Olivia de Havilland, Aktris Progresif dari Zaman Keemasan Hollywood
Sejak terjun di dunia perfilman pada 1935, Olivia de Havilland telah membintangi 50 film. Pada 26 Juli 2020, Hollywood kembali kehilangan salah satu legendanya. De Havilland berpulang di Paris di usia 104 tahun.
Film klasik Amerika Serikat, Gone with the Wind (1939), tercatat dalam sejarah sebagai film terlaris sepanjang masa. Dalam film romantis bernuansa historis itu, dunia Scarlett O’Hara, diperankan oleh Vivien Leigh, harus bersinggungan dengan Melanie Hamilton, diperankan oleh Olivia de Havilland.
Meskipun bukan pemeran utama, De Havilland berhasil merebut perhatian penonton. De Havilland berhasil memerankan Hamilton yang menjadi epitome perempuan Amerika yang ideal karena memiliki karakter yang feminin, tenang, dan baik, meskipun naif.
Tampilan visual De Havilland juga menarik berkat kecantikan alaminya. Wajahnya yang berbentuk hati tampak serasi dengan mata coklat tuanya yang besar.
”Aku merasa sangat tertarik pada karakter Melanie. Dia adalah pribadi yang kompleks dibandingkan dengan para pahlawan perempuan yang telah aku mainkan berulang kali,” kata De Havilland.
Peran De Havilland dalam Gone with the Wind berhasil memberikan nominasi pertamanya di Academy Awards sebagai aktris pembantu terbaik. Meskipun begitu, ia memang telah mencuri perhatian setelah tampil di Captain Blood (1935) dan The Adventures of Robin Hood (1938).
Nama De Havilland semakin melambung sebagai salah satu legenda Hollywood. Ia kemudian dikenal sebagai bankable star yang berarti aktris terkenal yang mampu menjamin kesuksesan film hanya dengan kemunculannya.
Sejak terjun di dunia perfilman pada 1935, De Havilland telah membintangi 50 film. Beberapa film lainnya yang terkenal adalah The Charge of the Light Brigade (1936), They Died With Their Boots On (1941), The Dark Mirror (1946), dan The Snake Pit (1948). Ia membintangi dua film menegangkan yang mendapat sambutan baik, Lady in a Cage (1964) dan Hush...Hush, Sweet Charlotte (1964).
De Havilland juga senang menjajal karakter yang sulit. Dalam To Each His Own (1946), ia menjadi perempuan yang melahirkan anak tanpa suami. Tiga tahun kemudian, ia berperan sebagai ahli waris perempuan yang memiliki ayah yang tidak menyayanginya dalam The Heiress (1949).
Sepanjang kariernya, De Havilland mendapat berbagai nominasi dan penghargaan. Ia memperoleh lima nominasi dari Academy Awards serta membawa pulang dua piala Oscar untuk kategori Aktris Terbaik. Ia juga mendapat penghargaan besar, seperti National Medal of the Arts dari Pemerintah AS, Legion d’Honneur dari Pemerintah Perancis, dan Dame Commander dari Kerajaan Inggris.
De Havilland, yang juga memiliki kewarganegaraan AS, tinggal di Paris, Perancis, sejak 1953. Selama 1970-1980, ia sering bolak-balik dari Perancis ke AS untuk shooting. Namun, ia secara teratur mundur dari panggung hiburan.
Ia hanya beberapa kali tampil di publik setelah pensiun, seperti dalam Academy Awards ke-75 pada 2003. De Havilland kemudian menjadi salah satu artis terakhir dari Zaman Keemasan Hollywood yang masih eksis.
Namun, pada 26 Juli 2020, Hollywood harus kembali kehilangan salah satu legendanya. Olivia de Havilland berpulang di Paris pada usia 104 tahun. ”Ia meninggal di rumahnya dengan tenang,” kata publisis Lisa Goldberg.
De Havilland meninggalkan seorang putra bernama Benjamin bersama suami pertama, penulis Marcus Goodrich. Ia juga memiliki putri, Giselle, bersama suami kedua bernama Pierre Galante, seorang jurnalis.
Konflik saudari
Kehidupan pribadi De Havilland menjadi sorotan ketika ia berkonflik dengan adik perempuannya, Joan Fontaine. Konflik yang berkepanjangan ini sampai dikatakan bisa menjadi skenario film yang menarik.
Dia dan Fontaine adalah dua bersaudara dari orangtua berkewarganegaraan Inggris. De Havilland lahir pada 1 Juli 1916 di Tokyo, Jepang, setahun lebih tua dari Fontaine. Setelah bercerai, ibu mereka membawa mereka yang masih kecil pindah ke California, AS.
Sejak kecil, kedua bersaudara ini tidak memiliki hubungan baik karena faktor kecemburuan satu sama lain. Apalagi, keduanya kemudian sama-sama terjun dalam dunia seni peran.
