan arang kayu itu menjadi remah-remah.
Pemirsa juga diajak merasakan perubahan baju dan dinding-dinding yang semula berwarna putih berubah menjadi hitam. Debu arang yang tergilas menempel dan mengubah warna baju dan dinding-dinding itu.
Karya seni performans Melati yang diberi judul ”Transaction of Hollows” (2016) juga tak kalah menarik. Ia terinspirasi tradisi memanah Jawa atau jemparing. ”Selama empat jam dalam dua hari saya membidikkan 800 anak panah ke dinding yang semua dicat dengan warna putih,” ujar Melati.
Karya performans Melati ini memiliki metafora ”memanah” cita-cita di masa depan. Selama adegan memanah, pemirsa dapat mendekati Melati ketika sedang memanah. Hal itu memang dikehendaki supaya pemirsa turut mengalami apa yang dilakukan dan dialami Melati.
Melati memegang falsafah Jawa berupa hidup dengan tradisi laku atau nglakoni, yaitu hidup untuk melakukan dan mengalami. Tidak hanya dua karya seni performans, tetapi masih banyak lagi karya seni performans lainnya dibedah di video dokumenter otobiografi tersebut. Beberapa karya seni performans Melati lainnya juga diuraikan panjang lebar dan ia memberi judul ”Mencari Jarum dalam Setumpuk Jerami”. Judul itu metafora yang diperkirakan awalnya berkembang dari Jerman. Melati selama beberapa tahun menetap di Jerman untuk merampungkan studinya.
Pertemuan tradisi
Setelah lulus SMA di tanah kelahirannya, Solo, Jawa Tengah, Melati pindah ke Bandung. Ia menuntaskan studi S-1 Jurusan Hubungan Internasional di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Padjadjaran pada tahun 1993.

Karya instalasi Theresia Agustina Sitompul berjudul ”The Turbine of Hope” dalam ”Di Ruang-Ruang Terbuka Salihara” menjadi salah satu pengisi Musim Semi Salihara yang berlagsung secara daring pada 12 September-11 Oktober 2019.
Kemudian Melati pindah ke Jerman untuk menyelesaikan studi Degree in Fine Art The Hochschule fuer Bildende Kuenste, Braunschweig, Jerman (1994-2001). Di sinilah Melati menautkan diri ke dalam aktivitas seni performans yang mempertemukan tradisi Jawanya dengan tradisi Jerman, atau tradisi Barat secara lebih umumnya.
Setahun berikutnya, Melati menuntaskan studi Postgraduate Program in Performance Art The Hochschule fuer Bildende Kuenste, Braunschweig, Jerman. Selama di Jerman, Melati mengembangkan seni performans di bawah asuhan seniman performans asal Jepang, Anzu Furukuwa.
Dari situlah Melati mendapatkan dasar-dasar gerak seni tradisi Butoh dari Anzu Furukawa. Pada tahun 1997, tugas Anzu Furukawa selesai dan digantikan Marina Abramovic, seniman performans dunia yang terkenal pula. Marina memiliki visi dan misi menciptakan seniman yang mandiri.
Pendidikan Marina tentang persoalan seni performans dengan dasar medium ketubuhan menjadi hal yang pokok. Namun, di balik itu harus dilandasi pengetahuan tentang sesuatu hal yang penting.
”Dari Marina, saya mendapat pertanyaan tentang tradisi saya,” ujar Melati.
Alhasil, Melati tumbuh dengan karya-karya seni performans ciptaannya yang berasal dari pembongkaran tradisi Jawa yang melingkupinya. Melati merasakan, ketika berada di Jerman yang makin jauh dari tradisi kehidupan asalnya, justru membuatnya ingin sekali mendekat seni tradisinya.
”Saya menyikapi seni tradisi bukan sebagai obyek komoditas, apalagi eksotisme. Gagasan-gagasan seperti itu tumbuh di masa-masa kolonialisme dan sudah tidak sesuai dengan masa sekarang,” kata Melati.
Salah satu anggota Dewan Kurator Musim Seni Salihara, Hasikin Hasan, mencermati video dokumenter otobiografi Melati Suryodarmo bukan lagi sebagai dokumentasi. Melati menjadikan perangkat video itu menjadi medium karya.
”Video sudah tidak lagi sekadar menjadi alat rekam, tetapi menjadi media karya. Ini menunjukkan pameran daring mampu memancing seniman untuk menjajal tantangan-tantangan baru,” tutur Asikin.
Begitu pula pementasan karya seniman lainnya dalam Musim Seni Salihara. Ada proses adaptasi dengan pementasan daring sehingga diharapkan muncul inovasi-inovasi.