Dalam sebuah wawancara dengan Kompas, Didi Kempot pernah berujar, "Umurku sudah lumayan banyak, tapi karyanya muda terus. Yang dibutuhkan dari seniman adalah karyanya. Itu membuat seniman abadi." Selamat jalan Lord Didi.
Oleh
Sekar Gandhawangi
·5 menit baca
Konon, masa jaya seseorang hanya datang sekali seumur hidup. Masa keemasan itu tidak bisa diduplikasi atau diulang lagi gegap gempitanya. Namun, Didi Kempot (54) mematahkan mitos itu dan menghidupkan kembali masa jayanya di dua dekade berbeda.
Didi Prasetyo alias Didi Kempot dulu bukan siapa-siapa. Ia mengamen di kawasan Keprabon, Kota Solo, Jawa Tengah, dengan sebuah gitar yang didapat setelah menjual sepeda pemberian ayahnya, pelawak Ranto Eddy Gudel. Didi yang lahir di Solo, 31 Desember 1966, itu dulu anggota Kelompok Pengamen Trotoar. Akronim kelompok itu lantas disematkan menjadi nama panggung Didi hingga akhir hayatnya, yaitu Didi Kempot.
Didi mangkat di Rumah Sakit Kasih Ibu Solo, Selasa (5/5/2020) pagi, karena sakit. Semasa hidup, ia dikenal sebagai seniman campursari yang populer di Indonesia, Suriname, dan Belanda. Namanya melejit di Indonesia setelah album Stasiun Balapan rilis pada 1999.
Perjalanan yang Didi lalui untuk menjadi seniman terbilang tidak mudah. Setelah mengamen selama 10 tahun di Keprabon, Solo, ia pindah ke Jakarta dan kembali mengamen. Setelah bertahun-tahun menjadi musisi jalanan, Didi akhirnya masuk dapur rekaman pada 1989.
Lebih dari 30 tahun Didi berkarya lewat tembang berbahasa Jawa. Hingga pertengahan 2019, ada lebih dari 700 lagu yang ia ciptakan. Salah satu lagu lawas yang terkenal hingga sekarang adalah ”Cidro” yang ditulis pada 1989. Dulu, pamor lagu ini tidak moncer di Indonesia. Lagu itu malah lebih terkenal di Suriname dan Belanda daripada di negara sendiri.
Nama Didi memang lebih populer di kedua negara itu. Ada saja jadwal manggung setiap tahun di sana. Lagu-lagu Didi disambut baik oleh masyarakat etnis Jawa, khususnya di Suriname. Pejabat negara setempat pun ”kepincut” dengan pesona Didi dan kerap menemui Didi. Adapun Presiden Suriname Weyden Bosch menganugerahi Didi dengan medali emas pada 1996 (Kompas, 10/10/1999).
Sementara itu, lelaki berambut panjang ini juga menerima gelar ”Penyanyi Jawa Teladan”. Gelar ini diberi oleh warga Jawa di Belanda (Kompas, 6/2/2000).
Popularitas Didi melejit lewat lagu ”Sewu Kutho” dan ”Stasiun Balapan”. Lagu ”Stasiun Balapan” dibuat sekitar awal 1999 setelah ia pulang dari Suriname. Lagu ini cocok jadi pengiring kepergian kekasih hati di stasiun kereta. Menurut Didi, perpisahan itu menimbulkan rasa yang campur aduk. Ada haru, rindu, serta harapan menanti kekasih kembali.
”Godfather of the Broken Heart”
Nama Didi jaya di akhir 1990-an hingga 2000-an. Pada 2019, namanya kembali meroket dengan citra sebagai bapaknya para remaja patah hati. Oleh para penggemar barunya yang terdiri atas anak muda, ia dijuluki ”Godfather of the Broken Heart”. Agar lebih akrab dan singkat, ia dipanggil ”Lord” Didi.
Kejayaan Didi di era ini tidak main-main. Jumlah ”penganut” karyanya mungkin ribuan dan kebanyakan adalah anak muda yang ekspresif. Mereka melabeli diri sebagai sad bois dan sad girls. Kadang pula mereka disebut ”sobat ambyar”. Bersama lagu berlirik nelangsa Lord Didi, mereka merayakan hati yang patah sambil joget dan misuh.
Suasana ini terekam pada penampilan Didi di Hari Lahir ke-21 Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) di Jakarta, Selasa (23/7/2020). Hari sudah malam saat Didi tampil. Namun, sad bois dan girls tidak peduli. Mereka merangsek masuk ke halaman kantor Dewan Pengurus Pusat PKB dan mengabaikan mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla yang baru saja meninggalkan tempat itu usai berpidato.
