Mari Bicara yang (T)abu
Kisah pelecehan dan kekerasan seksual terhadap perempuan dalam berbagai film dan serial sebenarnya tak jauh di sekitar kita sehari-hari. Dan perempuan itu bisa jadi ibu kita, juga anak kita.
Pembahasan mengenai seks yang acapkali abu-abu telah menyeret kejahatan kekerasan seksual ke dalam ruang gelap. Berakibat ketidakadilan selalu menghantui korban yang urung mendapat perlindungan. Jangankan perlindungan dari negara, kadang keluarga pun menganggapnya sebagai aib yang tak boleh dibuka.
Kehidupan pernikahan nyatanya tak seindah yang dibayangkan. Perjodohan atas nama religi membuat Esther Saphiro (19) terjebak dalam sebuah ikatan dan lingkungan yang melanggengkan aktivitas seksual sebatas pemenuhan badaniah di bawah kendali dan hasrat laki-laki. Pantang bilang tidak, sukar menghindar.
Sekelumit problem ini ikut mengemuka dalam bingkai cerita miniseri milik Netflix berjudul ‘Unorthodox’ yang rilis Maret 2020 lalu. Kisah yang dituangkan hanya lewat empat episode berdurasi 54 menit ini berasal dari memoir Deborah Feldman berjudul Unorthodox: The Scandalous Rejection of My Hasidic Roots.
Deborah memilih melepaskan diri dari komunitas Hasidic di New York, Amerika Serikat, karena merasa kehilangan jati diri dan menyadari ketidakadilan terhadap perempuan lewat mengakarnya budaya patriarki di komunitas tersebut. Penggambarannya dilakukan lewat Esther yang melarikan diri dari New York ke Berlin, Jerman, hanya dengan sepotong pakaian yang menempel, paspor, tiket, uang, dan alamat rumah ibu kandungnya.
Di salah satu episode, Esther disebut mengalami vaginismus yang mengakibatkan dirinya merasa kesakitan saat penetrasi. Suaminya sempat menyalahkan Esther karena tak kunjung dapat berhubungan seksual, bahkan mengadu pada ibunya yang membuat kondisi Esther menjadi perbincangan di komunitasnya.
Esther pun memaksakan diri untuk kembali menjalani hubungan seksual dalam kondisi tersebut yang berakhir hanya memuaskan sang suami. Masalah ternyata belum selesai. Suaminya justru menginginkan perceraian karena Esther menutup diri lagi. Sebab, perkawinan dalam komunitasnya ini dianggap berhasil jika membuahkan anak segera setelah menikah.
Jika ditelusuri lebih jauh, kondisi ini berkorelasi dengan minimnya pendidikan seksual yang diperoleh oleh anak-anak dan muda-mudi kaum Hasidic. Dilansir dari BBC, David Ribner, seorang terapis seksual Orthodox, menjelaskan pembicaraan mengenai pendidikan seks, termasuk penjelasan mengenai aktivitas seksual, merupakan hal tabu.
“Bahkan mereka tidak boleh mengakses internet, buku, atau film yang memiliki konten tersebut. Apalagi membicarakan dengan keluarga yang lebih dewasa untuk mendapatkan pemahaman. Lalu tiba-tiba mereka diharuskan berhadapan dengan pernikahan yang dalam ajarannya mewajibkan setelah menikah harus langsung menjalankan kegiatan seksual untuk memiliki banyak anak,” ungkap Ribner.
Lain kisah Esther, lain pula cerita Marie Adler (18). Tragedi yang sungguh dialami Adler direkonstruksi dalam miniseri berjudul Unbelivable yang juga dirilis Netflix pada September 2019. Kaitlyn Dever yang dinominasikan dalam Golden Globes 2019 cukup apik menghidupkan sosok Adler yang hancur akibat viktimisasi berulang yakni pemerkosaan dan tuduhan pemberian keterangan tidak benar.
Di Dunia Kerja
Adler diperkosa di kamar messnya oleh seseorang bermasker. Akibat inkonsistensi keterangan karena trauma yang dihadapinya dan kesaksian ibu asuh yang memojokkannya, detektif Eric Parker menjadi tak percaya dan memaksanya untuk membuat keterangan bahwa pemerkosaan tak pernah terjadi.
Tiga tahun berselang, kejadian serupa terjadi di Colorado. Dua detektif perempuan yang diperankan Toni Colette dan Merritt Wever gigih mengumpulkan bukti dan mendampingi korban dengan seksama. Pelaku pun dapat diringkus. Dalam barang bukti yang disita dari pelaku, terdapat foto Adler sebagai salah satu korban.
Delapan episode yang disuguhkan serial ini menyodorkan fakta menyakitkan bahwa korban rentan mengalami perundungan, kehidupannya terganggu, tekanan psikologis, hingga tidak dipercaya hanya karena tingkah laku dan cara berpakaian, bahkan oleh penegak hukum. Secara nyata juga ditunjukkan ada persoalan penanganan perkara kekerasan seksual oleh penegak hukum.
Apabila kedua serial sebelumnya berasal dari kisah sungguhan, ini giliran serial fiksi tapi lekat dengan kehidupan nyata bertajuk The Morning Show atau Morning Wars yang rilis pada awal 2020 di Apple TV.
