Jurus Biduan Dangdut Menyiasati Pandemi
Sejak pandemi Covid-19 melanda, sejumlah biduan dangdut menjauh dari mikrofon dan mendekat ke kompor.
Hiruk-pikuk pentas dangdut dan tarling dangdut terdengar nyaring hingga tiga bulan lalu sebelum wabah Covid-19 menggelinding. Setelah itu, tiupan suling, tabuhan gendang, dan kerlingan para biduan dangdut menghilang. Senimannya turun panggung; sebagian kini mengulek sambal, menggiling daging, dan merebus jeroan agar dapur mereka tetap ngebul.
Puasa akan berakhir sekitar satu jam lagi, Selasa (19/5/2020) sore. Biduan dangdut Ratih Puspita (31) rampung menyiapkan 18 bungkus mi bakso siap saji. Di sore yang cerah itu, dari rumahnya di daerah Banguntapan, Kabupaten Bantul, Yogyakarta, sang biduan tinggal menunggu pengojek untuk mengantar mi bakso dalam kotak plastik kepada para pemesan.
Sejak pertengahan April, si ratu panggung dangdut itu jadi lebih akrab dengan peralatan masak ketimbang mikrofon. Perhelatan musik dangdut yang jadi sumber penghasilannya sejak 15 tahun lalu senyap seketika setelah Covid-19 mewabah.
Ratih berasal dari Banjarnegara, Jawa Tengah, dan pindah ke Yogyakarta pada 2011. Di tempat baru inilah kariernya sebagai penyanyi dangdut makin moncer. Dalam sebulan, dia bisa 20 kali naik panggung, bahkan pernah sampai 35 kali. Tarif pentas selama dua jam Rp 750.000, masih ditambah bonus uang saweran.
Pelarangan acara yang mengundang kerumunan orang tak ayal membuat Ratih kelimpungan. Dia sempat merasa seperti jadi ”mayat hidup”, terbangun dari tidur tanpa ada kegiatan yang berarti. Pola hidup sebagai biduan yang lebih banyak melek di malam hari dan tidur dari pagi sampai siang memengaruhi kondisi mentalnya.
Ratih tak lama-lama terlarut. Dia beranggapan bahwa kondisi sulit ini justru membuka kesempatan merintis usaha. Ratih senang memasak dan lidahnya berstandar tinggi. Maka, memulai bisnis kuliner ia pilih sebagai solusi menyambung hidup. Dia memulai dengan berjualan pepes ikan nila.
”Aku nyemplung (kolam) sendiri cari ikannya, dapat sampai 15 kilogram. Aku bikin sambalnya, kukus ikan, baru dibakar. Prosesnya lama. Aku kerjakan sendiri,” kata pelantun lagu ”Gethuk” ini. Menu itu lumayan laris sampai modalnya kembali. Namun, bagi dia, proses masaknya terlalu lama. Ratih menemukan menu baru yang dia anggap lebih ringkas, yaitu bakso dan rujak ulek.
Dua menu inilah yang jadi dagangan utama Dapur Ngapak, merek yang dia pakai saat ini. Ngapak mewakili asal-usulnya sebagai penutur bahasa Jawa dialek Banyumasan. Awalnya, Ratih mengerjakannya sendirian. Lama-lama, dia butuh bantuan ibu dan adiknya menyiapkan peralatan memasak.
Satu porsi menu bakso berisi mi, bakso daging sapi, kuah kaldu, sambal, saus, kecap, bawang goreng, dan seledri yang dikemas dalam kotak plastik dibanderol Rp 25.000. Pemesan tinggal memanaskan, meracik, lalu siap disantap. Sementara rujak berisi aneka buah lengkap dengan bumbunya dalam kemasan cangkir plastik diberi harga Rp 15.000.
Penghasilannya dari menyanyi memang lebih besar daripada berjualan makanan. Namun, merintis usaha kuliner, bagi dia, bukan semata-mata mengejar profit. Ratih sadar, popularitas di dunia panggung, apalagi panggung dangdut yang identik dengan paras molek, tak berumur panjang. Menjalankan bisnis adalah ”sekoci” yang dia siapkan ketika ”turun panggung” kelak.
”Sebelum pandemi ini sudah berencana membuka usaha (kuliner), sekarang menjalani sedikit-sedikit. Jadi, harapannya, ketika kondisi (industri hiburan) sudah normal lagi, usaha ini sudah jalan,” kata penyanyi yang juga merancang pakaian untuk sesama pedangdut ini.
Ratih berencana menambah menu Dapur Ngapak. Dia berniat menyediakan makanan beku (frozen food), yang katanya demi memenuhi permintaan konsumennya dari luar Yogyakarta. Peralatannya sudah ia beli.
Sementara itu, urusan menyanyi tak ia tinggalkan. Setelah pandemi usai, Ratih siap-siap merampungkan singel baru dan menggarap proyek vlog bersama label rekaman asal Jakarta.