Academy Awards selanjutnya menjadi ajang bagi De Havilland dan Fontaine bersaing. Pada 1942, mereka berdua masuk dalam nominasi Aktris Terbaik, yakni De Havilland untuk Hold Back the Dawn (1941) dan Fontaine untuk Suspicion (1941). Fontaine membawa pulang piala Oscar dalam kompetisi itu.
Empat tahun kemudian, De Havilland memenangi Oscar untuk To Each Your Own. Fotografer berhasil mengabadikan momen di mana De Havilland tidak menanggapi uluran tangan Fontaine sebagai ucapan selamat. Rupanya, De Havilland tersinggung dengan komentar pedas Fontaine tentang suaminya saat itu, Marcus Goodrich.
Kedua bersaudara itu kemudian berhenti berbicara sama sekali pada 1975 setelah ibu mereka meninggal. Fontaine menuding De Havilland tidak mengundangnya ke acara peringatan ibu mereka, sedangkan De Havilland mengklaim Fontaine telah mengatakan tidak bisa hadir karena sibuk.
Baik De Havilland maupun Fontaine tidak pernah membahas secara terbuka tentang perseteruan mereka. Namun, mereka berdua tercatat sebagai satu-satunya bersaudara dalam Hollywood yang berhasil memenangi Academy Awards sebagai aktris utama.
Melawan studio
Terlepas dari konflik itu, De Havilland telah meninggalkan warisan yang besar. Selain di dunia seni peran, dia juga memengaruhi jalannya industri perfilman dengan mengikis dominasi studio terhadap karier pemain film di Hollywood.
Awalnya, De Havilland memulai karier di dunia film setelah sutradara Max Reinhardt bekerja dengannya dalam A Midsummer Night’s Dream (1935). Karena terkesan, Warner Bros menawarkan De Havilland yang masih remaja kontrak kerja sama. Sesuai kebiasaan waktu itu, kontrak ini berlaku selama tujuh tahun.
Pada 1939, Warner Bros meminjamkannya untuk membintangi Gone with the Wind. De Havilland ternyata mampu memerankan karakternya dengan sempurna. Film Gone with the Wind, yang turut dibintangi Clark Gable dan Vivien Leigh, memenangi delapan Piala Oscar, termasuk kategori Film Terbaik.
Popularitas De Havilland dari Gone with the Wind ternyata tidak menjaminnya untuk mendapatkan peran yang diinginkan. De Havilland kerap menolak proyek tawaran Warner Bros yang dinilai tidak menginspirasi. Ini berujung pada penangguhan pekerjaan atau skors terhadap dirinya dalam beberapa kesempatan.
Pada 1943, dia mengklaim kontraknya dengan Warner Bros telah berakhir. Namun, pihak studio membantah dengan menyatakan De Havilland masih berutang selama enam bulan akibat adanya masa penangguhan.
De Havilland dan Warner Bros pun ribut. Namun, perempuan ini berhasil menang di pengadilan pada 1945. Kemenangannya melemahkan dominasi studio besar terhadap aktor dan aktris Hollywood karena kontrak tetap berlaku hanya tujuh tahun terlepas terjadi skors.
Putusan itu kemudian dikenal dengan nama De Havilland Law atau Hukum De Havilland. Sejumlah aktor telah memetik manfaat dari hukum ini karena memberi pemain film hak untuk memilih proyek sendiri.
Aktor dan penyanyi AS, Jared Leto, mengatakan, hukum itu membantunya melepaskan diri dari kontrak sembilan tahun yang tidak menguntungkan. Leto dan kakaknya tidak mendapat bayaran dari perusahaan rekaman meskipun menjual jutaan rekaman. Mereka juga dinyatakan berutang jutaan dollar AS.
”Olivia membuat dampak yang kuat dalam hidup saya dan saya senang menghabiskan waktu bersamanya di Paris. Saya mengucapkan terima kasih atas keberaniannya dan bagaimana pilihannya memengaruhi saya dan saudara saya serta memberi kami kesempatan untuk memperjuangkan kebebasan kreatif kami,” cuit Leto ketika mengenang De Havilland.
Baca juga : Carl Reiner, Komedian Serba Bisa
Meskipun begitu, kemenangan De Havilland sempat membuatnya masuk daftar hitam selama tiga tahun. Namun, De Havilland berhasil muncul kembali dengan tampil gemilang dalam To Each His Own dan The Heiress. Seperti yang disebutkan, ia membawa pulang Piala Oscar sebagai aktris terbaik dalam dua film itu.
De Havilland merupakan salah satu simbol keemasan dan progresivitas di Hollywood. Berkat perjuangannya, De Havilland Law kini menjadi templat bagi hak pekerja seni di Hollywood. (REUTERS/AFP)