Derita Kru Film di Tengah Pandemi Covid-19
Terhentinya industri perfilman Tanah Air akibat pandemi Covid-19 membuat para pekerja lepas di industri ini bertahan hidup dengan berbagai cara. Ada yang menggadaikan barang, pengemudi ojek, hingga jualan makanan.
Tanpa terkecuali, seluruh industri tengkurap akibat pandemi Covid-19. Industri perfilman Tanah Air pun harus menunda sejumlah produksi tanpa batas waktu. Nasib pekerja film, apalagi para pekerja lepas, menjadi tak pasti.
Bagaikan disambar petir di siang bolong, Muhamad Ridwan (37), seorang pekerja film lepas, harus menerima kenyataan pada Maret lalu bahwa syuting film Jailangkung 3 ikut ditunda. Padahal, syuting film ini sudah hampir selesai.
”Sedih ya, sedangkan syuting sudah tinggal sedikit lagi kelar. Pembayaran untuk kami baru sebagian diterima sehingga hanya bisa bertahan beberapa bulan saja. Saya dan teman-teman bingung,” kata Ridwan yang akrab disapa Achonk ketika dihubungi di Jakarta, Jumat (8/5/2020).
Ridwan adalah seorang teknisi digital imaging lepas atau yang lebih dikenal dengan istilah digital imaging technician (DIT). DIT menangani manajemen data syuting menuju editor sehingga berperan sebagai penghubung antara tim produksi dan pascaproduksi.
Sampai kini, Ridwan belum tahu pasti kapan syuting Jailangkung 3 akan kembali berlangsung. Ia juga memperkirakan pekerjaannya di tiga proyek lainnya sepanjang 2020 akan ditunda.
Laki-laki yang tinggal di Ciganjur, Jagakarsa, Jakarta Selatan, ini melanjutkan, dia tidak bisa menjadi sopir taksi daring atau mencari pekerjaan sambilan lain karena adanya pembatasan sosial berskala besar (PSBB) dan keterbatasan modal. Istrinya adalah ibu rumah tangga.
Akhirnya, Ridwan memutuskan untuk menjual makanan ringan, seperti keripik, stik balado, dan kurma secara daring. Meskipun keuntungannya kecil, ia mampu menjaga asap di dapur tetap mengepul bagi istri dan anaknya. Istrinya juga ikut membantu berjualan makanan takjil selama bulan Ramadhan ini.
Ridwan memperoleh pendapatan Rp 1 juta-2 juta per bulan dari hasil jualan itu, jauh lebih kecil dari pendapatannya sebagai DIT sekitar Rp 5 juta per bulan. ”Mau mengomel ke siapa, sedangkan ini adalah wabah. Jadi, saya menikmati saja siapa tahu nanti ada rezeki bagus. Alhamdulillah, kami sekeluarga masih bisa tetap makan,” tuturnya.
Ridwan malahan berusaha agar tetap bisa beramal di masa sulit seperti ini. Ia membantu kenalannya untuk berjualan dan menyumbang darah untuk Palang Merah Indonesia (PMI) yang sedang kekurangan stok. Apabila dagangan takjil milik istrinya masih tersisa, mereka menyumbangkan makanan tersebut kepada yang membutuhkan.
Tidak hanya kru film berskala nasional, pekerja film-film lokal di sejumlah daerah turut terdampak. Cinema Lovers Community Purbalingga, Jawa Tengah, juga menunda kegiatan selama pandemi Covid-19 berlangsung. Cinema Lovers Community Purbalingga adalah sebuah komunitas pencinta film yang berdiri sejak 2004.
Komunitas ini memproduksi, mendistribusikan, mengadakan ekshibisi dan festival film, serta memberi pelatihan. Komunitas ini juga mendampingi para pelajar setempat dalam pembuatan film.
”Saat ini, ada sekitar empat sampai lima film pelajar SMA yang kami dampingi ditunda produksinya. Pemutaran film di bioskop misbar (gerimis bubar alias layar tancap) kami juga mandek karena waktu itu baru pembukaan awal Maret 2020 dan berjalan dua minggu,” kata Nur Muhammad Iskandar, anggota Cinema Lovers Community Purbalingga.
Iskandar mengakui, saat ini kegiatan di komunitas itu mati suri sehingga memengaruhi penghasilan mereka. Mereka juga kemungkinan besar menunda festival film yang biasanya digelar pada Juli atau Agustus hingga akhir tahun.
