Menyalakan Imajinasi Kekinian
Pergelaran seni tradisi Puspo Budoyo memang kerap melibatkan pemain tamu seperti Ketua KPI ini. Pilihan sosok pemain tamu disesuaikan dengan alur pesan yang ingin disampaikan melalui pementasan itu
Seni tradisi kethoprak tak lekang oleh zaman. Sanggar Puspo Budoyo Nusantara yang terletak di pinggiran Jakarta mampu terus bertahan hidup dan menghidupi seni sandiwara berbasis tradisi Jawa ini.
Bagian penting tak terpisahkan dari kelanggengannya, pilihan tema seni kethoprak sengaja ditujukan untuk menyalakan imajinasi kekinian. Seperti di masa pandemi Covid-19 sekarang, Puspo Budoyo mementaskan salah satu episode lakon kethoprak Nagasasra dan Sabuk Inten, Minggu (30/8/2020).
Imajinasi kekiniannya terasa pekat dari pesan tersembunyi yang tidak mudah disingkap. Pesannya samar, terasa berlapis-lapis.
Dimulai dari persoalan sebuah keyakinan dengan simpul sejarah keberadaan Syeh Siti Jenar (1426-1517). Kemudian gejolak atau dinamika sosial yang diwarnai lapis-lapis kepentingan golongan yang berujung kepada situasi politik penuh intrik dalam perebutan simbol tahta atau kekuasaan.
Sepasang keris Nagasasra dan Sabuk Inten mewakili simbol kekuasaan itu. Masyarakat dunia persilatan lapis golongan hitam dengan terang-terangan memperebutkan itu.
Latar motivasinya demi melegitimasi kekuasaan mereka untuk menandingi pemerintahan kerajaan Demak di masa itu. Kedua keris itu sebenarnya milik kerajaan Demak yang raib secara misterius. Barangsiapa memiliki kedua keris tersebut, bisa memiliki kekuasaan yang disetarakan dengan memiliki tahta sebuah kerajaan. SH Mintardja pertama kali menuliskan cerita persilatan fiktif berlatar simpul sejarah ini padatahun 1964 di sebuah koran yang terbit di Yogyakarta, koran Kedaulatan Rakyat.
Jalan ceritanya panjang. Ketika dibukukan, mencapai 29 jilid. Kisah imajinatif ini mengilhami tema beragam pergelaran seni tradisi. Alur kisahnya yang mempertemukan simpul sejarah kerajaan Demak ini sampai menimbulkan bias seolah kisah itu nyata.
“Jalan cerita Naga Sasra dan Sabuk Inten ini diambilkan dari buku yang dituliskan SH Mintardja (1933-1999). Pesan dari inti cerita ini masih relevan untuk masa-masa sekarang,” demikian tutur Luluk Sumiarso (69), pendiri Puspo Budoyo Nusantara di Ciputat, Tangerang Selatan, ketika dihubungi Kamis (3/9/2020).
Luluk mendirikan Puspo Budoyo sejak 17 tahun silam, pada tahun 2003. Melalui sanggar budaya ini Luluk tekun merawat seni pertunjukan yang menjadi seni tradisi di Jawa.
Seni pertunjukan paling populer yang dipentaskan yaitu seni kethoprak, wayang orang, dan ludruk. Pergelaran seni kethoprak Nagasasra dan Sabuk Inten yang dimainkan Minggu itu dengan episode Gunung Tidar Kobar.
Pergelaran Gunung Tidak Kobar terhitung sebagai pementasan ke 97 kali sejak sanggar itu didirikan. Sesuai protokol pandemi Covid-19, semua bentuk kegiatan seni tidak boleh menimbulkan kerumunan.Pentas pun tanpa penonton dan disiarkan secara langsung melalui kanal Youtube Puspo Budoyo. Durasinya cukup Panjang, 1 jam 44 menit.
Untuk menghemat biaya, Luluk menuturkan, dalam satu pementasan itu sekaligus diproduksi dua episode. Episode berikutnya akan tayang di Youtube, 13 September 2020 mendatang.
Melawan hoaks
Salah satu pesan sederhana yang dipanggungkan kali ini adalah melawan hoaks atau kabar bohong yang berseliweran. Sampai-sampai Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Yuliandra Darwis dilibatkan untuk bermain dalam pementasan yang akan tayang pada 13 September 2020 mendatang.
“Saya memerankan tokoh Arya Palinggih sebagai utusan kerajaan Demak untuk datang ke Banyubiru. Kedatangan Arya Palinggih berkaitan dengan hoaks yang dikhabarkan tentang keberadaan keris Nagasasra dan Sabuk Inten di Banyubiru, tetapi ternyata tidak ada,” tutur Yuliandre.
Pergelaran seni tradisi Puspo Budoyo memang kerap melibatkan pemain tamu seperti Ketua KPI ini. Pilihan sosok pemain tamu disesuaikan dengan alur pesan yang ingin disampaikan melalui pementasan itu.
