Pergumulan Seni dan Teknologi
Festival tahunan untuk pergumulan seni dan teknologi terbesar dunia atas prakarsa Austria itu kini memasuki usia 41 tahun.
Praktik seni berteknologi di Jakarta turut mewarnai 120 titik simpul dunia yang dirangkum Ars Electronica Festival 2020 secara daring. Festival tahunan untuk pergumulan seni dan teknologi terbesar dunia atas prakarsa Austria itu kini memasuki usia 41 tahun.
Komisi Eropa mendukung sepenuhnya program ini. Tujuan yang diinginkannya sebenarnya sangat praktis. Mereka ingin menghubungkan teknologi dan praktik seni agar memberi manfaat bagi kebijakan inovasi teknologi Eropa serta dunia seni.
Fokusnya, pada manusia dan kegiatan yang membantu untuk menguasai tantangan sosial, ekologi, dan ekonomi Eropa, khususnya. Namun, di masa pandemi Covid-19 Ars Electronica Festival (AEF) 2020 kemudian diperluas untuk menengok wajah atau peta “dunia baru” melalui jaringan internet.
Untuk menyaksikan setiap agenda festival, meskipun secara daring tetap dikenakan tiket berbayar. Karya-karya yang ditampilkan sangat beragam. Mulai dari bentang wilayah selatan bumi seperti dari Auckland, Selandia Baru, sampai Johannesburg, Afrika Selatan.
Kemudian dari beberapa negara di Asia dan negara-negara Eropa yang mendominasinya. Sajian daring dari banyaknya agenda itu dapat dinikmati secara langsung selama festival berlangsung antara 9-13 September 2020.
Tema sentral
AEF 2020 mengambil tema sentral Kepler’s Garden (Kebun Kepler). Mungkin saja istilah ini merujuk lokasi utama festival, yaitu Johannes Kepler University (JKU), Linz, Austria.
Sebelum menengok karya-karya yang ditampilkan seniman Indonesia, melihat beberapa karya yang ditampilkan di Kampus JKU dapat menjadi referensi penting. Di situ seni dan teknologi dapat bergaul intim, bahkan menyiratkan inovasi untuk kegunaan yang sangat praktis alias tidak mengawang-awang.
Aqua_Forensic karya Robertina Sebjanic dan Gjino Sutic, menampilkan artistika bioteknologi untuk “memburu monster” perairan. Yang dimaksudkan ialah pemanfaatan bioteknologi untuk menerawang polutan atau residu konsumsi manusia, terutama dari farmasi antropogenik yang tak terlihat mata di perairan.
Julian Goldman dan Victoria Manganiello menampilkan karya Computer 1.0. Karya ini untuk menampilkan bayangan masa depan dengan melihat tampilan masa lalu.
Julian dan Victoria membuat tenunan dengan serat alami dan polimer berongga. Ada sebuah sistem komputer untuk memantau cairan atau minyak dan udara yang dipompakan ke tabung polimer.
Sebagai seorang arsitek dan seniman, saya menyadari bahwa sebagian besar kreasi saya akan berakhir di tempat pembuangan akhir (TPA). Jika demikian, saya ingin merancang sampah yang dapat saya tinggali.
Tenunan tekstil serat alami berfungsi sebagai layar komputer yang menangkap citra dari hasil pemompaan tadi. Gambaran yang muncul dianalisis sistem komputer untuk melihat masa lalu dan menerawang bayangan masa depan.
Karya lainnya berjudul Design by Decay, Decay by Design oleh Andrea Ling cukup memukau. Ia menyusun rangkaian artefak sebagai konstruksi biokomposit dari cangkang udang dan bubur kertas dari batang pohon dan kulit buah.
Rangkaian itu merepresentasikan proses kerusakan yang dirancang tetap memberi manfaat. Konsepnya sederhana, yaitu bagaimana cara menciptakan dunia tanpa limbah.
“Sebagai seorang arsitek dan seniman, saya menyadari bahwa sebagian besar kreasi saya akan berakhir di tempat pembuangan akhir (TPA). Jika demikian, saya ingin merancang sampah yang dapat saya tinggali,” ujar Andrea Ling, dikutip dari laman AEF 2020.
Sampah yang dapat ditinggali itu dirancang memiliki daya tarik tertentu. Kemudian cara membusuknya bisa dinikmati di depan mata dan di tempat itu pula. Karya ini mendistribusikan nilai-nilai yang jauh dari material permanen yang merusak ekosistem.
