Bergesernya Makna Interaksi Selebritas dengan Publik
Pandemi Covid-19 mengubah interaksi antara selebritas dan publik. Seperti apa perubahannya?
Peran selebritas dalam tatanan masyarakat menjadi sorotan semenjak beredar video Gal Gadot bersama sejumlah pesohor menyanyikan lagu ”Imagine” karya John Lennon dan Yoko Ono pada Maret 2020. Gadot dan teman-temannya berusaha menyemangati masyarakat dalam menghadapi pandemi Covid-19. Alih-alih mengangkat moral masyarakat, video itu justru menjadi bahan olok-olok warganet.
Seruan untuk legawa dan candaan untuk melewati pandemi dari pesohor lainnya juga mendapat tanggapan dingin dari warganet. Hal itu dialami Madonna, Ellen Degeneres, Vanessa Hudgens, Justin dan Hailey Bieber, dan Kendall Jenner.
Ajakan-ajakan mereka rupanya dinilai tidak peka karena berasal dari orang-orang dengan kekayaan jutaan dollar AS. Sementara banyak orang lain terdampak Covid-19 dan tidak memiliki pilihan untuk tinggal di rumah.
Dosen Sosiologi City, University of London, Profesor Chris Rojek, mengatakan, dalam kondisi seperti pandemi, pesan pemerintah menyatakan orang kaya dan miskin sama-sama menghadapi bahaya yang sama. Namun, hal itu tidak sepenuhnya benar.
”Selebritas memiliki tembok di sekeliling mereka dan hidup dalam kemewahan. Jadi, bagi mereka untuk menyatakan ’saya mengerti kesulitan Anda’ itu sedikit berlebihan,” kata Rojek, Sabtu (22/6/2020).
Dalam beberapa kesempatan, gantian publik yang mengkritik dan mengedukasi pesohor dalam menghadapi Covid-19. Warganet tak segan memberi gelar covidiot kepada pesohor yang bermasalah. Covidiot adalah istilah urban merujuk pada seseorang yang tidak mengindahkan peringatan terkait dengan keamanan atau kesehatan masyarakat untuk melawan Covid-19.
Warganet tak segan memberi gelar covidiot kepada pesohor yang bermasalah. Covidiot adalah istilah urban merujuk pada seseorang yang tidak mengindahkan peringatan terkait dengan keamanan atau kesehatan masyarakat.
Aktris AS Evangeline Lilly, misalnya, mendapat gelar ini setelah sempat mengklaim pembatasan fisik membatasi kebebasannya meskipun kasus Covid-19 di AS terus bertambah. Sementara itu, blogger AS, Arielle Charnas, dicemooh karena tidak melakukan isolasi mandiri setelah terkena Covid-19.
Penyanyi Madonna juga dikritik karena mengunggah video konspirasi bahwa vaksin Covid-19 telah ditemukan. ”Mereka lebih suka membiarkan rasa takut menguasai orang, membiarkan yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin,” tulisnya sebelum Instagram menghapus video hoaks itu.
”Selebritas memiliki platform dan ketika mereka menyalahgunakannya itu sangat tidak bertanggung jawab. Mereka memengaruhi orang. Sains tidak menang, fakta tidak menang. Emosi mengalahkan bukti ilmiah setiap saat,” tutur Paul Offit, salah satu penemu vaksin rotavirus asal AS.
Di Indonesia, penyanyi Anji mendapat kritik tajam karena meremehkan pekerjaan jurnalistik sebagai garda depan dan menyebarkan informasi sesat terkait dengan penemuan obat Covid-19 melalui media sosialnya. Warganet ramai-ramai memperingatkan konten-kontennya dapat meresahkan publik. Ia akhirnya dilaporkan ke polisi pada 3 Agustus 2020.
Perubahan interaksi
Reaksi negatif masyarakat yang muncul cukup mengejutkan. Pada umumnya, publik menyukai konten media sosial menarik dari selebritas. Namun, pandemi saat ini merupakan masa yang benar-benar berbeda sebab mengubah interaksi antara selebritas dan publik.
Seperti yang diketahui, ruang untuk para pesohor berinteraksi dengan publik semakin minim. Tidak ada lagi acara peluncuran film baru, konser musik, acara televisi, atau acara penghargaan. Alhasil, selebritas membanjiri media sosial sebagai ruang alternatif untuk berinteraksi.
