Panggung Teater Masuk ke Rumah
Pandemi Covid-19 memindahkan menonton teater, dari ruang pertunjukan ke layar gawai. Proses penciptaan karya pun terpaksa menyesuaikan. Tontonan teater jadi hibrida baru.
Selama pandemi Covid-19 ini, pentas teater yang identik dengan pertunjukan di dalam gedung dan keplokan penonton terpaksa merunduk. Berbulan-bulan meredup, pelaku teater Indonesia mencoba meraih kembali penontonnya. Berbagai pertunjukan virtual yang bisa ditonton di ruang rumah masing-masing disiarkan lewat internet.
Kelompok Teater Garasi dari Yogyakarta tengah merancang wajah baru buat kreasi mereka berikutnya. Seperti halnya kelompok lain, Teater Garasi selama ini selalu memulai proses kreatif mereka dari pertemuan fisik, yang bisa berhari-hari berkumpul di satu lokasi yang sama.
Tradisi berproses itu, misalnya, terlihat ketika awak kelompok ini berkumpul di Larantuka, Flores Timur, Nusa Tenggara Timur, pada pertengahan 2019. Kota itu jadi titik awal seri proyek pertunjukan Multitude of Peer Gynts, adaptasi drama gubahan Henrik Ibsen.
Kala itu, selama dua pekan awak Teater Garasi berinteraksi dengan masyarakat setempat—termasuk 10 seniman Flores Timur—mengembangkan naskah. Mereka menggali permasalahan terkait isu mobilitas, ketakutan, dan kecemasan yang terjadi di daerah itu. Bersama-sama dengan aktor/aktris dari Jepang dan Sri Lanka, sintesa keresahan itu dipentaskan dalam lakon Peer Gynts in Larantuka pada Sabtu (6/7/2019) untuk publik di tepi pantai Kota Larantuka.
Semenjak itu, kisah Peer Gynts berkelana ke tempat lain, yaitu di Tokyo (September 2019) dan Shizuoka (November 2019), Jepang. Formulasinya masih sama; berinteraksi dengan penduduk tempat masing-masing dan berkolaborasi dengan seniman lokal. Semula, pada Juli 2020 ini, Peer Gynts diwacanakan kembali ke Indonesia, tetapi pandemi Covid-19 mengurungkan rancangan itu.
”Semula kami merencanakan penggarapan ulang yang akan kami pentaskan di hadapan penonton di Yogyakarta dan Jakarta pada Juni-Juli 2020. Lalu datanglah wabah sehingga kami harus melihat ulang ukuran-ukuran yang lazim dalam pertunjukan dengan kehadiran penonton langsung,” kata dramaturg Ugoran Prasad dalam perbincangan virtual pekan lalu.
Rencana itu tak serta-merta batal. Teater Garasi, lanjut Ugoran, sedang merancang karya pertunjukan yang bisa melampaui tantangan kendala pertemuan fisik. Karya itu, yang merupakan kelanjutan dari lakon Peer Gynts ini, ditayangkan lewat website sepanjang Oktober 2020, dalam judul UrFear: Huhu and the Multitude of Peer Gynts. Nantinya, siapa pun dengan gawai dan koneksi internet bisa menyimak pertunjukan ini di mana pun.
Temuan baru
Sutradara Yudi Ahmad Tajudin menjabarkan, pertunjukan oleh seniman yang terlibat berformat individual di lokasi masing-masing. Penayangannya ada yang bersifat real time atau langsung terjadi saat itu juga, maupun prerecorded alias telah usai direkam sebelumnya.
”Ini percobaan baru bagi kami, bisa gagal, bisa berhasil. Andai kata ketika penayangan ada gangguan koneksi internet, itu adalah bagian dari pertunjukannya,” kata Yudi.
Ugoran melanjutkan, naskah yang mereka kerjakan merupakan agenda atau pandangan mereka terhadap isu kebergerakan (mobilitas). Setiap seniman diibaratkan Ugo punya ”kepingan lego” masing-masing, yang nantinya tersusun pada titik tertentu. ”Ini model kerja yang menarik dan menantang, meyakinkan kami bahwa apa yang hilang (dari proses temu darat/offline), mungkin digantikan dengan temuan baru di online,” kata Ugoran.
Cara kerja dalam medium baru ini, tentu saja, berubah dan dirasa memunculkan kecemasan kecil. Misalnya, mereka khawatir bagaimana memasak sebuah ide jika tidak berada dalam satu ruang bersama-sama, seperti lazimnya proses berkarya selama ini. Cara kerja lama itu ”terselamatkan” oleh percakapan intens melalui kanal aplikasi percakapan.
”Dalam kondisi seperti ini, enggak ada tuh ngobrol dua minggu. Gantinya adalah teror Whatsapp dari aktor yang bisa berlangsung 3-4 jam menanyakan ini-itu. Ketika dia presentasikan (dalam wujud akting), hasilnya mengejutkan, menarik. Ini yang aku maksud dengan temuan baru,” kata Ugoran.
Pertunjukan Oktober nanti tetap melibatkan sejumlah kolaborator yang pernah bekerja sama sebelumnya, seperti Takao Kawaguchi dan Yasuhiro Morinaga dari Jepang, Nguyen Manh Hung (Vietnam), dan Venuri Perera (Sri Lanka). Selain itu, ada pula kolaborator baru, yaitu Nyak Ina Raseuki atau Ubiet, Darlene Litaay, Abdi Karya, dan Andreas Ari Dwiyanto.