Kelompok usaha rintisan atau start up Plasticpreneur menyajikan karya sederhana, tetapi berdaya guna sangat penting. Mereka mengembangkan, memproduksi, dan menjual mesin daur ulang plastik yang relatif ringan untuk dijinjing.
Kelompok ini mengajarkan keterampilan wirausaha sosial untuk mengubah sampah plastik menjadi produk baru. Karya ini memiliki daya guna sangat praktis untuk mengurangi limbah plastik.
Laman AEF 2020 menampilkan 30 karya “highlight” dari beberapa negara di Eropa, Amerika, Asia, Australia, dan Selandia Baru. Dari Asia diwakili peserta dari Hongkong, Tokyo (Jepang), dan Seoul (Korea).
“Prisma Garden”
Kepesertaan Indonesia untuk AEF 2020 ini dipelopori lembaga Connected Art Platform (CAP) yang dipimpin Mona Liem. Ia bermukim di Zurich, Swiss, dan tahun 2020 ini sebagai tahun kedua dalam menyertakan beberapa karya seniman untuk AEF.
Mona Liem menghadirkan lima kolektif maupun seniman asal Indonesia untuk merespon tema AEF 2020 Kepler’s Garden. Kemudian dihadirkanlah tema Prisma Garden.
“Menghadirkan karya seni dan teknologi dari Indonesia ke dalam kegiatan AEF di Austria ini sangat penting. Sampai sekarang masih saja ada orang Eropa yang beranggapan Indonesia di wilayah Asia masih jauh tertinggal di bidang seni murni dan teknologi,” ujar Mona Liem, ketika dihubungi di Zurich, Rabu (9/9/2020).
Mona Liem menunjuk peserta kolektif Prison Art Programs (PAPs) yang dimotori seniman Angki Purbandono. Mereka menghadirkan karya video seni bertajuk Atas Nama Daun.
Angki mengunggah video bermacam-macam jenis daun yang berbentuk unik, yang dapat ditemui dari berbagai wilayah di Indonesia. Rangkaian gambar berbagai macam jenis daun itu merefleksikan keberagaman manusia serta kekayaan alam Indonesia.
Peserta lainnya, Naufal Abshar, nyaris mirip dengan karya Angki, yaitu menghadirkan bermacam-macam jenis gambar dedaunan dari Indonesia. Naufal berangkat dari keresahan hilangnya hutan, berganti hutan beton perkotaan.
Naufal memberi judul karyanya itu, "I Bet U Love My Garden". Ia membuat lukisan sebagai ilustrasi pepohonan yang ditanam di pot-pot sebagai bentuk karya satirnya.
Dengan instalasi ini, kita belajar dan berpikir tentang ruang di mana kita berada dan bagaimana merespon keberadaannya.
Rubi Roesli, seorang arsitek dan seniman menampilkan karya yang diberi judul, String Composition Serie 6. Rubi memanfaatkan citra bidang yang sebetulnya tersusun dari rangkaian string atau tali.
Komposisi tali itu ditempatkan di ruang terbuka. Ketika memperoleh pencahayaan dalam kondisi gelap, komposisi tali itu membentuk seni keindahan bidang dalam aneka bentuknya. “Dengan instalasi ini, kita belajar dan berpikir tentang ruang di mana kita berada dan bagaimana merespon keberadaannya,” ujar Rubi.
Peserta kolektif Notanlab mengangkat fenomena media sosial dan generasi Z atau generasi sesudah milenial. Mereka menciptakan aplikasi berbasis situs colo(ur) menjadi karya interaktif.
Di situ pengunjung diajak untuk memilih jenis tumbuhan yang ada di Indonesia, kemudian mewarnainya. Dari pilihan tumbuhan dan jenis warna itu kemudian ada sistem komputer yang menganalisis karakter subyeknya.
“Ini karya interaktif seperti ramalan karakter yang dimiliki seseorang,” kata Mona Liem.
Kolektif Motionbeast menampilkan karya “Tea Plantation”. Mereka mengajak pemirsa masyarakat dunia untuk lebih mengenal Indonesia dari perkebunan teh di Indonesia yang pernah menyuplai pasokan terbesar di dunia sejak abad ke-17.