Pertarungan di Belakang Layar Oscar
Badan pemungutan suara Academy Award mengundang lebih banyak perempuan dan sosok penting dari beragam negara, ras dan etnis. Apakah langkah ini bisa menghapus citra bahwa Academy Award ”so white” dan ”so masculine”.
Di tengah kian kerasnya gerakan kesetaraan dan antidiskriminasi di AS, penyelenggara Oscar mengundang ratusan anggota baru dari beragam warga kulit, negara, dan jender. Mereka akan duduk di badan pemungutan suara The Academy. Apakah jurus ini akan menghapus citra Oscar yang beberapa tahun terakhir dianggap sangat maskulin dan ”so white”?
Academy of Motion Picture Arts and Sciences (AMPAS) atau The Academy sebagai penyelenggara Oscar mengumumkan undangan kepada 819 anggota baru untuk bergabung dalam badan pemungutan suara, Selasa (30/6/2020). Mereka merupakan seniman dan eksekutif yang dianggap berkontribusi besar dalam dunia perfilman. Apabila 819 orang ini menerima, jumlah keanggotaan organisasi menjadi 9.412 orang.
Menariknya, mereka yang diundang terdiri dari 45 persen perempuan, 36 persen komunitas etnis atau ras minoritas, dan 49 persen perwakilan internasional dari 68 negara. Latar belakang anggota baru ini melebihi target minimal keragaman yang ditentukan.
”Kami bangga langkah kami melampaui tujuan inklusi kami yang ditetapkan pada 2016, tetapi juga mengakui jalan ke depan masih panjang. Kami berkomitmen untuk tetap berjalan dalam jalur ini. Kami harap dapat terus membina The Academy yang mencerminkan dunia di sekitar kita dalam keanggotaan, program kita, museum baru, dan penghargaan kami,” kata CEO The Academy Dawn Hudson.
Presiden The Academy David Rubin menambahkan, pihaknya dengan senang hati menyambut para tamu yang terhormat dalam seni dan gambar bergerak. ”Kami selalu merangkul bakat luar biasa yang mencerminkan keragaman komunitas film global kami, dan tidak pernah lebih dari sekarang ini,” katanya dengan nada klaim.
Beberapa pelaku film yang diundang, antara lain, artis Awkwafina keturunan Asia-Amerika, Yalitza Aparicio (Meksiko), Ana de Armas (Kuba), Adèle Haenel (Perancis), Genevieve Nnaji (Nigeria), Hrithik Roshan (India), sutradara Ali Abbasi (Iran), Ladj Ly (Afrika-Perancis), Akin Omotoso (Nigeria), dan Maria Sole Tognazzi (Italia).
The Academy juga mengajak aktor dan tim produksi Parasite (2019) asal Korea Selatan. Seperti diketahui, Parasite memenangi empat piala Oscar, termasuk kategori Film Terbaik dalam Academy Awards ke-92. Aktor yang diundang adalah Choi Woo-shik, Park So-dam, Lee Jung-eun, Jang Hye-jin, dan Jo Yeo-jeong, sedangkan tim produksi, antara lain, Choi Se-yeon sebagai desainer kostum, Yang Jin-mo sebagai editor film, dan Han Jin-won sebagai penulis.
Sejumlah anggota baru yang diundang itu merupakan orang-orang yang sebelumnya tak dilirik dalam perhelatan Academy Awards lalu. Sebut saja sutradara perempuan Alma Har’el untuk film Honey Boy (2019) dan Lulu Wang untuk film The Farewell (2019).
Beberapa pelaku film yang diundang telah menyatakan kesediaannya melalui akun media sosial Twitter untuk bergabung dalam badan pemungutan suara. ”Sangat senang menjadi anggota baru @TheAcademy dengan begitu semakin banyak pikiran cemerlang (bisa ditampung). Meskipun masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan, kelas ini lebih terlihat seperti juri sebenarnya daripada sebelumnya. Jadi ini adalah langkah ke arah yang benar,” cuit Lulu Wang, sutradara keturunan China-Amerika.
