Pandemi tidak menghentikan semangat orang-orang untuk berkreasi. Keterbatasan malah melahirkan gerakan dan inovasi baru.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
KOMPAS/SEKAR GANDHAWANGI
Acara gelar wicara PechaKucha Night Jakarta Volume 41 "Creativity Without Boundaries" diselenggarakan melalui siaran langsung di Youtube, Jumat (19/6/2020) malam.
Ada lima anggota keluarga di rumah pasangan pekerja seni Wahyu Ichwandardi dan Dita W Yolashasanti, di New York City, Amerika Serikat. Selain mereka berdua, ada tiga anak yang kini belajar dari rumah akibat pandemi Covid-19. Mereka berlima mencari akal agar keseharian di rumah tidak membosankan, yaitu dengan berkreasi bersama.
“Kami membuat proyek yang bisa dikerjakan bareng. Anak-anak jadi belajar menyalurkan rasa bosan dan energi negatif. Ini membantu anak-anak melewati masa sulit,” kata Wahyu yang akrab dipanggil Pinot sesuai nama akun media sosialnya, Jumat (19/6/2020) malam.
Ia dan Dita (yang akrab dipanggil Ditut) merupakan pembicara di acara gelar wicara PechaKucha Night Jakarta. Acara ini disiarkan langsung di Youtube. Para narasumber berasal dari beragam latar belakang dan berbagi cerita tentang menghidupkan kreativitas saat pandemi.
Wahyu melanjutkan, ia diminta grup musik AS Twenty One Pilots untuk menggarap video lirik lagu Level of Concern. Garapan itu menjadi proyek keluarga yang dikerjakan selama 10 hari. Video itu digarap dengan gawai lawas; komputer Macintosh SE dan Macintosh SE/30. Kedua komputer itu beredar pada akhir 1980-an.
“Twenty One Pilots adalah idola anak-anak kami. Ini seperti pencapaian buat anak-anak bahwa segala sesuatu yang dikerjakan dengan sepenuh hati akan membuahkan hasil,” kata Wahyu.
KOMPAS/DIDIT PUTRA ERLANGGA RAHARDJO
Wahyu Ichwandardi
Selain membuat video, mereka juga membuat masker kain. Masker tersebut disumbangkan ke pihak yang membutuhkan. Dita juga membuat video tutorial membuat alat pelindung diri (APD). Video itu diperuntukkan bagi pemula hingga orang yang ahli menjahit.
Kami membuat proyek yang bisa dikerjakan bareng. Anak-anak jadi belajar menyalurkan rasa bosan dan energi negatif. Ini membantu anak-anak melewati masa sulit
“Kami juga membuat desain masker untuk Indonesia dan terlibat di penggalangan dana. Anak-anak dilibatkan di pembuatan masker agar belajar peduli pada lingkungan sekitar,” ucap Dita.
Acara virtual
Pada kesempatan yang sama, Co-founder Bartega, Jazz Pratama, mengatakan, ia memindahkan semua kegiatan ke ruang digital. Bartega yang biasanya menjadi wadah melukis bagi banyak orang kini terpaksa menahan diri.
Masa pandemi dimanfaatkan untuk berefleksi bagi para pendiri Bartega. Mereka sepakat bahwa kegiata melukis bersama harus tetap berjalan. Sebab, melukis mendorong sejumlah orang untuk tetap produktif dan kreatif selama pandemi.
Bartega kini memberi tutorial melukis gratis yang disiarkan langsung di Instagram selama empat kali seminggu. Selain itu, Bartega juga membuka diri untuk mengirim perlengkapan melukis ke rumah para peminat lukis.
“Kami juga bekerja sama dengan beberapa seniman di acara (daring), misalnya Eko Nugroho. Walau di rumah saja, teknologi bisa menyambungkan kita semua. Kreativitas sudah tersedia untuk dimanfaatkan,” kata Jazz.
KOMPAS/COKORDA YUDISTIRA
Seniman mementaskan tari topeng serangkaian upacara dan persembahyangan bersama di kompleks Pura Besakih, Karangasem, Minggu (23/2/2020). Pandemi penyakit Covid-19 juga berdampak terhadap penyelenggaraan kegiatan keagamaan di Bali dan festival kesenian yang ujungnya mempengaruhi aktivitas seniman di Bali.
Pengalaman serupa dialami Naratama Raja Lubis, Project Officer The 43rd Jazz Goes to Campus (JGTC). JGTC merupakan festival Jazz tahunan yang diselenggakan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia.
Pandemi membuat acara mereka terkendala. Sebagai respons atas pandemi, mereka membuat acara bertajuk Jazz Goest to Connect, yaitu konser jazz amal yang disiarkan langsung lewat Youtube. Acara berlangsugn pada 16-30 Mei 2020 dan berhasil mengumpulkan donasi lebih dari Rp 104 juta.
“Puncak acara dari festival musik masih akan diwujudkan. Kami tidak akan menyerah. Ini (pandemi) bukan batasan,” kata Raja.
Sementara itu, pendiri Patjarmerah Windy Ariestanty juga menyulap kegiatan Patjarmerah ke ruang maya. Patjarmerah adalah festival literasi dan pasar buku keliling. Festival yang biasanya dilakukan dengan berkeliling Nusantara kini harus dihentikan. Festival konvensional pindah ke festival daring.
Festival yang biasnya gratis untuk umum kini berbayar. Tujuannya agar Patjarmerah bisa mendukung para penerbit buku yang terdampak pandemi.
“Sistem berbayar ini malah melahirkan gerakan baru. Beberapa orang menggalang beasiswa agar peminat festival yang tidak mampu membayar bisa ikut kelas daring yang kami adakan,” kata Windy.
Patjarmerah juga membuat acara daring lain, yaitu lelang puisi yang melibatkan sejumlah penyair. Dana yang terkumpul akan digunakan untuk membantu taman bacaan dan mengirim paket belajar untuk daerah yang belum tersentuh fasilitas listrik dan internet.