Mulai Pekan Depan, Film Pengingat Kasus 1998 Tayang di Bioskop
Film dokumenter tentang keluarga korban penghilangan orang secara paksa 1997/1998, ”Nyanyian Akar Rumput”, diharapkan menjadi pengingat bagi pemerintah yang berjanji akan mencari keberadaan para korban tersebut.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Film dokumenter tentang keluarga korban penghilangan orang secara paksa 1997/1998, Nyanyian Akar Rumput, akan tayang di bioskop pada 16 Januari 2020. Film ini diharapkan menjadi pengingat bagi pemerintah yang berjanji akan mencari keberadaan para korban tersebut.
Secara spesifik, film tersebut bercerita tentang kehidupan Fajar Merah selepas kehilangan ayahnya, Wiji Thukul, menjelang masa reformasi 1998. Thukul adalah penyair dan aktivis yang vokal menentang Orde Baru. Ia juga merupakan pimpinan Jaringan Kerja Kesenian Rakyat (Jakker) dan Partai Rakyat Demokratik di masa lalu. Ia dikenal, antara lain, dengan puisi berjudul ”Bunga dan Tembok” serta kalimat, ”Hanya ada satu kata: lawan!”
Kehilangan Thukul menyisakan tanya, kegelisahan, dan luka bagi keluarga. Status hidup-matinya pun belum jelas hingga kini. Selain Thukul, ada 12 aktivis lain yang dinyatakan hilang.
”Saya hanya penasaran dan ingin mengenal (Thukul). Orang lain yang orangtuanya sudah meninggal bisa mengunjungi makamnya, tapi saya mau ke mana? Ya sudah, saya di rumah saja,” kata Fajar, di Jakarta, Kamis (9/1/2020).
Kehilangan tersebut digugat oleh Fajar Merah melalui musik. Ia dan grup band Merah Bercerita menggubah puisi-puisi Thukul menjadi nyanyian, salah satunya ialah ”Bunga dan Tembok”.
Ia mengatakan, musik merupakan salah satu cara mengenal sosok Thukul yang ia lihat terakhir kali pada usia lima tahun. Ini juga caranya menolak lupa terhadap kasus penghilangan orang, tetapi dengan cara yang menyenangkan.
Menurut sutradara Nyanyian Akar Rumput, Yuda Kurniawan, film ini penting sebagai pengingat terhadap janji pemerintah. Sebelumnya, Presiden Joko Widodo pernah berjanji untuk mencari keberadaan Wiji Thukul pada masa kampanye Pemilihan Presiden 2014.
”Saya ingin membuat film dokumenter musik yang juga bicara soal pelanggaran HAM dan penghilangan orang secara paksa. Tapi, cerita ini dibuat dari sudut pandang korban, yaitu Fajar dan Thukul. Melalui film, saya harap anak muda tahu akan isu ini,” kata Yuda.
Film tersebut tersedia di jaringan bioskop XXI dan CGV terhitung pada 16 Januari 2020. Film itu akan tayang di Jakarta, Yogyakarta, Solo, Surabaya, Malang, Palembang, Makassar, Medan, Bandung, dan Purwakarta.
Presiden diundang
Yuda mengatakan, Presiden Joko Widodo akan diundang untuk menonton film tersebut. Undangan akan disampaikan hari ini melalui Kantor Staf Presiden.
”Di film ini ada beliau (Joko Widodo), Prabowo Subianto, dan juga janji-janji kampanye 2014. Saya harap beliau akan menonton ini. Kami akan ada di bioskop untuk menemani beliau menonton,” kata Yuda.
Ketua Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI) Wanmayetty mengatakan, pemerintah perlu memberikan kejelasan tentang keberadaan para orang yang hilang. Sebab, keluarga korban masih menanti kabar itu hingga sekarang.
Komisioner Pemantauan dan Penyelidikan Komisi Nasional (Komnas) Hak Asasi Manusia (HAM), Amiruddin, menambahkan, Komnas HAM siap mendukung langkah Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD dalam menyelesaikan kasus ini.
”Gagasan untuk kelanjutan kasus ini belum ada. Kami masih menunggu gagasan dari Menko Polhukam. Saya harap film ini bisa mendorong pemerintah untuk menyusun langkah yang hendak diambil,” kata Amiruddin.
Sebelumnya, 13 Desember 2019, Menko Polhukam Mahfud MD telah mengundang Komnas HAM dan Jaksa Agung ST Burhanuddin untuk membahas penyelesaian 11 kasus HAM berat masa lalu. Salah satunya, kasus penculikan dan penghilangan orang secara paksa 1997/1998.
Sepuluh kasus lainnya, peristiwa 1965-1966, penembakan misterius (1982-1986), pembantaian Talangsari di Lampung (1989), tragedi rumoh geudog di Aceh (1989-1998), penembakan mahasiswa Trisakti (1998), tragedi Semanggi I dan II (1998-1999), tragedi simpang kertas Kraft Aceh (1999), peristiwa Wasior di Papua (2001), kasus Wamena di Papua (2003), dan tragedi Jambu Keupok di Aceh (2003).
Saat itu, Mahfud mengungkapkan, penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu merupakan salah satu prioritas Presiden Joko Widodo. Terkait dengan hal itu, pihaknya telah bertemu dan berbicara dengan pemangku kepentingan terkait, seperti Jaksa Agung, Komnas HAM, dan kelompok masyarakat sipil. Bahkan, Mahfud menegaskan, pemerintah juga telah berkomunikasi dengan para korban.
Berdasarkan komunikasi dan koordinasi itu, pemerintah telah menyusun skema penyelesaian kasus HAM berat masa lalu tersebut. Hal itu berpedoman pada asas penegakan dan perlindungan HAM.
”Mari kita akhiri pembahasan yang tidak ada ujungnya terkait pelanggaran HAM berat masa lalu. Arah yudisial jalan dan jalur nonyudisial juga jalan karena ada penyelesaian secara politik,” ujar Mahfud.