Sutradara keturunan Afrika-Amerika, seperti Matthew A Cherry Hair Love (2019) dan komedian Niecy Nash, ikut mengonfirmasi akan bergabung sebagai anggota. ”Bangga menjadi anggota baru @TheAcademy di sebuah kelas dengan begitu banyak artis berbakat yang karyanya saya sukai,” cuit Cherry.
Para anggota baru itu memiliki posisi strategis karena mereka akan memilih film-film terbaik untuk perhelatan Academy Awards ke-93 yang akan digelar pada 25 April 2021 atau dua bulan lebih lambat dari biasanya akibat pandemi Covid-19.
Tak ada pilihan
The Academy tampaknya tidak mungkin bisa mengelak lagi dari tuntutan untuk menginklusifkan tubuhnya sendiri. Pasalnya, kesadaran global tentang pentingnya penghargaan atas keberagaman makin gencar. Contoh nyatanya adalah Gerakan Black Lives Matter yang mengeras lagi di AS setelah tewasnya George Flyod akhir Mei lalu. Dalam waktu singkat, gerakan anti-rasialisme itu bergema dan menjalar ke kota-kota besar di negara lain.
Jika The Academy tidak segera membuka diri, bukan tidak mungkin lembaga itu dan industri film AS akan terus tergerus pesonanya secara global. Apalagi, selama beberapa tahun belakangan, gugatan terhadap praktik diskrimanasi rasial, agama, maupun jender selalu muncul menjadi noda di tengah kemilau panggung Oscar.
The New York Times menulis, pada 2015-2016, The Academy memberikan seluruh nominasi untuk akting terbaik kepada aktor berkulit putih. Peristiwa serupa juga terjadi pada 1998 dan 2011.
Mengapa ini terjadi? Pasalnya, anggota badan pemungutan suara The Academy didominasi laki-laki dan berkulit putih. Kritik atas dominasi laki-laki dan kulit putih itu mewujud dalam kampanye dengan tagar #OscarsSoWhite pada 2015. Tagar ini masih muncul di sela perhelatan Oscar 2016.
Pada perhelatan Oscar 2018, isu keberagaman sedikit mereda, tetapi isu diskriminasi jender mencuat. Saat itu, Oscar berlangsung di tengah bayang-bayang gerakan antidiskrimasi jender bertagar #MeToo yang menguat saat perhelatan Golden Globe beberapa bulan sebelumnya. Gerakan itu mempersoalkan kultur patriarki yang kuat di industri film Hollywood.
Kultur patriarki itulah yang melatari terjadinya aneka pelecehan—termasuk pelecehan seksual—oleh sejumlah petinggi Hollywood kepada para perempuan yang bekerja untuk industri film itu. Wujud lainnya adalah pendapatan dan kesempatan yang diberikan Hollywood kepada perempuan jauh lebih kecil daripada yang diberikan kepada laki-laki.
Tahun 2019, citra Oscar mulai membaik. Setidaknya ada lima pemenang Oscar yang memiliki warna kulit, ras, jender, dan agama yang berbeda, seperti aktor terbaik yang diraih oleh Rami Malek (37), seorang Arab-Amerika, dan aktor pendukung terbaik yang diberikan kepada Mahershala Ali, seorang Muslim.
Sejak kampanye #OscarsSoWhite muncul, The Academy berjanji untuk melipatgandakan jumlah anggota perempuan serta orang kulit hitam, Asia, dan etnis minoritas (BAME people). Komitmen itu tertera dalam skema bernama A2020. Mengutip data The Academy, jumlah anggota perempuan aktif mencapai 3.179 orang (33 persen) pada 2020 atau naik dari 1.446 orang (25 persen) pada 2015. Jumlah anggota aktif dari komunitas etnis atau ras naik menjadi 1.787 orang (19 persen) pada 2020 dari 554 orang (10 persen) pada 2015. Sementara itu, sejak 2015, jumlah anggota internasional tumbuh dari 724 orang menjadi 2.107 orang hingga tahun ini.