Rangkul teman
Pedangdut Deddy Romero juga sedang sibuk-sibuknya mengurusi usaha kuliner yang dia beri merek Omah Mbok Jinah. Kesibukannya tak sebatas berbelanja bahan baku dan memasak. ”Aku juga kasih pelatihan product knowledge kepada para reseller,” katanya, yang sering berperan sebagai MC di setiap pentas dangdut organ tunggal asuhan Hadi Soesanto ini.
Dagangannya adalah bakso, kebab mini, siomay, dimsum, dan ayam ungkep. Semuanya dalam bentuk beku dalam kemasan kedap udara. Dia juga berjualan sambal dalam kemasan botol dan tiwul ayu yang diproduksi temannya.
Dero, panggilannya, mengajak sekitar 30 orang—sebagian besar penyanyi/pemusik dangdut dan keluarganya—sebagai reseller alias pedagang produknya. Dari daerah Manding di Bantul, produknya turut dipasarkan, misalnya, oleh Fey Wong yang tinggal di Magelang, Felisa di Kulon Progo, dan Yupi Yupita di area Kota Yogyakarta.
Sejak pandemi, mereka jadi tidak punya pekerjaan. Ya, aku ajak saja jualan.
”Sejak pandemi, mereka jadi tidak punya pekerjaan. Ya, aku ajak saja jualan,” kata Dero. Dia tak mewajibkan para pedagang itu memakai merek Omah Mbok Jinah, justru membebaskan mereka membuat merek dagangnya sendiri. Setiap pedagang membeli 10 hingga 30 paket menu dari Dero, beberapa sudah memesan ulang.
Hampir dua bulan Dero menjalankan bisnis ini. Dia terkejut dengan hasilnya. ”Per hari rata-rata Rp 10 jutaanlah. Itu omzet, ya,” kata lulusan akademi pariwisata di Yogyakarta ini. ”Aku bilang ke Om Hadi, mungkin aku bakal mundur dari panggung, nih, ha-ha-ha.”
Dero menekuni pentas dangdut sejak 2009 selepas kuliah. Dia memulainya sebagai penyanyi kafe. Berbarengan dengan itu, Dero juga merintis jualan makanan, mulai dari nasi penyet, bakmi jawa, sampai minuman thai tea dan boba. Namun, hasilnya tak terlalu gemilang karena dia tetap sibuk naik-turun panggung. Bisa dibilang, hampir setiap hari dia jadi penghibur, apalagi sejak bergabung dengan Hadi.
Suatu ketika, sebelum pandemi, dia main di pusat perbelanjaan. Di sana, tanpa rencana, dia membeli mesin pendingin dan mesin vakum makanan dengan berutang. ”Belinya iseng saja, belum tahu mau buat apa. Ndilalah, sekarang (ketika pandemi) mesin itu malah jadi modal usaha,” katanya.
Saweran virtual
Dari Cirebon, para bintang tarling dangdut juga bersiasat agar dapur mereka tetap ngebul di tengah belitan krisis akibat pandemi. Diana Sastra dan Dian Anic, dua primadona tarling dangdut beda generasi, yang juga memilih grup musik, harus memikirkan nasib anak buah mereka, yakni pemusik, manajemen, dan kru panggung.
Sejak April, Diana (42) rutin membuat pentas virtual dari studio di rumahnya di Desa Megu Gede, Kecamatan Plered, Kabupaten Cirebon. Kalau di pentas reguler Diana dibayar oleh empunya hajat, di pentas virtual dia dapat uang dari penonton yang hendak memesan lagu. Pemesan lagu menyawer dengan cara transfer, mulai Rp 25.000 sampai Rp 500.000, suka-suka. Nama penyawer akan disebut Diana.
”Lumayan, satu sesi bisa dapat Rp 2 juta,” kata Diana. Pendapatan itu lantas dibagi kepada pemusik, penata kamera, serta operator audio dan video.
Dian Anic (32) punya tayangan serupa yang juga mengumpulkan saweran virtual. Penonton yang punya bisnis bisa mengiklan di tayangan kanal Youtube itu. Iklan kue lebaran bersisian dengan iklan cat dinding. Tarifnya mulai dari Rp 500.000.
Heri Kurniawan, suami sekaligus manajer Dian Anic, mengatakan, mereka bisa mendapat Rp 4 juta hingga Rp 5 juta dari setiap tayangan. Bandingkan dengan tarif pada pentas biasa yang mencapai Rp 30 juta sekali tampil. Hasilnya dibagi kepada para awak di bawah naungan grup Anica Nada, yang mencapai 50-an orang pada pentas reguler.
Sebagai tambahan, sang biduan yang hobi memasak ini membuat sambal baby cumi asin dengan merek namanya, Dian Anic. Saat ini, dibantu empat orang, dia mampu memproduksi 100 sampai 300 stoples sambal. Setiap stoplesnya dijual Rp 35.000.
”Ini tanpa bahan pengawet, jadi cuma tahan paling lama seminggu,” kata Dian yang sesekali mengantar sendiri pesanan konsumen.
Masa kedaluwarsa makanan bikinan para seniman rakyat itu tentu ada batasnya. Namun, daya kreasi mereka perlu terjaga keawetannya. Apalagi, ujung masa suram ini masih samar. Jangan lupa sawerannya, Bos...!