Benny Likumahuwa, Mengemban Jazz hingga Akhir Hayat
Pemusik Benny Likumahuwa yang berpulang pada Selasa (9/6/2020) tak hanya meninggalkan deretan album. Benny memupuk banyak musisi baru sehingga menjadikan kancah jazz amat meriah hari ini.
”Itulah kelebihan musik jazz. Makin tua, makin jadi,” kata Benny Likumahuwa, dari tulisan yang dimuat Kompas pada 18 Juli 2003. Maka dari itu, lanjutnya, Benny—yang saat itu berusia 57 tahun—hendak menghabiskan masa tuanya dengan bermain jazz.
Demikian keinginan Benny, yang jatuh suka dengan jazz sejak masih kecil. Perjalanan hidup pemusik kelahiran Kediri, 18 Juni 1946, itu tak pernah lepas dari jazz meski pernah sohor dengan kiprahnya di band rock The Rollies. Jazz senantiasa jadi rumahnya, hingga harmonikanya tak lagi berbunyi pada Selasa (9/6/2020) sekitar pukul 08.30.
Benny menyudahi pergulatannya dengan komplikasi penyakit diabetes dan gagal ginjal di usia 73 tahun, meninggalkan seorang istri, Ria Likumahuwa, tiga anak (Jelian Yulia Likumahuwa, Jelibert Viona Paays, dan Barry Likumahuwa), 14 cucu, dan sederet decak kagum di arena musik Indonesia.
Musik selalu ada sejak Benny kecil. Ibunya adalah pemusik gereja yang sesekali bernyanyi dan bermain gitar. Namun, bukan instrumen berdawai itu yang memikat Benny kecil. Dia tertarik pada perkusi setelah menyaksikan permainan drum Gene Krupa dalam film Benny Goodman Story (1956). Asupan lagu-lagu jazz dilahap lewat radio. Dia sudah terampil main bongo pada usia 11 tahun.
”Papa belajar main instrumen secara otodidak. Semua alat,” kata Barry, yang pada Jumat (12/6/2020) sore itu baru selesai menyervis mobilnya. Saking inginnya bisa main alat musik, Benny berimajinasi. Ketika belajar bas, misalnya, Benny menggambar leher bas di kertas dengan nada di setiap senar, sambil menyanyi.
”Setelah itu, dia pernah rakit drum sendiri dari panci dan lainnya. Waktu itu sekitar tahun 1956-1957 susah cari alat Ambon, kalau ada pun mahal banget,” lanjut Barry.
Benny mulai tampil di Ambon sebagai pemain bongo. Mungkin dia main bersama band, tapi Barry tak pernah diceritakan nama bandnya. Benny merasa, kala itu, sulit sekali menggali ilmu bermusik dari para seniornya di sana.
”Kata papa, mereka pelit bagi ilmu, apalagi ke anak kecil. Pengalaman ini yang nantinya membekas pada papa, terbuka pada musisi beragam generasi,” kata Barry.
Dia pernah rakit drum sendiri dari panci dan lainnya. (Barry Likumahuwa)
Pada tahun 1966, Benny memutuskan merantau ke Pulau Jawa, menyusul abangnya yang lebih dulu pindah di Jakarta. Perantauan Benny justru berakhir di Bandung, kota sejuk dengan iklim musik meriah.
Di Bandung, ada band jazz yang sudah cukup tenar karena punya jadwal rutin main di hotel dan restoran bernama Crescendo, pimpinan pianis Yong. Benny melamar sebagai pemain bas, namun tak serta-merta diterima. ”Dia sempat dipanggi audisi, tapi cuma disuruh lihat. Sampai beberapa kali dipanggil, tapi ya sabar saja,” lanjut Barry.
Kesabaran itu berbuah manis. Suatu ketika, band ini berencana memainkan lagu gubahan Charlie Parker. Vokal penyanyi band ini rupanya tak sanggup mendaki nada sehingga perlu menurunkan nada dasar. Pemain band kelimpungan menyesuaikan nadanya. Benny turun tangan menuliskan akord dalam nada dasar baru sehingga lebih mudah dimainkan.
”Om Yong salut dengan kebisaan papa. Langsung saja dia diterima jadi anggota band, bahkan tongkat kepemimpinan band langsung diserahkan ke papa,” kisah Barry. Benny sudah bisa memainkan flute, saksofon, dan belakangan trombon.
Memperkaya The Rollies
Berbarengan dengan aktivitas Benny di Crescendo, grup rock The Rollies juga memulai petualangan mereka di Bandung. Band yang semula diawaki Deddy Stanza, Delly Djoko Alipin, Iwan Krisnawan, dan TZ Iskandar itu memainkan musik rock, soul, maupun R&B yang tengah populer, yang mengacu pada ramuan The Beatles, Rolling Stone, atau Bee Gees.
