Delapan pianis asal Surabaya lulusan kampus mancanegara dan beberapa di antaranya mengajar dan melanjutkan studi di AS, Kanada, Australia mengadakan konser IND-Universe Piano Collaboration Concert. Dua komposisi yang disuguhkan dari 13 lagu merupakan ciptaan Lifia Teguh, pianis dan komposer asal Surabaya yang saat ini belajar dan mengajar piano di AS.
Oleh
AMBROSIUS HARTO
·4 menit baca
Komposisi ketiga belas, ”Mosaik Khatulistiwa”, menutup pergelaran IND-Universe Piano Collaboration Concert, Sabtu (10/8/2019) malam, di Gedung Cak Durasim, Taman Budaya Jawa Timur, Surabaya.
Repertoar karya pianis dan komposer Lifia Teguh ini dimainkan oleh delapan pianis asal Surabaya, termasuk penciptanya. Musiknya turut menggabungkan cukilan komposisi atau medley, antara lain, ”Manuk Dadali”, ”O Ina Ni Keke”, ”Cublak-Cublak Suweng”, ”Ampar-ampar Pisang”, ”Yamko Rambe Yamko”, ”Tanah Air”, dan ”Zamrud Khatulistiwa”.
Lifia, mahasiswa pascasarjana sekaligus dosen musik di Portland State University, Amerika Serikat, juga membawakan komposisi lain ciptaannya. Lagu dimaksud berjudul ”A Traveler’s Journey (Perjalanan Anak Rantau)” dan dimainkan pada urutan kedelapan sekaligus mengakhiri babak pertama pertunjukan. Di sini, Lifia mendentingkan piano dibantu dengan tiga pebiola, seorang peselo, dan seorang penabuh perkusi.
Kedua komposisi itu merupakan nomor baru di antara 13 lagu yang dipersembahkan di hadapan lebih dari 500 penonton malam itu. Konser itu pada prinsipnya memang pergelaran ansambel musik klasik. Tujuannya, lebih memasyarakatkan genre ini yang dianggap kurang populer dibandingkan dengan pop, jazz, rock. Memotivasi pemusik muda untuk belajar dan turut mengembangkan klasik. Memanggungkan konser yang berkualitas dan bahwa Indonesia, khususnya Surabaya, punya pemusik yang tak kalah dengan penampil klasik mancanegara.
Tujuh pianis seperti Lifia merupakan lulusan kampus dan beberapa di antaranya melanjutkan studi khusus piano performance di mancanegara (AS, Kanada, atau Australia).
Mereka semua adalah arek Suroboyo alias putra putri yang lahir dan tumbuh di Surabaya. Minat pada piano membawa mereka ke mancanegara untuk berguru pada musisi atau komposer dunia.
Berturut-turut sesuai dengan urutan tampil ialah Ayunia Saputro dengan ”Prelude Op 23 No 2&4” karya Rachmaninoff. Berikutnya ialah Jeneffer Widjaja dengan ”Pagodes from Estampes” karya Debussy.
Ketiga ialah Melivia Raharjo berduet dengan pebiola Naomi Gabriela membawakan ”Sonata in A major (4th movt)” untuk piano dan biola karya C Franck.
Albert Oenaryo tampil dengan komposisi legendaris ”Sonata op 57 Appassionata 3rd movt” karya Beethoven. Gillian Gani melanjutkan dengan repertoar spiritual ”Legends no. 2 St. Francis Walks on Water” karya F Liszt. Jesslyn Gunawan berduet dengan peselo Lita Tandiono menyuguhkan ”Fantasiestucke op 73” untuk selo dan piano karya Schumann.
Mahasiswa doktoral musical arts University of Miami, Kevin Rahardjo membawakan cukilan karya Godowsky yang melegenda yakni ”Java Suite” terutama ”No.V Borobudur in Moonlight” dan ”No.VI The Bromo Volcano and The Sand Sea at The Day Break”.
Pada babak kedua, duet pianis Jeneffer dan Melivia menghadirkan ”Sonata K.448 (1st movt)” karya Mozart. Selanjutnya, duet Albert dan Gillian membawakan ”Nutcracker-Suite” karya Tchaikovsky. Yang berikutnya, nomor amat populer yakni ”Spring (1st movt)” dan ”Winter (1st movt)” dari Four Season untuk empat piano karya Vivaldi yang diaransemen ulang oleh komposer Yoanita Kartadihardja. Komposisi ini dimainkan oleh Ayunia, Jesslyn, Lifia, dan Kevin.
Komposisi hasil aransemen Yoanita lainnya kemudian dipanggungkan lagi dengan formasi okta pianis membawakan ”The Can Can” untuk empat piano karya Offenbach. Formasi serupa membawakan Mosaik Khatulistiwa menutup rangkaian repertoar yang berlangsung apik dan resik itu.
Khusus untuk ”Mosaik Khatulistiwa”, saat dibawakan, dua pianis menepukkan tangan sementara enam lainnya tetap bermain. Penonton ikut bertepuk tangan dan mengentakkan kaki. Di tengah lagu, mereka juga menjentikkan jari. Komposisi ditutup dengan tepuk tangan dan teriakan, Hey!
Catatan tetapi minor, di tengah pergelaran, suara gemerisik dari tata suara sempat terdengar, tetapi tidak mengganggu. Seekor kucing sempat melintas di panggung dua kali sehingga mengundang penonton bergumam. Namun, secara umum, konser itu bagus dan memukau.
Perdana
Menurut Lifia, dua komposisi ciptaannya baru pertama kali ditampilkan ke publik dalam konser itu. Ia dan kawan-kawannya sengaja memilih tanah kelahiran, yakni Surabaya, sebagai tempat perdana mengenalkan ”A Traveler’s Journey” dan ”Mosaik Khatulistiwa”.
”Karena kami dari Surabaya dan tetap mencintai kota ini,” kata Lifia yang juga Ketua Persatuan Mahasiswa Indonesia di AS (Permias) Portland dalam wawancara terpisah pada Senin (12/8).
Mosaik Khatulistiwa, ujar Lifia, merupakan persembahan sekaligus kekagumannya terhadap kebudayaan Nusantara. Indonesia oleh rakyatnya yang berada di mana pun akan selalu diingat dan dibanggakan. Indonesia teramat kaya seperti semesta sehingga konser menggunakan adagium IND-Universe atau Indonesia Universe.
Guru piano sekaligus panitia konser, Juliana Njoviana, seusai pergelaran mengatakan, permainan delapan pianis sudah pernah dilihatnya di mancanegara. Namun, di Indonesia mungkin belum pernah terjadi. ”Mereka muda dan hebat-hebat kenapa tidak mencobanya di sini,” katanya.
Konser ini sudah digagas sejak setahun lalu. Persiapannya berlangsung delapan bulan terakhir. Tantangan terberat memang memainkan komposisi dengan formasi okta pianis. Sebab, antarpianis perlu menyamakan persepsi.
”Rumit, tetapi hasilnya amat luar biasa,” kata Juliana yang telah lebih 15 tahun mengajarkan piano.