Para anggota Cinema Lovers Community Purbalingga akhirnya tidak memiliki kegiatan apa-apa selama masa pandemi ini, termasuk dirinya. Menurut Iskandar, beberapa rekannya memutuskan menjajal pekerjaan baru, seperti menjadi petani hidroponik, tukang kaca, bahkan pencari belut di sawah.
Penundaan film
Berdasarkan data kompilasi dari Asosiasi Produser Film Indonesia (Aprofi), terdapat 17 film yang ditunda produksinya hingga Mei 2020. Jumlah itu terdiri dari 11 film pada Maret 2020, 4 film pada April 2020, dan 2 film pada Mei 2020. Produksi satu film biasanya mempekerjakan minimal 50 hingga ratusan kru.
Sutradara film seri Dilan dan Milea, Fajar Bustomi, misalnya, memiliki sejumlah film yang terdampak Covid-19, seperti Mariposa dan Buya Hamka. ”Mariposa baru tayang seminggu Maret 2020 dan kemudian bioskop-bioskop tutup sehingga film ini akhirnya ditarik. Sementara itu, Buya Hamka untungnya sudah selesai syuting, tetapi kemungkinan penayangan pada akhir Juli ditunda,” kata Fajar.
Proyek film Fajar lainnya juga terpengaruh. Jadwal syuting film Pasutri Gaje dan Titik Nol kemungkinan besar akan mundur pada tahun ini. ”Saya mendapat banyak tawaran syuting, tetapi tidak mungkin diambil. Lebih baik mengikuti aturan pemerintah agar tidak terjadi apa-apa,” ujarnya.
Fajar mengakui, pengaruh penundaan produksi film sangat berdampak terhadap para kru film, terutama para pekerja lepas yang menerima gaji harian. Ia mendapat banyak cerita langsung dari para kru terkait kesulitan mereka.
”Saya dengerin curhat tidak bisa beli beras karena hampir dua bulan di rumah. Biasanya seminggu enggak ada syuting saja sudah pusing. Ada sebagian kru yang pulang kampung, bertani, menggadaikan motor, menjual barang, meminjam uang. Mereka bertahan dengan cara masing-masing,” tuturnya.
Ketua Umum Aprofi Edwin Nazir mengatakan, penundaan produksi film nasional paling berdampak bagi para pekerja lepas yang dibayar harian. Aprofi memperkirakan, ada sekitar 3.000 pekerja film harian yang terdampak, antara lain, PU (pembantu umum), runner, dan pengemudi.
”Mereka kalau enggak syuting enggak dapat apa-apa. Kru-kru harian itu biasanya mendapatkan penghasilan berkisar Rp 3 juta-Rp 5 juta per bulan kalau setiap hari masuk kerja,” kata Edwin.
Pemberian bantuan
Edwin mengatakan, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) tengah membuat pendataan terkait para pekerja film yang terdampak. Namun, perkembangan mengenai proses pendataan itu belum ada.
Menurut Edwin, melihat kondisi mereka saat ini, para pekerja film tersebut membutuhkan bantuan yang bersifat langsung agar bisa langsung digunakan. Sementara itu, bantuan pelatihan seperti Kartu Prakerja dari pemerintah kurang efektif bagi mereka.
Untuk itu, Aprofi memutuskan untuk menggalang dana bantuan bagi para kru film melalui situs kitabisa.com. Untuk bantuan tahap pertama, Aprofi menggalang dana Rp 80,7 juta per 28 April 2020.
Dana itu diberikan kepada 100 pekerja film di kawasan Jabodetabek dan Yogyakarta yang masing-masing menerima bantuan senilai Rp 800.000. ”Kami sekarang sedang mengumpulkan lagi donasi tahap kedua,” ucap Edwin.
Edwin menyatakan, penggalangan bantuan itu akan terus berlangsung hingga pemerintah menyatakan kondisi aman. Apabila syuting kembali berlangsung, Aprofi akan memastikan proses syuting akan berlangsung sesuai protokol kesehatan yang dibuat.
Fajar menambahkan, perusahaan film juga berusaha menyalurkan bantuan kepada kru yang membutuhkan. ”Kami mengirim data beberapa kru ke Falcon Pictures dan mereka memberi bantuan uang tunai kepada para kru dua minggu lalu,” tuturnya.
Selain itu, ujarnya, sejumlah asosiasi berusaha menggalang dana bantuan bagi kru film lewat penjualan kaus. Sejumlah sineas, seperti Hanung Bramantyo dan Ernest Prakasa, juga membuat workshop film berbayar yang hasilnya untuk disumbangkan. ”Mereka mengirim pesan Whatsapp untuk berterima kasih,” kata Fajar.