Suatu ketika pada 1968, pentas reguler Crescendo ditonton oleh dua punggawa The Rollies, yaitu Iskandar dan Delly. Permainan Crescendo memukau seperti biasa. Selepas tampil, Iskandar dan Delly menghampiri Benny, mengajak gabung The Rollies.
Benny mengajukan syarat, dia mau gabung selama The Rollies mau mengikuti arahannya. (David Tarigan)
Alasannya, kata David Tarigan, pengarsip musik Indonesia di Irama Nusantara, ketika itu The Rollies mau menambah horizon bermusik mereka. ”Benny orangnya idealis, pendiriannya kuat banget. Makanya, Benny mengajukan syarat, dia mau gabung selama The Rollies mau mengikuti arahannya,” kata David yang menggemari The Rollies ini.
Kesepakatan tercapai. Maka dimulailah perjalanan Benny bersama band yang dikenal dengan aksi panggung meriah itu. Karakter musik The Rollies berubah. Nuansa soul dan jazz makin menguat. Acuan mereka tak lagi sebatas pada band-band Inggris, tapi band Amerika yang memainkan rock eklektik, seperti Chicago maupun Blood, Sweat, and Tears. Ciri yang menonjol adalah penggunaan alat musik tiup, seperti saksofon, seruling (flute), terompet, dan trombon.
Benny mengajari seluruh awak The Rollies memainkan instrumen tiup. Iwan dan Deddy Stanza yang flamboyan itu memainkan trombon, Bangun Sugito pegang trompet, Iskandar meniup saksofon, dan Benny memainkan saksofon juga trombon. Kebolehan itu sering mereka pamerkan serempak di panggung ketika memainkan lagu seperti ”Variations on Theme” dan ”Smiling Phase” yang ada di album Blood, Sweat, and Tears.
Bangunan musik baru dan formasi personel yang makin kokoh merupakan modal bagi mereka mengadu nasib di Singapura. Di negara jiran itu, The Rollies dapat kontrak tampil reguler di beberapa klub malam dan bar. Musikalitas mereka membuat label Popsound—yang ada di bawah naungan label rekaman internasional Philips—menjalin kontrak rekaman.
Dua album mereka cetak di negara orang, yang dipercaya sebagai band Indonesia gelombang pertama yang rekaman di luar negeri. Dua album itu berisi interpretasi ulang alias cover version. Album pertama berisi lagu keroncong instrumental, sedangkan album berikutnya menampilkan hit mancanegara, seperti ”I Feel Good” dan ”It’s a Man’s Man’s Man’s World” milik James Brown.
Namun, mereka tak menyuguhkan lagu kopian semirip mungkin dengan versi aslinya. Benny piawai meracik ulang lagu-lagu beken itu sehingga seolah-olah terdengar seperti lagu sendiri. Lagu ”Gone are the Songs of Yesterday” yang populer di tangan band Love Affair, misalnya, disebut lebih berkarakter dibandingkan versi semula. Lagu itu jadi nomor wajib yang dibawakan The Rollies di mana pun mereka tampil.
Dari Singapura, awak The Rollies sempat pisah jalan. Deddy dan Gito pulang ke Bandung setelah mengalami kecelakaan hebat, sedangkan lainnya memilih menetap. Namun, petualangan di Singapura tak berlanjut lama lantaran kontrak tampil diputus sepihak.
Eksplorasi musik
Berdasarkan catatan Denny Sakrie dalam artikel berjudul ”Hari-hari The Rollies”, mereka lantas mendapat kontrak tampil di Medan pada pertengahan 1970 selama setengah tahun. Dari sana, mereka dapat undangan jadi band reguler di Bangkok, Thailand. Beberapa anggota tak betah, hingga menyisakan Benny dan Delly.
Di Bangkok, Benny diajak bergabung dengan band No Sweat yang bercorak funk sebagai peniup saksofon. Dia juga membentuk band bernama The Augersindo, akronim dari negara-negara asal personelnya, yaitu Australia, Jerman, Singapura, dan Indonesia. Band ini sempat menyeberang juga main di Laos dan Vietnam.
”Di Vietnam, papa main untuk menghibur tentara Amerika memainkan repertoar dari band semacam Tower of Power, Blood Sweat and Tears, dan Chicago. Oleh penontonnya, Papa dijuluki ’The Jethro Tull of Indonesia’ karena teknik bermainnya sama dengan Jethro Tull,” kata Barry. Jethro Tull adalah band asal Inggris yang memainkan art rock dengan tiupan seruling.
Menjelang akhir 1971, Benny dan Delly pulang ke Indonesia. The Rollies berkumpul lagi untuk membuat album. Mereka dapat kontrak rekaman dengan Remaco. ”The Rollies langsung dikontrak sebanyak lima album, bahkan diberi keleluasaan melakukan apa saja,” kata Benny kepada Denny Sakrie.