Karena tampil dalam medium internet, Teater Garasi juga mengajak seniman Woto Wibowo atau Wok The Rok dari Yogyakarta, yang selama ini banyak bekerja dengan medium internet dan dunia digital. ”Dia lebih paham nalar website dan internet,” kata Yudi tentang Wok yang mendirikan label musik di internet bernama Yes No Wave itu.
Kelompok Papermoon Puppet Theater telah memulai pentas virtual selama masa pandemi ini. Pada 27-29 Maret, teater boneka ini ”manggung” di aplikasi Whatsapp pembeli tiket seharga Rp 100.000. Penonton dikirimi video pertunjukan berdurasi dua menitan berjudul (In Your Pocket) Story Tailor.
Papermoon juga memainkan secara langsung lakon A Bucket of Beetles, pada 1-2 Agustus dalam empat jadwal pertunjukan. Mereka kembali pentas di ajang Festival Sumonar 2020 pada Rabu (12/8/2020) dalam lakon I Know Something that You Don’t Know. Dua penampilan di bulan Agustus ini disiarkan lewat platform Google Meet, dengan tiket ludes terjual.
Untuk disiarkan
Titimangsa Foundation dan Bakti Budaya Djarum Foundation telah mementaskan produksi teater berjudul Rumah Kenangan pada Sabtu (15/8/2020) hingga Minggu lalu. Lakon itu diproduksi ketika masa pandemi dan sengaja dibuat untuk disiarkan, bukan dipentaskan di gedung pertunjukan. Penyiarannya melalui situs IndonesiaKaya.com dengan karcis seharga Rp 50.000.
Rumah Kenangan adalah drama konflik keluarga yang naskahnya ditulis Agus Noor, yang juga merupakan sutradaranya. Drama berdurasi sekitar 70 menit ini dimainkan oleh Butet Kartaredjasa, Ratna Riantiarno, Happy Salma, Reza Rahadian, Wulan Guritno, dan Susilo Nugroho.
Karena ditayangkan, produk akhir dari lakon ini berupa sinema, yang berusaha menjaga roh teater. Agus Noor menggandeng sutradara film pemenang FFI 2015 Eddy Cahyono dari FourColors Productions untuk mengurusi aspek sinematiknya.
”Teman-teman dari FourColors Productions membantu saya menerjemahkan pengadeganan ke dalam gambar-gambar video,” kata Agus. Dia menyebutkan, perekaman gambarnya membutuhkan sedikitnya tiga kamera.
Menurut produser Happy Salma, produksi ini berjalan sekitar dua bulan ketika pembatasan sosial diberlakukan. Latihan, mau tidak mau, berlangsung di aplikasi Zoom, karena pemain dan sutradara tinggal di kota-kota yang berbeda. Pengambilan gambar dilakukan di Yogyakarta, tanpa ada penonton. Pemain dari luar Yogyakarta datang setelah dinyatakan nonreaktif Covid-19 melalui tes cepat.
Agus mempertahankan roh teater, antara lain, dengan hanya menggunakan satu set panggung, yaitu di dalam rumah. Adegan demi adegan direkam tak terputus, seperti layaknya menonton teater di gedung pertunjukan. Layar gelap gulita dijeda antarbabak. Bisa jadi, pada momen inilah sutradara bisa berteriak ”cut!” waktu pengambilan gambar.
Baca juga : Dengarkan Nyanyian Anak Bangsa
Distraksi khas pengguna gawai berusaha ditepis Agus, yang cerdik menempatkan kegentingan-kegentingan di berbagai adegan. Potensi konflik bahkan sudah muncul di adegan awal, dengan langsung memaparkan karakter Raden Wijaya Sastro (diperankan Butet). Tempo pertunjukan berusaha dimainkan dengan cepat, cenderung tergesa-gesa.
Format pertunjukan teater daring dengan penonton dari rumah masing-masing ini bisa dibilang memikat. Penikmat bisa terobati kerinduannya menyaksikan adu akting teaterikal yang berbeda dibandingkan sajian film.
Walau begitu, naskah drama berselip komedi ini menyisakan kecanggungan. Tak ada umpan balik berupa tawa, misalnya, yang biasa terdengar setiap adegan lucu. Susilo (yang memerankan Parto) seperti ditugaskan menjadi badut, atau pengurai ketegangan. Dialog dan gesturnya berusaha memancing tawa penonton. Mungkin ada juga yang tertawa, tapi dia tak mendengarnya.
Bagi Butet yang sarat pengalaman itu, berakting di Rumah Kenangan ini merupakan hal unik. ”Ini seperti main teater untuk televisi di tahun 1970 sampai 1980-an dulu. Tidak ada cutting. Pemain harus benar-benar hafal dengan teks. Ini murni seperti main di atas panggung,” ucap Butet.
Bentuk hibrida teater dan film ini, duga Butet, bisa jadi merupakan format ”wajar” selama masa penjarakan sosial ini. ”Ini seperti berkah bagi kancah teater Indonesia karena menemukan format pertunjukan baru. Sangat mungkin kelompok-kelompok teater, seperti Teater Koma atau Teater Gandrik, menemukan penontonnya dari seluruh dunia,” katanya dia.