Penonton berseru riuh setelah ”bapak angkat” mereka naik ke panggung. Orang muda, tua, rakyat biasa, pejabat, hingga yang tidak bisa berbahasa Jawa larut dalam euforia malam itu. Mantan Menteri Ketenagakerjaan Muhammad Hanif Dhakiri tampak senang betul diajak nyanyi oleh Didi.
Didi terkekeh-kekeh senang saat ditanya soal sad bois dan sad giris. Ia menduga penggemar mudanya mengenal lagu Didi dari orangtua mereka. Hatinya hangat ketika musik campursari bisa diterima oleh generasi anyar. Setidaknya, anak muda mengenal budaya dan musik daerah mereka.
Saya melestarikan budaya dengan kemampuan saya, yakni menulis syair Jawa. Lagu apa pun boleh Anda cinta, Anda suka. Tapi, jangan sampai lupakan lagu-lagu kita sendiri: lagu tradisional.
”Saya melestarikan budaya dengan kemampuan saya, yakni menulis syair Jawa,” kata Didi. ”Lagu apa pun boleh Anda cinta, Anda suka. Tapi, jangan sampai lupakan lagu-lagu kita sendiri: lagu tradisional,” katanya.
Estafet
Penulis buku Jurnalisme Musik, Idhar Resmadi, menilai, karya dan perjalanan Didi di industri musik telah membuka gerbang bagi seniman campursari yang lebih muda. Didi telah menyerahkan tongkat estafetnya. Sekarang tergantung bagaimana seniman memanfaatkan jalan yang sudah terbuka.
”Didi menunjukkan bahwa campursari bisa diterima masyarakat luas, terlebih anak muda. Ini PR besar bagi seniman campursari untuk melanjutkan warisan Didi,” kata Idhar saat dihubungi, Selasa (5/5/2020).
Pengaruh Didi terhadap musik campursari dinilai luar biasa. Musiknya menembus sekat bahasa, usia, jender, dan genre. Musik yang semula identik dengan ”lagunya orang hajatan” kini dimainkan tanpa gengsi.
Didi menunjukkan bahwa campursari bisa diterima masyarakat luas, terlebih anak muda. Ini PR besar bagi seniman campursari untuk melanjutkan warisan Didi.
Penyiar radio dan pegiat Youtube, Gofar Hilman, pun mengundang Lord Didi dalam acara #Ngobam atau Ngobrol Bareng Musisi di kanalnya. Hingga 5 Mei 2020, video itu telah ditonton lebih dari 5 juta kali.
Menurut Idhar, popularitas Didi Kempot di 2019 merupakan hasil rebranding yang unik. Didi berhasil menggaet anak muda dengan sosok Godfather of the Broken Heart ditambah amplifikasi dari internet. Adapun lirik lagunya—walau tidak semua paham bahasa Jawa—dinilai sederhana tanpa kiasan berlebihan, namun representatif.
”Campursari itu musik yang menarik. Selain itu, campursari cukup populer karena populasi orang Jawa di Indonesia banyak. Lagu Didi jadi menarik karena sedih, tapi tidak meratap. Tidak cheesy, tapi enak dibuat goyang (joget),” kata Idhar.
Sebelum mangkat, Didi Kempot berhasil menggalang dana lebih dari Rp 7,6 miliar melalui Konser Amal dari Rumah Live bersama Kompas TV, Sabtu (11/4/2020). Dana itu digunakan untuk membantu warga yang terdampak pandemi Covid-19.
Dana kemudian disalurkan melalui sejumlah organisasi, antara lain Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Muhammadiyah, dan Jaringan Lintas Iman untuk Covid-19 (JIC) (Kompas, 24/4/2020).
Antusiasme masyarakat kala itu besar. Saat satu lagu baru dinyanyikan sudah ada Rp 1 miliar yang terkumpul. Sumbangan terus bertambah mencapai Rp 5 miliar di akhir acara. Masyarakat berdonasi melalui laman Kitabisa (Kompas, 15/4/2020).
Selain itu, Didi juga didapuk sebagai Duta Antinarkoba oleh Badan Narkotika Nasional pada Februari 2020. Sosok Didi dinilai berpengaruh dan tepat untuk menyatakan tidak pada narkoba.
Didi Kempot kini tiada. Seruan ”cendol dawet” tidak akan sama lagi tanpa sosok bapak yang ngemong pada ABG galau. Kendati demikian, Didi Kempot pernah berkata kepada Kompas, ”Umurku sudah lumayan banyak, tapi karyanya muda terus. Yang dibutuhkan dari seniman adalah karyanya. Itu membuat seniman abadi.”