Pada tahun itu, lahirlah album Let’s Start Again, yang gambar sampulnya ada nuansa merah-putih itu. Mereka mempersembahkan 11 lagu orisinal ciptaan personelnya. Benny menyumbangkan lagu ciptaannya di album berikutnya, The Rollies (1972), yaitu ”Sun Shine Brotherhood”, ”Pahlawan Revolusi”, ”Alamku”, dan ”Bad News” yang dikeroyok bareng Deddy dan Gito.
”Lagu ’Pahlawan Revolusi’ sebenarnya dibuat Benny pada 1965, waktu masih tinggal di Ambon. Inspirasinya dari pengungkapan peristiwa 30 September. Dasar lagunya sebenarnya keroncong, tapi di tangan Benny jadi ada nuansa soul dan jazz, karena dia memang basic-nya jazz,” kata David Tarigan.
Eksplorasi musikal The Rollies bertambah lebar di album berikutnya, Sign of Love—di sampul ditulis ”Sing of Love”. Delly bereksperimen memakai synthesizer. David menduga, mereka adalah band rock pertama di Indonesia yang pakai alat itu. Benny sebagai penata musik mampu meracik dengan pas permainan jemari Delly pada synthesizer.
Perluasan jangkauan musik mereka makin asyik dinikmati di panggung. Dalam aksinya di acara Summer ’28 pada tahun 1973, misalnya, The Rollies mengusung seperangkat gamelan untuk memainkan lagu ”Manuk Dadali”. Lagi-lagi, Benny adalah peramunya.
Dasar lagunya sebenarnya keroncong, tapi di tangan Benny jadi ada nuansa soul dan jazz, karena dia memang basic-nya jazz. (David Tarigan)
Penggabungan alat musik tradisional dan modern itu adalah terobosan di panggung musik Indonesia kala itu. Kelak, gaya ini dilanjutkan oleh Guruh Soekarnoputra dalam proyek Guruh Gypsy, juga Harry Roesli. ”Ada buku yang menulis bahwa pemusik Jerman pernah menggabungkan gamelan dengan instrumen modern. Papa belajar dari buku itu,” kata Barry.
Selepas itu, Benny masih mengeluarkan tiga album lagi bersama The Rollies. Dia mengundurkan diri setelah band itu membuat album bersama label Musica. Perbedaan visi musikal jadi alasannya.
Kembali ke jazz
Benny melangkah ”pulang” ke jazz. Setelah mundur dari The Rollies, dia dekat dengan mendiang Jack Lesmana, yang pernah merekam album The Rollies Live in TIM pada 1976; album rekaman langsung pertama di Indonesia. Menurut Barry, Jack adalah salah satu idola Benny, selain Bubi Chen dan Benny Mustafa.
Ketiga orang itu, ditambah Maryono dan Jopie Chen, pernah tergabung dalam Indonesian All Stars yang menggarap album Djanger Bali (1967) bersama Tony Scott. Album itu merupakan tonggak penting sejarah jazz Indonesia. ”Papa bilang, dulu ingin bertemu mereka, mau salaman mengucapkan terima kasih karena punya pengetahuan jazz berkat Indonesian All Star,” ujar Barry.
Tak cuma salaman yang didapat Benny. Dia justru bisa tinggal di rumah Jack dan sering bergaul dengan musisi-musisi kawakan itu. Bahkan, Benny juga diminta membantu aransemen mereka, misalnya memecah harmoni nada.
Jack mendorong Benny untuk kembali meniup trombon. Sebab, setiap memainkan trombon, atau alat musik tiup lainnya, Benny terlihat lebih hidup, dibandingkan memainkan bas. Selain itu, waktu itu sudah bermunculan musisi yang memainkan saksofon, terompet, dan flute. Jack lantas memberikan trombonnya untuk menggantikan trombon Benny yang rusak ketendang Gito di panggung The Rollies.
Di kancah jazz, Benny lantas banyak terlibat bersama grup Andromeda, juga Galactic Band bareng Idang Rasjidi, Ireng Maulana All Stars, dan Jazz Riders yang diisi pemusik keluarga Pattiselanno; Oele, Perry, dan Jacky. Sekitar 1996, Benny membentuk kelompoknya, Benny Likumahuwa Jazz Connection, yang anggota awalnya adalah anggota Jazz Riders juga, atau sesekali diperkuat Jeffrey Tahalele, maupun Cendy Luntungan.
Papa bilang, dulu ingin bertemu mereka, mau salaman mengucapkan terima kasih karena punya pengetahuan jazz berkat Indonesian All Star.
