Landas pacu kariernya adalah loteng rumah milik temannya. Internet membuatnya tampil di banyak negara. Lewat musik, Omar Apollo berupaya menginspirasi anak-anak keturunan imigran seperti dirinya.
Oleh
HERLAMBANG JALUARDI
·5 menit baca
Dahi mengernyit mendapati bahwa salah satu pertunjukan berbiaya tambahan di Jakarta International BNI Java Jazz Festival 2020 adalah Omar Apollo. Putra kelahiran Hobart, Indiana, AS, ini belum genap berumur 23 tahun dan dia belum punya album penuh. Kernyitan di dahi berubah senyum begitu dia menuntaskan penampilannya pada Minggu (1/3/2020).
Tepukan dan teriakan meminta tambah lagu membahana di satu dari dua aula terbesar arena Java Jazz Festival (JJF) di JIExpo, Kemayoran, Jakarta Pusat, itu. Omar, yang sudah melepas jas berpayet perak, tak mengindahkannya. ”Bye, baby…,” katanya sembari melambaikan jemari kanannya, lalu ngibrit ke samping kanan panggung.
Dia baru saja membawakan 14 lagu, satu di antaranya adalah nomor ”Cool Cat” milik Queen, yang pelan tapi funky itu. Lagu tersebut ia lanjutkan dengan tembang ”Hit Me Up” miliknya yang bergaya mirip. Ibarat panggung drama, dua lagu ini adalah tanda bahwa sejengkal lagi pertunjukan menuju titik didih: memanas.
Omar melepas jasnya, menyisakan kemeja putih lengan panjang, pantalon lurus hitam, dan sepatu bot kelir perak. Penonton histeris. Teriakan lebih keras memasuki lagu rancak ”Ugotme” yang dirangkai dengan ”So Good”.
Di lagu ”So Good”, Omar berjalan mondar-mandir bergaya layaknya peragawan di catwalk, sesekali mengentakkan pinggul dan memainkan mimik muka. Dia juga memamerkan kemampuannya berputar 360 derajat, dua putaran sekaligus seperti Michael Jackson. Sorotan lampu—yang mengikuti ke mana pun dia bergerak—makin menguatkan pancaran pesonanya. Omar adalah penguasa panggung.
Irama lagu itu, bergaya R&B dan funk dengan bunyi bas yang dalam, menyuntikkan energi buat Omar memamerkan kebisaannya berdansa. Kakinya yang panjang seperti tak bisa diam—hanya ikatan sepatu yang mengendur yang bisa menghentikannya.
Penampilan Omar itu memesona ribuan penonton. Kursi-kursi penuh, didominasi penonton berusia relatif muda. Penonton itu rela mengeluarkan uang Rp 250.000 per orang di luar harga karcis masuk festival. Mereka berdedikasi menyaksikan penampilan Omar.
Tiga jam sebelum naik pentas, Omar masih bersantai di ruang ganti berpenyejuk udara, lengkap dengan buah-buahan di meja. Dia belum pernah main di festival jazz mana pun, apalagi jadi penampil utamanya.
”Mungkin saja,” jawab Omar ketika ditanya apakah festival jazz merupakan habitat yang tepat bagi musiknya. ”Ada unsur jazz di beberapa bagian laguku. Banyak progresi akor jazz di laguku. Tapi aku tidak menyebut musikku jazz. Terpengaruh saja,” lanjutnya seraya menyebut pengaruh lain seperti funk, R&B, soul, dan rock pada musiknya.
Penampilan di aula besar seperti di JJF itu—penonton berdedikasi, tata lampu mewah, dan kualitas produksi suara jempolan—mungkin tak tebersit dalam benaknya tiga tahun silam. Demikian juga membayangkan bisa main di Indonesia, negara yang jauh di sisi selatan tempat asalnya.
Tenar dalam semalam
Berdasarkan penuturan kepada Rolling Stone pada 2017, Omar masih ”pemuda biasa” yang sering mencoba hal-hal baru dan main papan luncur dengan teman-temannya. Dia pernah tinggal di ruang loteng milik temannya di Hobart. Di sana, dia menulis lagu R&B lembut berdurasi dua menit yang dia juduli ”Ugotme”, lagu serius pertamanya.
