Ketua LSF Rommy Fibri: Sensor Masih Diperlukan, Konsepnya Harus Berubah
Lembaga Sensor Film (LSF) kini mendorong pelaku film menyensor sendiri karyanya sebelum diserahkan ke LSF. Dialog antara pelaku film dan LSF pun terbuka lebar. Kompas mewawancarai ketua baru LSF, Rommy Fibri Hardiyanto.
Oleh
Sekar Gandhawangi
·5 menit baca
KOMPAS/PRIYOMBODO
Deretan poster-poster film Indonesia yang dipajang di salah satu sudut gedung Lembaga Sensor Film, Jakarta, seperti tampak pada foto yang diambil Selasa (23/3/2010).
Lembaga Sensor Film memiliki ketua baru. Mantan wartawan Tempo, Liputan 6 SCTV dan Jurnal Nasional, Rommy Fibri Hardiyanto dilantik sebagai Ketua Lembaga Sensor Film periode 2020-2024 di Jakarta, Jumat (8/5/2020). Rommy dilantik bersama 17 anggota LSF secara virtual oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makariem.
Nadiem berpesan agar Lembaga Sensor Film (LSF) memperkuat wawasan dan cara pandang yang inovatif atau out of the box. LSF juga diberi mandat untuk mengikuti perkembangan teknologi demi kemajuan pendidikan dan kebudayaan (Kompas, 9/5/2020).
Dalam kesempatan wawancara dengan Kompas, Senin (18/5/2020), Rommy menjabarkan bahwa makna sensor kini bergeser mengikuti perkembangan zaman. Pemotongan pita seluloid pada film yang dinilai melanggar aturan tidak lagi dilakukan.
ARSIP PRIBADI
Ketua Lembaga Sensor Film 2020-2024 Rommy Fibri Hardiyanto.
LSF kini mendorong pelaku film menyensor sendiri karyanya sebelum diserahkan kepada LSF. Adapun dialog antara pelaku film dan LSF terbuka lebar. Berikut wawancara Kompas dengan Ketua LSF 2020-2024, Rommy Fibri Hardiyanto.
Apa tantangan LSF pada periode saat ini?
Tantangan pertama dan yang paling besar adalah bagaimana kami bersinggungan dengan platform digital. Film konvensional, seperti yang hadir di bioskop dan CD (compact disc), sudah ada di ranah LSF. Tapi, bagaimana dengan yang ada di platform digital?
Kami mendapat sorotan dari masyarakat soal ini. Ada kritik dari masyarakat terhadap sejumlah konten di platform digital. Masyarakat mendorong agar kami masuk ke ranah digital. Sebab, daya jangkau platform digital lebih luas dan mudah diakses siapa pun.
Apakah LSF benar-benar akan masuk dan mengawasi platform digital?
Kami masih mengkaji hal ini. Sebab, platform digital adalah hal baru yang perlu kami pelajari terlebih dahulu. Ini akan dikaji dengan kementerian terkait, seperti Kementerian Komunikasi dan Informatika serta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Belum ada kesimpulan apa pun hingga hari ini.
Negara diminta hadir mengamankan konten dan melindungi publik dari pengaruh negatifnya. Di sisi lain, kita tidak bisa menghentikan kemajuan teknologi. Masyarakat juga semakin demokratis. Kami akan kaji dan cari jalan keluar yang pas.
Dalam konteks pengawasan platform digital, apa definisi ”mengawasi”?
Kami merujuk pada Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman. UU itu menjelaskan bahwa semua film yang hendak dipertunjukkan ke Indonesia harus lulus sensor. Ini dasar utama kami untuk masuk ke sana (ranah digital).
Indonesia adalah negara yang berdaulat sehingga aspek apa pun yang masuk ke negara ini harus dilihat. Apa memberi dampak positif ke Indonesia atau tidak? Masalahnya, sejumlah perusahaan (penyedia layanan streaming film) tidak beroperasi di Indonesia, tetapi bisa diakses di sini.
Apa sensor masih relevan dengan kondisi zaman saat ini?
Sensor di Indonesia masih tetap diperlukan dan LSF akan tetap melakukannya sesuai dengan mandat dari UU. Tapi, konsep sensor harus berubah. Ini sudah zaman demokrasi. Sensor tidak bisa lagi seperti dulu dengan menggunting pita seluloid.
Ada dua hal yang membuat paradigma LSF tentang sensor berubah. Pertama, digitalisasi. Hampir semua produk bentuknya digital sekarang sehingga pemotongan tidak lagi memungkinkan.
KOMPAS/PRIYOMBODO
Petugas melakukan pemotongan film berdasarkan berita acara penyensoran film oleh tim sensor di Gedung Lembaga Sensor Film, Jakarta, Selasa (23/3/2010).