Namun, hal itu dapat menjadi langkah blunder bagi mereka apabila tidak berhati-hati. Karena, yang perlu diingat adalah pada masa krisis seperti ini, masyarakat umum lebih tertarik untuk mencari koneksi, bukan sensasi.
”Ada banyak selebritas yang tidak memiliki keterampilan, tidak memiliki bakat, dan sebenarnya tidak memiliki nilai dalam hal memberikan apa pun kepada publik selain sensasi. Jenis selebritas ini disebut seletoid, selebritas dan tabloid,” tutur Rojek.
Pandemi membuat masyarakat memiliki lebih banyak waktu untuk mengkritisi konten-konten yang bermasalah, kontroversial, atau tidak sensitif. Pada saat yang bersamaan, fokus masyarakat mulai berpaling pada berita mengenai sosok penting atau cerita inspiratif dalam menghadapi pandemi, seperti petugas garda depan, aksi solidaritas masyarakat, dan update kasus dari pemerintah.
Pada saat yang bersamaan, fokus masyarakat mulai berpaling pada berita mengenai sosok penting atau cerita inspiratif dalam menghadapi pandemi,
Sebagai contoh, masyarakat menyambut baik berita mengenai Kapten Tom Moore, seorang veteran perang Inggris, berhasil menggalang dana sebesar 30 juta poundsterling atau setara 39,27 juta dollar AS dengan berjalan mengelilingi kebunnya. Direktur Jenderal Kesehatan Selandia Baru, Dr Ashley Bloomfield, mendapat penggemar karena memiliki pengetahuan mendalam dalam menghadapi pandemi.
”Saat ini, dua ciri kepribadian terpenting yang harus dimiliki influencer adalah belas kasih dan pengertian. Kita berada dalam masa yang menakutkan, belum pernah terjadi sebelumnya, dan konten apa pun yang dianggap terlalu promosi tidak akan berhasil dan dapat merusak hubungan pembuat konten dengan pengikut mereka,” ujar Mary-Keane Dawson, CEO Takumi, sebuah perusahaan pemasaran influencer di Inggris, dikutip dari HuffPost.
Sejauh ini, konten selebritas di media sosial yang cukup diterima masyarakat adalah konten ”tulus” yang berarti mampu membuat audiens merasa relatable atau mengena di hati. Selain mengenai donasi, konten yang diapresiasi adalah konten yang membantu mereka melewati kebosanan atau cerita personal.
Warganet, misalnya, mendoakan aktor kawakan Tom Hanks dan istrinya ketika terinfeksi Covid-19 pada Maret 2020. Mereka juga menyukai ketika penyanyi AS, Scott Hoying, membuat video Tiktok yang membuat rap apresiasi kepada Dr Anthony Fauci, Direktur Institut Penyakit Menular dan Alergi AS, yang berselisih dengan Presiden AS Donald Trump, berdasarkan musikal Hamilton pada akhir Juli 2020.
Makna interaksi
Pada masa lalu, budaya selebritas membuat selebritas dipandang sebagai ”dewa”. Selebritas dilihat sebagai ikon keberhasilan mencapai kesuksesan melalui talenta, pesona, dan kerja keras.
Namun, perkembangan zaman telah menggeser makna interaksi antara pesohor dan masyarakat. Akses terhadap dan informasi mengenai selebritas menjadi lebih mudah sehingga mereka lebih terjangkau.
”Jarak antara selebritas sekarang dan kita jauh lebih sedikit dari sebelumnya, katakanlah pada 1970. Dulu, Anda mengagumi Marlon Brando atau siapa pun itu seperti dewa. Orang-orang sekarang mungkin berpikir Beyoncé adalah dewa, tetapi dia lebih dekat dengan kita daripada 30 atau 40 tahun yang lalu,” ujar Rojek.
Blunder-blunder seperti kasus-kasus yang telah disebutkan pun menguatkan anggapan selebritas hanyalah orang biasa dengan kekayaan lebih. Masyarakat semakin berani memperluas interaksi dengan tidak hanya mengagumi, tetapi juga mengkritik dan mengedukasi. Di sisi lain, kesadaran mengenai ketimpangan sosial antara selebritas dan masyarakat biasa pun menguat.
Baca juga: Dari Panggung Selebritas ke Panggung Politik
Namun, Rojek tidak yakin budaya selebritas akan ditinggalkan sepenuhnya, terutama ketika pandemi berakhir. Ini karena kebiasaan memuja selebritas telah menjadi budaya berusia ratusan tahun. (BBC/THE NEW YORK TIMES/THE GUARDIAN)