Menantang yang muda
Belakangan, grup Benny Likumahuwa Jazz Connection diperkuat oleh musisi muda berusia sepantaran Barry, yang kelahiran tahun 1983 itu. Pada satu-satunya album grup ini, Rekam Jejak Vol 1 keluaran 2012, Benny mengajak Barry sebagai pemain bas, Indra Azis di posisi vokal dan saksofon, Dimas Pradipta (drum), Doni Joesran (piano dan keyboard), serta Jordy Waelauruw (terompet). Pianis Joey Alexander ikut memainkan satu lagu ”Glory, Glory” di album itu.
Barry mengingat, ayahnya mulai sering tampil bersama musisi yang lebih muda sejak pertengahan dekade 1990-an, ketika dipercaya merancang program harian untuk klub jazz di Jakarta, Jamz. Klub itu jadi ajang kumpul penyuka, juga pemusik jazz lintas generasi. Pemusik Topan Gunarso, penyanyi Syaharani, dan Bertha adalah beberapa nama yang kerap tampil sepanggung bareng Benny.
Menurut Barry, pemusik muda merasa tertantang kalau bisa sepanggung dengan Benny. Sebabnya, ide-ide aransemen Benny sering nyeleneh. Banyak perubahan spontan terjadi di panggung. Dan itu menyenangkan. Sebaliknya, Benny mendapat energi berlebih kalau main dengan pemusik muda.
Roullandi Siregar dari Arsip Jazz Indonesia mengatakan, Benny hidup dalam karakter jazz yang penuh improvisasi. Itu membuat dia luwes bergaul dengan musisi muda. ”Dia mau mendengar musisi yang lebih muda, memberi saran, atau sekadar bercerita,” kata Roullandi.
Penyanyi dan pemusik Nesia Ardi merasakan keluwesan Benny itu. Nesia pernah diajak band Jazz Connection tampil di Malaysia. Ketika itu Nesia dan Benny saling bertukar teknik scat—menirukan nada instrumen musik dengan vokal—lebih dari tiga menit. ”Itu enggak pakai rencana. Terjadi begitu saja di panggung,” kata vokalis trio Nona Ria ini.
Beliau mengajarkan bahwa main jazz itu urusan bersenang-senang, jangan terlalu dipikirkan, nikmati saja musiknya. (Nesia Ardi)
”Beliau mengajarkan bahwa main jazz itu urusan bersenang-senang, jangan terlalu dipikirkan, nikmati saja musiknya,” lanjut Nesia, yang pernah rutin main bersama Benny sekitar dua tahun ini. Setiap habis manggung, Nesia merasa bahagia lantaran diberi keleluasaan berimprovisasi. ”Kalau ada yang salah, dia kasih tahu setelah turun panggung atau cuma dibercandain aja.”
Hal lain yang dia kagumi dari sosok Benny adalah dorongannya bagi pemusik muda walaupun belum dikenal. ”Kalau dia lihat ada penonton yang antusias, dia undang naik untuk ikut main, jamming. Banyak nama yang ikut jamming ini sekarang jadi sering main jazz,” lanjut Nesia, yang menyebut di antaranya adalah Ricad Hutapea, Hesky, dan Yosua Hutagalung.
Ajang jamming itu ibarat pencarian bakat yang dilakukan Benny. Bukan kebetulan, memasuki dekade 2000-an, Benny dipercaya pengelola sejumlah mal mengasuh panggung jazz. Beberapa mal di antaranya adalah Mal Taman Anggrek, La Piazza, Summarecon Mall, Kemang Village, Pondok Indah Mal, dan yang paling awet di Margo City Mall Depok.
”Sampai tahun ini, Papa masih sempat menengok ke Margo Friday Jazz, menonton dari kursi roda. Dia juga datang ke Java Jazz Festival 2020 tiga hari berturut-turut (28 Februari sampai 1 Maret). Aku kebetulan main bareng Jeff Lorber dan juga Mike Stern. Dua-duanya idola Papa,” kata Barry.
Kesehatan yang menurun memaksa Benny harus bergerak pakai kursi roda. Teman-temannya, senior maupun yunior, berdatangan menengok ke rumah di daerah Ciputat, Tangerang Selatan, itu. Dengan suara yang lirih, Benny meladeni mengobrol apa saja, dengan menu utamanya adalah musik. Barry mengungkapkan, sesekali ayahnya masih main flute dan saksofon mini. Harmonika lalu menjadi lebih akrab seiring berkurangnya kegesitan tangan akibat stroke ringan.
Alat-alat musik itulah yang pernah mewarnai tujuh album bersama The Rollies, lima album jazz yang menampilkan namanya di sampul, puluhan lainnya di album pemusik lain. Gagasan aransemennya tak terhitung kayanya. Legasi Benny Likumahuwa teramat berharga bagi kancah musik Indonesia. (HEI)