Meski The Academy mengklaim telah mengambil sejumlah langkah penting untuk membuat panggung Oscar lebih inklusif, kontroversi tetap muncul pada penyelenggaraan Oscar pada 2020. Betapa tidak, semua nomine sutradara terbaik adalah laki-laki berkulit putih, kecuali Bong Joon-ho dari Korsel. Beberapa sutradara perempuan yang digadang-gadang masuk nominasi, seperti Marielle Heller (A Beautiful Day in the Neighborhood, 2019), Greta Gerwig (Little Women, 2019), dan Lulu Wang (The Farewell, 2019), sama sekali tak dilirik.
Meski demikian, Oscar 2020 juga memberikan harapan karena penerimanya cukup bervariasi. Kategori paling bergengsi ialah Film Terbaik diberikan kepada film Korea Selatan, Parasite. Kategori paling bergengsi lainnya, yakni Sutradara Terbaik, jatuh kepada Bong Joon-ho dari Korsel lewat film Parasite yang notabene laki-laki berkulit kuning.
”Pada intinya, ini adalah masalah siapa yang memilih dan menilai kualitas dalam film. Jika badan pemungutan suara dan pencalonan tidak menghargai cerita dan storyteller yang mewakili audiens, kita akan terus melihat pola-pola ini berulang tahun demi tahun,” ujar Dr Stacy L Smith, pendiri Annenberg Inclusion Initiative dari USC Annenberg School.
Inklusivitas industri
Peneliti dan advokat pendukung keberagaman di Hollywood mulai melihat perubahan inklusivitas dalam industri film menuju arah yang lebih baik. Studio dan perusahaan besar yang bergabung dalam Motion Picture Association (MPA), seperti Disney, Paramount, Warner Bros, Netflix, dan Universal, telah mensyaratkan keberagaman sebagai elemen utama dalam bisnis.
Studio besar kini telah menghabiskan jutaan dollar AS untuk mempromosikan film dengan aktor, artis, dan sutradara perempuan atau yang bukan berkulit putih, seperti Dwayne ”The Rock” Johnson, Vin Diesel, Gal Gadot, dan Chadwick Boseman. Sementara Disney merilis film mengenai budaya Meksiko lewat Coco (2017) dan Warner Bros memproduksi film dengan pemain keturunan Asia melalui Crazy Rich Asians (2018).
”Inklusi adalah bisnis yang cerdas. Sebagai sebuah studio yang menciptakan konten untuk menarik konsumen, apa ada cara yang lebih baik dengan membantu orang-orang melihat representasi diri mereka di layar? Kita semua tahu itu adalah hal yang benar untuk dilakukan,” tutur Janine Jones-Clark, Senior Vice President Global Talent Development & Inclusion di Universal Filmed Entertainment Group.
Sementara itu, The Academy mengumumkan akan meluncurkan skema baru bernama Aperture 2025. Skema ini bertujuan untuk meningkatkan keberagaman dalam organisasi, industri, dan komunitas film selama lima tahun ke depan.
Tuntutan publik agar Hollywood lebih inklusif adalah tuntutan yang serius. Bagaimanapun, industri film dan industri budaya lainnya merupakan medan di mana kepentingan politik dan ideologi dipertarungkan dan dinegosiasikan. Jika kelompok anti-diskrimasi dan anti-rasialisme dengan beragam spektrumnya tidak cerewet mempersoalkan ekslusivitas Hollywood, industri itu tidak akan pernah membuka diri. Hollywood akan tetap jadi industri yang ”so white” dan ”so masculine”. (BBC/CNN/THE HOLLYWOOD REPORTER)