Dari tahun ke tahun, peran perempuan dalam perfilman semakin meningkat. Sayangnya, kemajuan perempuan dalam industri perfilman dunia belum menyertakan perempuan dari kalangan etnis Afrika, Latin, dan Asia.
Oleh
ELSA EMIRIA LEBA
·4 menit baca
Sejak zaman keemasan Hollywood tahun 1913-1969, perempuan mulai mendapat tempat sebagai pemeran utama atau peran besar dalam film meskipun plot cerita menekankan perempuan lebih fokus pada masalah percintaan dan rumah tangga. Kini, jumlah pemeran utama dan variasi plot dalam film bagi perempuan menunjukkan progres yang menggembirakan.
Center for the Study of Women in Television and Film melalui artikel berjudul ”It’s a Man’s (Celluloid) World: Portrayals of Female Characters in the Top Grossing Films of 2019” melaporkan, kuantitas perempuan sebagai pemeran utama menunjukkan tren meningkat. Laporan yang dirilis pada tahun ini ditulis oleh Martha M Lauzen.
”Persentase film-film terlaris yang menampilkan tokoh protagonis perempuan pada 2019 naik mencapai rekor tertinggi dalam sejarah. Jumlahnya naik dari 31 persen pada 2018 menjadi 40 persen pada 2019,” tulis Lauzen, dikutip di Jakarta, Jumat (14/2/2020).
Persentase film-film terlaris yang menampilkan tokoh protagonis perempuan pada 2019 naik mencapai rekor tertinggi dalam sejarah. Jumlahnya naik dari 31 persen pada 2018 menjadi 40 persen pada 2019.
Sementara itu, persentase film terlaris yang menampilkan tokoh protagonis laki-laki sebesar 43 persen. Sebanyak 17 persen lainnya menampilkan kombinasi tokoh protagonis laki-laki dan perempuan.
Beberapa film ternama 2019 yang dianalisis dalam laporan Center for the Study of Women in Television and Film itu yakni Avengers: Endgame, Captain Marvel, Joker, dan Maleficent: Mistress of Evil.
Lauzen juga menyoroti adanya pengaruh atas keberadaan perempuan dalam produksi suatu film terhadap perekrutan pemeran perempuan. Sebuah film yang memiliki setidaknya satu sutradara dan/atau penulis perempuan akan lebih mungkin untuk mempekerjakan perempuan sebagai tokoh utama, tokoh penting, atau tokoh yang memiliki dialog. Hal sebaliknya akan terjadi apabila film itu tidak memiliki satu sutradara dan/atau penulis perempuan.
Dalam film dengan setidaknya seorang sutradara dan/atau penulis wanita, sebanyak 58 persen dari pemeran utama adalah perempuan. Sementara itu, peluang perempuan sebagai pemeran utama dalam film dengan sutradara dan/atau penulis pria saja hanya sebesar 30 persen.
Sejumlah pelaku industri telah menyampaikan kritik mengenai kurangnya representasi perempuan dalam industri perfilman. Yang terbaru, aktris Amerika Serikat, Natalie Portman (38), memakai mantel yang terukir nama delapan sutradara perempuan yang dianggap seharusnya masuk nominasi dalam benang emas ketika menghadiri Academy Awards ke-92 di Hollywood pada 9 Februari.
Pengamat film Rebecca Harrison mengingatkan, peningkatan jumlah pemeran utama perempuan dalam film harus ditelaah lebih jauh dari segi kualitas. Elemen utama yang harus dipertimbangkan adalah apakah perempuan direpresentasikan secara positif.
”Apakah mereka mati di akhir film, apakah mereka penyintas dari kekerasan seksual yang mengerikan, dan apakah mereka memiliki banyak dialog? Saya pikir pembahasan mengenai hal ini selalu tentang upaya menemukan keseimbangan antara merayakan hal yang positif, tetapi juga memastikan bahwa kita juga memperhatikan area untuk perbaikan,” kata Harrison.
Etnis pemeran perempuan
Sayangnya, kemajuan perempuan dalam industri perfilman dunia belum menyertakan perempuan dari kalangan etnis Afrika, Latin, Asia, dan etnis minoritas. Persentase perempuan kulit hitam dalam peran yang memiliki dialog justru berkurang menjadi 20 persen pada 2019 dari 21 persen pada 2018.
Sayangnya, kemajuan perempuan dalam industri perfilman dunia belum menyertakan perempuan dari kalangan etnis Afrika, Latin, Asia, dan etnis minoritas.
Fenomena serupa terjadi pada pemeran perempuan dari etnis lainnya. Persentase perempuan Asia dalam film malah menjadi 7 persen pada 2019 dari 10 persen pada 2018. Hanya persentase perempuan Latin yang naik tipis menjadi 5 persen pada 2019 dari 4 persen pada 2018.
”Satu argumen yang muncul adalah representasi di layar film akan meningkat ketika keragaman pelaku di belakang kamera juga meningkat. Jika lebih banyak perempuan kulit putih mendapatkan akses sebagai sutradara atau bagian produksi, itu hal yang bagus. Akan tetapi, hal itu tidak serta merta meningkatkan representasi perempuan dan laki-laki dengan kulit berwarna,” tutur Harrison.
Harrison melanjutkan, peningkatan keterwakilan perempuan dalam film merupakan hal yang bagus bagi aktris berkulit putih kenamaan, seperti Brie Larson, Angelina Jolie, Renee Zellweger, Scarlett Johansson, dan Margot Robbie. Namun, untuk perempuan kulit berwarna, representasi mereka masih buruk. Dengan kata lain, isu terkait interseksionalitas, atau penindasan dari hasil titik temu diskriminasi yang saling berkaitan, masih ada.
Harrison sepakat, masih besarnya dominasi pemeran berkulit putih terjadi karena studio-studio besar hanya merekrut pemain menggunakan cara korporatisasi. Mereka hanya menggunakan pemeran kulit putih dengan wajah akrab dan menjual demi meningkatkan box office.
”Adalah peran bagi kritikus film untuk melanjutkan dan mempertahankan produser film independen tetap bertanggung jawab terkait isu keberagaman agar tetap mendukung perubahan yang positif. Secara historis, film independen merupakan ruang bagi perempuan untuk memiliki akses yang lebih baik,” tutur Harrison. (BBC)