Tiwikrama Si ”Bocah Serangga”
Bocah kecil dan serangga-serangga kecil menjalin persahabatan di hutan. Mereka menjelma sempena yang jauh lebih besar daripada tubuh-tubuh mungil itu dalam pentas A Bucket of Beetles karya Papermoon Puppet Theatre.
Bocah kecil dan serangga-serangga kecil menjalin persahabatan di hutan. Mereka menjelma sempena yang jauh lebih besar daripada tubuh-tubuh mungil itu dalam pentas A Bucket of Beetles karya Papermoon Puppet Theatre.
Rimba raya menjadi arena bermain si bocah, Wehea, dan para serangga, seperti belalang sembah, semut merah, lebah madu, dan kumbang badak. Mereka jadi perlambang harmoni alam dan manusia.
Sampai kemudian datang orang-orang yang hanya tahu mengambil keuntungan dari hutan dan makhluk-makhluk di dalamnya. Hutan pun hangus, berubah menjadi perkebunan, menyisakan pilu bagi bocah dan sahabat-sahabat kecilnya.
Cerita sederhana ini dikemas menawan lewat gerak-gerik boneka Wehea dan empat serangga. Tanpa kata, sosok-sosok itu bisa bertutur lantang dan jelas.
A Bucket of Beetles dipentaskan secara virtual melalui platform Google Meet pada 1-2 Agustus 2020 dalam empat kali pertunjukan. Kisah ini pernah dipentaskan secara langsung di Jepang, Februari 2020, sebelum masa pandemi, dan belum pernah dipentaskan di Indonesia.
Direktur Artistik Papermoon Puppet Theatre Maria Tri Sulistyani, atau akrab disapa Ria, menuturkan, ide cerita A Bucket of Beetles datang dari Lunang Pramusesa, putranya yang berusia 5 tahun. Belakangan ini, Lunang menggemari serangga, bahkan memelihara beberapa serangga.
”Dia suka banget serangga. Dia usul, ingin bikin pementasan tentang serangga. Dia lalu mulai menyusun cerita. Tentu saja saya punya andil untuk menyusun dramaturginya, tetapi ide besarnya dari dia,” papar Ria.
Wehea adalah nama hutan lindung di Kalimantan Timur. Ria terinspirasi kisah-kisah kehidupan masyarakat adat yang tinggal di hutan-hutan dan seiring waktu kian tersudut karena hutan dihabisi.
Boneka bocah Wehea merepresentasikan keindahan yang rentan, sama dengan hutan kita. Dalam pentas itu tampak Wehea begitu peduli dengan hewan-hewan kecil di sekitarnya, memberi makanan, memisahkan yang berebutan makanan. Dia pun sedih tatkala tidak menjumpai serangga saat berjalan-jalan di hutan.
Gerak-gerik boneka diperkuat dengan visualisasi dalam bentuk bayang-bayang di latar belakang, mirip pertunjukan ala shadow puppet atau wayang. Ada wayang serangga yang merupakan gambar karya Lunang. Ada tangan-tangan besar yang berupaya mencengkeram makhluk-makhluk kecil.
Di panggung, terdapat rumah panggung kayu tempat tinggal Wehea. Dedaunan, ranting, berserak memberikan nuansa belantara.
”Sebenarnya ada banyak lapisan dari cerita A Bucket of Beetles. Ada cerita tentang kelestarian hutan dari sudut pandang anak. Kenapa kami memilih serangga, mereka makhluk terkecil, tak berdaya. Serangga juga sering kali dianggap hama. Itu jadi metafor, bagaimana anak hadir dalam kehidupan orang dewasa, yang kadang kala dianggap beban,” papar Ria.
Pesta di panggung
Pentas secara virtual memberikan keleluasaan untuk berkreasi bagi tim Papermoon Puppet Theatre. Ibarat pesta, kata Ria. Biasanya ketika pentas ke luar negeri, mereka akan membuat set panggung knockdown yang harus muat di koper. Dengan pentas virtual ini, mereka bisa membuat set dengan detail di studio Papermoon.
Material yang digunakan berasal dari sekitar studio. Ranting-ranting jatuh, daun-daun kering. ”Saat adegan kebakaran hutan, set benar-benar dibakar. Kami bereksperimen dengan api betulan,” ujarnya.
Pertunjukan virtual itu tidak sekadar memindahkan apa yang ada di atas panggung ke dalam layar. Namun, dengan teknik sunting dan videografi, penonton juga akan merasakan efek seperti menonton film.
Sebagai contoh, saat pentas secara langsung di panggung, penonton bebas menentukan fokus yang akan ditonton. Dengan pentas virtual, fokus penonton ”dibimbing” atau ”diarahkan” untuk melihat detail-detail yang mendukung karya tersebut. Pengalaman menonton pentas pun menjadi lebih kaya.
Untuk semakin menghidupkan karakter boneka Wehea, Papermoon mengadaptasi beberapa teknik dari Jepang. Bunraku, teknik memainkan satu boneka oleh lebih dari satu orang. Kuruma ningyo, teknik memainkan satu boneka oleh satu orang dengan menggunakan kursi beroda.
Sementara untuk memainkan serangga, mereka mengembangkan teknik sendiri dan menghasilkan gerakan yang dinamis, mendekati gerakan asli hewan-hewan itu. Dengan cara ini, tanpa dialog pun, penonton bisa terhanyut dalam jalan cerita lewat gerak dan gestur boneka.
”Ini pengalaman luar biasa bagi kami semua. Interaksi dengan penonton tetap terjaga, seperti yang terjadi saat pentas live. Penonton juga tidak hadir tanpa nama, kami bisa melihat ’wajah’ mereka. Jadi, sebenarnya tidak perlu takut melakukan pentas virtual semacam ini,” ucap Ria.
Dia tetap bisa menjalankan tradisi melihat ”dapur” belakang panggung, memperlihatkan kepada penonton apa yang membuat sajian bisa terealisasi. Tetap ada juga sesi tanya jawab dengan kru pentas, seperti layaknya pementasan langsung.
Pengalaman luar biasa lain dari pentas ini juga didapatkan Papermoon Puppet Theatre dari para penonton yang berasal dari berbagai penjuru Tanah Air. Tak sedikit juga penonton dari luar negeri.
Selain itu, kali ini Papermoon juga menerapkan sistem barter untuk pembelian tiket menonton. Pertimbangannya, banyak orang ingin menonton, tetapi saat ini prioritas finansial mereka tidak untuk menonton pertunjukan.
Ria menuturkan, A Bucket of Beetles ditonton anggota komunitas sekolah Gajah Wong. ”Itu sekolah gratis yang menyediakan pendidikan anak-anak miskin kota. Mereka menggelar nonton bareng dengan tiket sistem barter. Karena mereka punya peternakan kambing, mereka tukar satu tiket dengan dua karung pupuk kandang,” ujarnya, terharu.
A Bucket of Beetles didedikasikan untuk tontonan keluarga, serta diharapkan bisa menghangatkan ruang keluarga di saat-saat krisis seperti sekarang. Pada akhirnya, pentas itu tidak sekadar pertunjukan teater boneka, tetapi juga medium berbagi: ide, inspirasi, pengetahuan, dan kegembiraan.
Bocah dan serangga-serangga kecilnya itu membuktikan bahwa mereka mampu bertiwikrama alias menjadi ”raksasa” yang lebih besar dari wadaknya. Imajinasi anak-anak sungguh di luar dugaan. Kita saja, sebagai orang dewasa, yang sering meremehkan dan tidak memperhitungkan keajaiban mereka.