Kedua, pada era demokrasi, kreativitas tidak bisa dikekang dan dikebiri. Kami sekarang mengedepankan aspek hak (cipta). Dulu, kami menggunting (pita seluloid) lalu dikembalikan ke pemilik film tanda filmnya sudah lulus sensor. Tapi, film ini, kan, haknya pemilik film.
Sekarang kami mengembalikan semuanya ke pemilik film. Jika ada konten yang dinilai melanggar hukum, kami serahkan lagi ke mereka. Terserah bagaimana tindakan mereka (dalam menyikapi pelanggaran tersebut, misalnya direvisi, diburamkan, atau mengubah adegan film). Sebab, hak cipta film ada pada mereka. Sebelumnya, kami memberi catatan kepada pemilik film soal bagian-bagian yang dinilai perlu disensor.
Kami juga membuka dialog soal sensor. Pihak yang tidak setuju dengan catatan kami boleh datang dan berdialog. Nanti pasti akan ketemu jalan keluarnya. Ini dialog terbuka bagi kedua pihak, baik LSF maupun pemilik film.
Bagaimana kelanjutan gerakan sensor mandiri yang diinisiasi LSF sejak 2018?
Sampai hari ini dan ke depan LSF masih akan melanjutkan Budaya Sensor Mandiri. Intinya, kami mau mengajak masyarakat agar bijak memilah dan memilih tontonan. Selama ini, kami lihat masih banyak masyarakat dan orangtua yang belum sadar akan hal ini. Akibatnya, edukasi ke anak dan keluarga dekat untuk menonton film sesuai dengan klasifikasi umur masih kurang.
Kami sadar perkembangan teknologi saat ini begitu cepat. Dari aspek regulasi, kami pasti ketinggalan. Banyak tontonan yang sekarang bisa diakses melalui banyak platform. LSF punya tanggung jawab untuk mengedukasi masyarakat agar bijak memilih tontonan sesuai klasifikasi usia.
Kami mau mengajak masyarakat agar bijak memilah dan memilih tontonan. Selama ini, kami lihat masih banyak masyarakat dan orangtua yang belum sadar akan hal ini. Akibatnya, edukasi ke anak dan keluarga dekat untuk menonton film.
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2014 tentang Lembaga Sensor Film, ada empat klasifikasi usia. Keempatnya adalah semua umur (SU), 13+ (di atas 13 tahun), 17+ (dewasa di atas 17 tahun), dan 21+ (dewasa di atas 21 tahun).
Kalau prinsip sensor mandiri bisa dipahami publik secara merata, kita bisa tenang soal tontonan apa yang dikonsumsi masyarakat. Kami punya program untuk literasi publik, seperti sosialisasi ke daerah-daerah. kami bertemu semua pihak, baik produsen, tokoh masyarakat, budayawan, guru, dan masyarakat awam.
KOMPAS/PRIYAMBODO
Keberadaan Lembaga Sensor Film (LSF) adalah untuk mengurangi adegan-adegan yang dinilai melanggar etika. Beginilah suasana di ruang sensor di Gedung Film, Jakarta, Kamis (10/11/2005).
Di Jakarta, kami juga berdiskusi dengan para pemangku kepentingan di dunia perfilman, baik produser, televisi, bioskop, dan sebagainya. Kami harap bioskop bisa lebih ketat dalam memperbolehkan konsumen ke depannya.
LSF pernah diminta melakukan penelitian soal klasifikasi usia yang sesuai dengan konteks Indonesia. Sebab, klasifikasi usia yang ada sekarang menggunakan referensi asing. Apa ada rencana mengadakan penelitian itu?
Beberapa lembaga punya definsi berbeda tentang usia dewasa. Misalnya, LSF menganggap usia 17 tahun sebagai usia dewasa, sedangkan UU Penyiaran menyebut usia dewasa adalah 18 tahun. Jika hal ini perlu disinkronkan, kami harus bekerja dengan DPR karena undang-undang adalah domain DPR.
Apakah klasifikasi umur yang ada masih kontekstual sekarang?
Masih. Walaupun begitu, ke depan kami akan catat soal ini dan diskusikan lagi. Mungkin pembahasan ini akan menunggu momentum yang tepat.
Terkait pengangkatan bapak sebagai Ketua LSF yang baru, apa ada pesan khusus dari Mendikbud Nadiem Makarim?
Beliau meminta agar kami semua berpikir out of the box. Kami diminta tidak terpaku pada rutinitas. Dirjen Kebudayaan Kemendikbud (Hilmar Farid) juga menyampaikan bahwa LSF mesti mengembangkan aspek pendampingan dan literasi publik. Ini penting karena kita berada pada era digital.