Kehadiran Feast menambah daftar musisi yang melek terhadap isu sosial dan politik. Band ini tidak hanya bikin album, tetapi juga terlibat dalam komunitas pergerakan dan advokasi.
Oleh
ELSA EMIRIA LEBA
·4 menit baca
Belantika musik Tanah Air telah memiliki legenda, seperti Bimbo, Iwan Fals, Slank, Superman Is Dead, Navicula, dan Efek Rumah Kaca dalam membawakan lagu-lagu bernuansa kritik. Kini, dunia musik Indonesia semakin ramai dengan musisi-musisi kritis yang muncul belakangan.
Salah satunya grup rock Feast (ditulis. Feast) yang beranggotakan Baskara Putra (vokalis), Adrianus Aristo Haryo atau Bodat (drumer), Adnan Satyanugraha Putra (gitaris), Dicky Renanda Putra (gitaris), dan Fadli Fikriawan Wibowo (basis). Kehadiran mereka menambah daftar musisi yang melek terhadap isu sosial dan politik.
”Feast dibilang sebagai grup musik bandwagon karena merilis ’Peradaban’ pada tahun pemilu. Sebenarnya dari dulu kami berlima sudah aktif dalam dunia aktivisme. Sebelum Feast merilis singel pertama, kami juga sudah banyak terlibat dalam komunitas pergerakan dan membantu berbagai bentuk advokasi,” kata Baskara dalam siaran langsung Sounds Rights melalui akun Youtube Amnesty International Indonesia di Jakarta, Selasa (24/3/2020) malam.
Lagu-lagu Feast terinspirasi dari banyak fenomena dan insiden. Singel perdana ”Camkan” (2014) bercerita tentang kritik mengenai kebebasan beragama di Indonesia dan ”Peradaban” (2018) berisi tanggapan mengenai insiden Bom Surabaya pada 2018. Dalam ”Peradaban”, mereka menyoroti kelompok masyarakat yang ingin mengubah Indonesia.
Lagu lainnya, ”Berita Kehilangan” (2018), berangkat dari ide mengenai seorang ibu kehilangan anaknya akibat pembunuhan pada 2011 serta surat seorang ibu kepada anaknya yang menjadi korban pemerkosaan dan pembunuhan. Lalu, lagu ”Tarian Penghancur Raya” (2019) membahas keberadaan tari gandrung dari Banyuwangi, Jawa Timur, yang terancam.
Fikriawan melanjutkan, dalam beberapa lagu, Feast juga berusaha agar bunyi instrumen gitar, bas, dan drum tidak sekencang dalam album pertama. Mereka ingin agar pendengar lebih fokus pada vokal sehingga penyampaian pesan lagu bisa tersampaikan.
Dalam menyampaikan kritik dan pesan kemanusiaan dalam lagu, Feast juga menggunakan cara kekinian melalui video musiknya. ”Peradaban” dan ”Berita Kehilangan” menampilkan gambar video vertikal yang sesuai dengan ukuran layar ponsel pintar saat ini.
Selain itu, video klip mereka berisi potongan berita-berita hangat yang terjadi di Indonesia, seperti masalah literasi, pemerkosaan dan kematian pelajar, serta terorisme. Gambar dari video ”Berita Kehilangan” juga unik karena mengambil sudut pandang orang yang berada dari dalam kuburan sembari melihat para pelayat.
”Kami berusaha merepresentasikan lagu dalam bentuk visual yang unik. Selain karena tidak ada budget, ini juga strategi agar video menjadi proper dan kemudian ditambah footage untuk memperkuat pesan lagu,” kata Fikriawan.
Beberapa karya Feast relevan dengan isu-isu penegakan hak asasi manusia di Indonesia. Feast juga bekerja sama dengan Amnesty Internasional Indonesia dalam isu tersebut. ”Kalau kita bisa mengamplifikasi hal it, kenapa gak bareng-bareng, toh ini berbuat demi kebaikan,” tutur Fikriawan.
Perjalanan Feast
Feast terbentuk ketika para anggotanya masih menjadi mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Indonesia pada 2013. Setahun kemudian, mereka merilis singel perdana ”Camkan”, sebuah lagu penuh kemarahan tentang kritik mengenai kebebasan beragama di Indonesia. Selanjutnya, mereka merilis album perdana Multiverses pada 2017 yang berisi banyak genre dalam balutan musik rock.
”Album Multiverses tidak mengambil batasan genre. Apakah genre masih relevan sekarang, padahal kita bisa membuat kayak gini, misalnya. Jadi, kami ingin bermusik tanpa membatasi diri sendiri,” tutur Bodat.
Posisi Feast semakin terdeteksi radar ketika merilis singel ”Peradaban” (2018), di mana lagu ini kerap menjadi mars perjuangan dalam aksi-aksi demonstrasi. Bagaimana tidak, lagu bernuansa penuh semangat ini mengawinkan dentuman drum, petikan mandolin, serta seruan pemacu gelora.
”Peradaban” kemudian dirilis dalam mini album ”Beberapa Orang Memaafkan” (2018) bersama lima lagu lainnya, termasuk ”Berita Kehilangan”. ”Berita Kehilangan” juga kerap digunakan oleh aktivis HAM.
Feast merilis ”Dalam Hitungan”, ”Tarian Penghancur Raya”, dan ”Luar Jaringan” selama 2019-2020. Lagu-lagu ini merupakan bagian dari album baru bertajuk ’Membangun dan Menghancurkan’. Belakangan, lagu-lagu baru Feast terlihat lebih sering menggunakan bahasa Indonesia ketimbang album Multiverses yang mayoritas berbahasa Inggris.
”Waktu itu gue merasa lebih nyaman menulis lagu dalam bahasa Inggris karena bacaannya lebih ke itu, terus secara suku kata bahasa Indonesia tidak terlalu efisien. Tetapi, kalau ngomong topik sosial, kemanusiaan, politik, lagu Feast di ruang publik harus bisa accessible, jadi dibuat dalam bahasa Indonesia,” ucap Baskara.
Waktu tepat
Pada dasarnya, karya Feast tidak menawarkan suatu terobosan baru. Namun, Feast membawa angin segar pada waktu yang tepat. Tidak hanya karena menyuguhkan musik rock di tengah dominasi musik EDM atau pop saat ini, karya mereka juga berorientasi pada isu masyarakat yang relevan ketika musisi lain ramai-ramai membawakan lagu cinta.
”Kami nge-band dan membuat lagu yang memiliki nilai personal masing-masing. Kami gak memaksa orang lain karena apa yang kita rasakan belum tentu sama. Tetapi, yang penting buat gue, kalau ada kebaikan, kenapa enggak disebarkan,” kata Bodat.
Kehadiran Feast semoga dapat semakin menggugah agar anak muda melek terhadap isu dan penegakan HAM. Apalagi, dunia baru saja merayakan Hari Internasional untuk Hak Atas Kebenaran dan Martabat Korban Pelanggaran Berat HAM pada 24 Maret 2020.