Masyarakat Masih Abai Menonton Film Sesuai Kategori Umur
Masih banyak masyarakat yang abai untuk menonton film sesuai klasifikasi usia. Edukasi kepada anak dan keluarga pun tak terlaksana dengan baik. Akibatnya, beberapa kali didapati anak-anak menonton film tak sesuai usia.
Oleh
Sekar Gandhawangi
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Lembaga Sensor Film mengajak masyarakat untuk bijak memilih film dan tontonan lain berdasarkan kategori umur. Hal ini penting agar konten film tersampaikan kepada penonton yang tepat.
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2014 tentang Lembaga Sensor Film (LSF), ada empat klasifikasi usia penonton untuk film. Keempatnya adalah semua umur (SU), 13+ (di atas 13 tahun), 17+ (dewasa di atas 17 tahun), dan 21+ (dewasa di atas 21 tahun).
Ketua LSF Rommy Fibri Hardiyanto, saat dihubungi dari Jakarta, Senin (18/5/2020), mengatakan, masih banyak masyarakat yang abai untuk menonton film sesuai klasifikasi usia. Edukasi kepada anak dan keluarga dekat pun tidak terlaksana dengan baik. Akibatnya, beberapa kali didapati anak-anak menonton film yang tidak sesuai dengan usianya.
”Kami sadar, perkembangan teknologi saat ini begitu cepat. Dari aspek regulasi, kami pasti ketinggalan. Saat ini ada banyak tontonan yang bisa diakses dengan mudah. LSF punya tanggung jawab untuk mengedukasi masyarakat agar bijak memilih tontonan sesuai klasifikasi usia,” tutur Rommy.
Sejak 2018, LSF mengampanyekan ”Budaya Sensor Mandiri”. Para produsen film didorong melakukan sensor sebelum film diserahkan kepada LSF, termasuk mengklasifikasikan film untuk kelompok penonton yang ingin dituju.
Menurut Rommy, prinsip sensor mandiri juga bisa diterapkan untuk masyarakat. Artinya, masyarakat didorong menyaring sendiri film yang layak ditonton berdasarkan klasifikasi usia.
Laman The American Academy of Child and Adolescent Psychiatry menyebutkan, tayangan film yang mengandung adegan seksual, kekerasan, penyalahgunaan obat, tema dewasa, dan bahasa kasar memberikan dampak negatif terhadap anak-anak serta remaja. Ada pula potensi mereka meniru adegan berisiko. Suasana gelap ruangan bioskop dan suara keras pun bisa menimbulkan ketakutan dan kecemasan pada anak yang lebih kecil (Kompas, 28/2/2020).
”Budaya Sensor Mandiri” masih dilakukan hingga kini. Diseminasi program ini dilakukan dengan sosialisasi ke daerah-daerah di Indonesia. Sosialisasi dilakukan dengan masyarakat, produsen film, tokoh masyarakat, budayawan, dan guru. Adapun diskusi juga dilakukan di Jakarta dengan para pemangku kepentingan.
”Kalau prinsip sensor mandiri bisa dipahami publik secara merata, kita bisa tenang soal tontonan apa yang dikonsumsi masyarakat,” kata Rommy.
Saat dihubungi terpisah, Ketua Asosiasi Perusahaan Film Indonesia Chand Parwez Servia menyebutkan, sensor mandiri merupakan persoalan etika. Pembuat film harus memahami tujuan film yang dibuat. Target penonton harus ditentukan dan narasi yang ingin disampaikan pada film harus dipahami.
Pemahaman tersebut menjadi panduan bagi pembuat film saat melakukan sensor mandiri di tahap penyuntingan. Menurut dia, menyunting film harus dilakukan dengan rasa, baik oleh produsen film maupun LSF. Konteks film perlu dilihat secara utuh agar penyuntingan tidak menghilangkan makna film.
”Film itu bukan lagi sekadar hiburan. Film harus bisa menggugah agar ada dialog dan diskusi di masyarakat. Misalnya, film Dua Garis Biru. Menurut saya, film itu sangat dibutuhkan remaja dan keluarga karena berisi pembelajaran. Tetapi, ada saja yang menjustifikasi film ini sebelum melihat isinya secara utuh,” ujar Chand.