Salah satu episode Nagasasra dan Sabuk Inten yang menjadi seni pertunjukan Puspo Budoyo ke 97 dan 98 ini pekat nuansa hoaks. Hoaks terkait dengan keberadaan sepasang keris Nagasasra dan Sabuk Inten yang menjadi incaran perebutan tokoh-tokoh sakti dunia persilatan golongan hitam.
Hoaks tentang kedua keris kerajaan Demak yang raib secara misterius itu pun berseliweran. Tidak beda jauh ketika sekarang melalui media sosial, hoaks terkait kepentingan politik demi ambisi tahta kekuasaan terus berseliweran.
Komisi Penyiaran Indonesia memiliki kepentingan sejalan untuk melawan hoaks itu. Ketua KPI antusias terlibat di pementasan ini.
Pesan sederhana lainnya disuarakan lewat banyolan dua pelawak Iyok dan Sentot, yang keduanya menjadi abdi tokoh dunia persilatan golongan hitam sepasang suami isteri Simarodra. Simarodra menguasai wilayah Gunung Tidar.
Iyok dan Sentot membanyol perihal dampak protokol pandemic Covid-19.
Kegiatan seni pertunjukan di mana-mana meredup. Periuk nasi para seniman terusik. Keduanya sepakat. Jalan seni tidak hanya di panggung. Untuk menghadapi realitas dan tuntutan kebutuhan, seniman harus membaur dengan kehidupan nyata. Seperti ketika bisa meraup nafkah untuk hidup dengan berjualan, maka seniman harus rela menempuhnya. Iyok dan Sentot memiliki pandangan demikian.
Narasi tersembunyi
Lakon Nagasasra dan Sabuk Inten menghadirkan tokoh utama Mahesa Jenar yang diperankan Ayok Prasetyo. Kata “jenar” yang disandang itu memang menautkan diri dengan sosok Syeh Siti Jenar, tokoh penyebar agama Islam kelahiran Persia (Iran), yang kemudian dikenal di Jawa mengembangkan ajaran “manunggaling kawula Gusti”.
Mahesa Jenar dikenal juga sebagai Rangga Tohjaya, prajurit utama pengawal raja kerajaan Demak. Ia memilih undur diri dari keprajuritan, setelah muncul perselisihan pandangan soal penyebaran ajaran kepercayaan yang disusul hukuman mati bagi Syeh Siti Jenar. Apalagi ketika hukuman mati itu mulai merembet ke pengikut-pengikut Syeh Siti Jenar. Salah satunya, Kebo Kenanga.
Mahesa Jenar memiliki kedekatan hubungan seperguruan dengan sosok Kebo Kenanga. Oleh karena situasi itu ia menjatuhkan pilihan undur diri dari keprajuritan istana Demak. Mahesa Jenar keluar dari istana. Ia menjelajahi wilayah kerajaan Demak hingga menyentuh wilayah-wilayah yang disebutkan nyata sampai sekarang.
Seperti ketika berjalan ke selatan dari Demak, Mahesa Jenar berada di wilayah Prambanan. Kemudian disebut-sebut wilayah alas Mentaok, yang kemudian tumbuh menjadi cikal-bakal wilayah kerajaan Mataram Islam dan kini bertranformasi menjadi Kasultanan Yogyakarta.
Mahesa Jenar menjalani kisah petualangannya. Termasuk kisah percintaannya dengan Rara Wilis, yang diperankan Siti Saraswulan. Petualangan Mahesa Jenar membela kebaikan. Tak pelak jalan nasib Mahesa Jenar tidak berubah arah. Ia mengabdi kepada kerajaan Demak dengan caranya sendiri.
Setelah Mahesa Jenar menjatuhkan pilihan undur diri dari istana itu, dikhabarkan pusaka kerajaan Demak berupa keris Nagasasra dan Sabuk Inten raib. Mahesa Jenar pun memutuskan untuk menemukan dan mengembalikan kedua pusaka kerajaan itu.
Di sepanjang lakon ini tidak dikisahkan sebab-musabab hilangnya kedua pusaka itu. Penulis kisah ini, SH Mintardja, membuat narasi yang tersembunyi. Pembaca diajak terlibat menafsir atas peristiwa hilangnya kedua pusaka tersebut.
“Sampai di akhir cerita, kita diajak menduga, yang mengambil kedua pusaka itu Pasingsingan Sepuh,” ujar Luluk Sumiarso, yang belum tahu kapan akan mengakhiri episode Nagasasra dan Sabuk Inten ini.
Di sepanjang alur pun sosok Pasingsingan Sepuh juga samar. Kesamarannya diperkuat SH Mintardja dengan menghadirkan sosok lain dengan nama sama, Pasingsingan, yang menjadi tokoh antagonis sebagai guru Lawa Ijo, musuh utama Mahesa Jenar.
Menyangkut nasib Syeh Siti Jenar dengan ajarannya juga tidak gamblang diungkap. SH Mintardja memantik imajinasi keberpihakan melalui tokoh utama Mahesa Jenar dengan samar. (NAW)