Serial yang dinominasikan dalam Golden Globes 2019 berlatar kerja produksi acara sebuah stasiun televisi ini dibintangi antara lain oleh Jennifer Anniston, Reese Whitherspoon, dan Steve Carrel. Jalinan ceritanya berpusar pada Steve Carrel, pemeran Mitch Kessler, yang dipecat karena dituding melakukan pelecehan seksual terhadap anak buahnya.
Kisah makin kompleks saat ditemukan kenyataan bahwa pemilik perusahaan media yang menaungi The Morning Show juga turut andil dalam menutupi penyelewengan seksual yang dilakukan Kessler dengan menaikkan jabatan si korban. Stigma pun membayangi para korban yakni demi karir yang moncer, mereka bersedia melego harga dirinya. Kessler malah tetap dipandang sebagai seorang atasan yang kharismatik dan bersahabat meski telah dipecat. Sementara korbannya ada yang berakhir bunuh diri.
“Tidak ada perempuan yang tidak akrab dengan predator yang pembawaannya selalu terlihat sangat karismatik,” ujar Karen Pittman, pemeran Mia Jordan, yang menjadi salah satu korban Kessler. Suasana dan kondisi The Morning Show mudah dirasakan oleh sebagian orang yang kerap menemui canda bernada seksisme atau misoginis hingga pelecehan verbal atau fisik di lingkungan kerja atau kesehariannya.
Meski latar belakang tayangan tersebut bukan di Indonesia, nyatanya kisah-kisah senada ditemukan juga di sini bahkan mungkin tak jauh di sekitar kita. Indonesia pernah bersuara lewat salah satu film bertajuk 27 Steps of May. Gerakan #MeToo yang bergema di seantero penjuru, juga bergaung di Indonesia dengan jargon berbeda tapi semangat yang sama.
Sahkan RUU PKS
Komisi Nasional Perempuan pun mencatat setidaknya ada 46.698 kasus kekerasan seksual yang terjadi terhadap perempuan, baik dalam ranah personal atau publik sepanjang 2011 hingga 2019. Sejak 2015, perlindungan terhadap korban kekerasan seksual di Indonesia diinisiasi melalui Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual. Namun pembahasannya urung selesai dengan berbagai macam alasan yang terkesan dicari-cari. Hingga di tengah pandemi ini, publik harus kecewa dengan wakil rakyat yang menarik RUU PKS dari Program Legislasi Nasional.
Alasan mengada-ada dari sulitnya pembahasan hingga tudingan legalisasi zina dan melanggar ajaran agama dilontarkan para wakil rakyat. Mereka mungkin lupa pada tumpukan kasus kekerasan seksual di penegak hukum, atau alpa dengan gerakan anti kekerasan seksual yang aktif bergerak. Mungkin sesekali mereka perlu diajak menonton kisah-kisah seperti Esther, Adler, atau Jordan dalam serial di atas.
Jika dibaca lebih rinci draf rancangan aturan yang ditunda tersebut, sebagian besar isinya tidak lagi ada masalah yang membuat pembahasannya mesti ditunda. Tak ada juga pasal yang menggambarkan legalisasi zina atau seks bebas.
Justru dalam rancangan tersebut, para korban tak boleh lagi dikriminalisasi dengan dilaporkan kembali oleh orang yang disebut sebagai pelaku. Penegak hukum dari penyidik hingga hakim juga harus ditunjuk yang memahami dan memiliki kepekaan.
Masih ingat pada kasus Baiq Nuril? Upaya pelaporan pelecehan oleh atasan terhadap dirinya justru berbuah pelaporan pencemaran nama baik yang membuatnya dibui. Atasannya justru tak diproses hukum.
Begitu pula kasus anak usia 14 tahun yang menjadi korban pemerkosaan, malah diperkosa lagi oleh pejabat yang semestinya melindungi dalam penanganan perkaranya yang belakang ramai dibicarakan. Salah satu contoh lain dari viktimisasi berulang.
Belum lagi rangkaian peristiwa pemerkosaan saat kerusuhan Mei 1998, yang bahkan oleh sebagian pihak dianggap tidak pernah ada. Sebuah upaya memanipulasi sejarah negeri ini yang padahal telah menjadi pengetahuan umum di kalangan publik.
Bentuk kekerasan seksual juga lebih spesifik dalam RUU ini, tidak hanya sebatas pencabulan yang kerap abstrak mengacu pada KUHP. Setidaknya ada sembilan hal seperti pelecehan seksual baik verbal maupun fisik, eksploitasi seksual, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, perkosaan baik di dalam perkawinan maupun tidak, pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual, dan penyiksaan seksual.
Pendidikan tentang kekerasan seksual yang juga mencakup pembahasan seksual yang selalu dianggap tabu juga wajib masuk kurikulum sekolah dan pengajarnya juga harus dibekali dengan pengetahuan yang mumpuni.
Kekerasan seksual harus dilawan bersama. Pendidikan seks sejatinya untuk menghargai diri dan menghormati ranah privasi orang lain.
Sudah saatnya kita membuka mata dan hati nurani. RUU PKS adalah harapan baru bagi perlindungan terhadap perempuan. Perempuan itu bisa jadi ibu kita, bisa juga anak kita sendiri.