Karena suka, sang teman meminta dia mengunggah lagu itu ke platform Spotify. Pendengarnya langsung banyak. Berselang semalam, Spotify lantas memasukkan lagu itu ke playlist berjudul Fresh Finds alias temuan terbaru. Melalui daftar lagu itulah, angka pendengarnya sontak meroket jadi puluhan ribu.
Lagu demi lagu dia tulis kemudian dengan pendengar yang makin bejibun. Capaian itu tak ayal mengejutkan dia sendiri. ”Wow... ini enggak masuk akal. Aku anak Indiana. Luar biasa banget ada banyak orang menikmati karya anak ’pedalaman’, apalagi keturunan Meksiko,” kata Omar kepada Billboard.
Hingga hari ini, lagu ”Ugotme” telah diputar sebanyak 29 juta kali di Spotify saja, tak termasuk di kanal musik streaming lain. Lagu teranyar yang ia keluarkan November 2019, ”Hit Me Up”, telah dimainkan sebanyak 8,5 juta kali di platform itu. Lagu-lagunya dia kumpulkan ke dalam dua album mini: Stereo (2018) dan Friends (2019).
Omar Velasco, nama lahirnya, adalah anak dari pasangan imigran asal Guadalajara, Meksiko. Nama kota itu sering muncul dalam film atau serial bertema kriminal, khususnya narkotika. Miguel Angel Felix Gallardo adalah gembong kartel narkotika ternama yang sangat berkuasa di dekade 1980-an. Tapi, kota itu juga disebut-sebut sebagai pertumbuhan musik mariachi, yang digemari orangtua Omar.
Dilansir dari situs Pitchfork, ayah Omar menyeberangi perbatasan Amerika Serikat pada 1979 ketika berusia 23 tahun—nyaris sama dengan usia Omar sekarang. Ibunya menyusul pada 1992. Pasangan itu menetap di Hobart, Indiana, sekitar satu jam dari Chicago. Mereka pernah membuka restoran kecil bernama The Super Taco dan bekerja serabutan sambil membesarkan anak.
”Mereka kerja melulu,” kata Omar. Hasil kerja keras itu memungkinkan orangtua Omar memberinya kado natal berupa gitar ketika berusia 11 atau 12 tahun. Dia suka. Dia belajar gitar sendiri, memainkan akor, dan melatih jari lewat video di Youtube.
Demi musik
Omar juga tertarik pada tarian. Film bertema dansa ia tontoni. Waktu kecil, dia pernah belajar tari balet tradisional Meksiko, juga tari hip hop. Lama-lama, dia menyadari, bermain gitar dan menyanyi adalah yang paling dia senangi. Gereja adalah panggung pertamanya, tapi cuma sebentar. Alasannya, ”Terlalu banyak batasan di sana,” ucapnya.
Omar harus keluar dari rumah orangtuanya ketika menolak kuliah karena lebih tertarik membuat musik. Dia kerja serabutan untuk menghidupi dirinya. Suatu ketika, dia diberi uang 1.000 dollar AS untuk merenovasi ruang loteng rumah temannya. Setelah beres, dia bisa tinggal di situ.
Landas pacu karier musiknya bermula di loteng itu. Lagu-lagunya dibuat di loteng dan diunggah ke internet dari sana. Kini, Omar tak lagi tinggal di sana. Setelah punya manajemen, Omar pindah ke Los Angeles, tinggal di rumah utuh, bukan cuma lotengnya.
Dari Los Angeles, Omar menyokong keuangan orangtuanya, termasuk membayari pengobatan operasi lutut yang membuat ayahnya kehilangan pekerjaan. Dia berencana memindahkan orangtuanya dari Indiana. ”Mereka telah bekerja amat keras. Saatnya mereka menikmati hidup,” ucapnya.
Dia juga memancang target mengeluarkan album penuh perdananya pada tahun ini. Dengan begitu, dia merasa makin sah menginspirasi anak-anak imigran lainnya. ”Ada beberapa anak-anak dari kampungku mencolek lewat Instagram. Misalnya, ’Bang, aku baru dapat gitar, nih.’ Kujawab, ’Menggilalah dengan gitarmu, Bung!’ Hal-hal seperti itu membuatku bahagia,” ujarnya.