May, Alegori Memilukan
Bulan Mei membawa pada ingatan yang amat memilukan bagi sebagian orang di negeri ini. Tentang keluarga yang (di)hilang(kan), tewas, hingga diperkosa. Film 27 Steps of May, yang menjadi alegori tentang peristiwa Mei 1998, memotret kisah pergulatan luka batin korban pemerkosaan dengan begitu subtil, liris, sekaligus menyesakkan.
Sewindu bukan waktu yang singkat. Namun, selama itu jerat trauma yang dialami May (Raihaanun) belum bisa lepas. Kekerasan seksual yang dihadapinya di usia 14 tahun meninggalkan luka batin yang amat mendalam. May remaja pun mulai menarik diri dari kehidupan, menjalani rutinitas tanpa koneksi, emosi, dan kata-kata.
Tidak banyak dialog yang muncul dalam film 27 Steps of May. Rutinitas harian lebih banyak ditampilkan. Rutinitas May yang setiap hari diisi dengan membuat boneka untuk kemudian dijual ayahnya (Lukman Sardi). Rutinitas May saat menyetrika bajunya, merapikan rambutnya, berolahraga lompat tali, hingga ritual makan bersama Ayah. Bahkan, pilihan menu makanan May pun selalu sama.
Dari rutinitas itulah trauma korban kekerasan seksual digambarkan secara mendalam, tak berkesudahan. Rutinitas yang terukur dan terprediksi ini menjadi mekanisme May untuk bertahan hidup setelah peristiwa kelam yang dialaminya.
Selama delapan tahun penuh, May menjalani rutinitas itu di dalam rumah yang sebatas di kamar tidur dan ruang makan saja. Perubahan kecil yang terjadi justru bisa mengakibatkan kepanikan mengerikan pada diri May.
Meski sebagian besar adalah adegan rutinitas, alur cerita tidak membosankan. Justru lewat rutinitas itulah penonton diizinkan melongok satu per satu makna di baliknya dan memahami fragmen-fragmen trauma yang dihadapi May. Bagai mengupas lapis-lapis umbi bawang yang lama-lama membikin mata berair. Raihaanun memerankannya secara apik, melalui gerak tubuh dan ekspresi.
Sang ayah pun ditampilkan sebagai sosok yang sabar di rumah, meski akhirnya emosinya ditumpahkan di luar rumah sebagai petinju. Film ini tak hanya memotret pergulatan korban kekerasan seksual, tetapi juga dengan cukup intens mengeksplorasi kepiluan emosi pihak keluarga korban, dalam hal ini sosok Ayah, yang juga sebenarnya juga terluka batin.
Pukulan yang dilakukan Ayah di ring tinju merupakan luapan emosi dan amarah karena kegagalannya dalam melindungi putrinya dari kekerasan seksual. Ia pun terus melakoni bertinju, mulai dari tinju amatir sampai pertarungan bebas yang ilegal.
Daya dukung
Film dengan durasi 112 menit ini ingin menjelaskan bahwa pembebasan trauma yang dialami oleh korban kekerasan seksual sangat bergantung pada daya dukung lingkungannya. Setiap tokoh yang ditampilkan memiliki peran yang strategis.
Ayah yang sabar dan setia mendampingi anaknya. Kurir boneka yang hadir untuk memberikan semangat kepada Ayah agar terus berharap dan berupaya. Juga, aksi pesulap (Ario Bayu) yang kerap May intip dari lubang di dinding kamarnya, yang mampu memercikkan sedikit kebahagiaan May.
Film ini cukup apik memainkan simbol-simbol yang relevan dengan gagasan cerita, mengingatkan pada film-film Jepang yang liris. Mulai dari pilihan makanan yang berwarna serba pucat, rancangan boneka bikinan May, sampai lubang di dinding kamar yang ukurannya lama-lama membesar, mampu menghantarkan makna.
Lubang inilah yang bisa menjadi perwujudan keterbukaan hati May yang semakin lama semakin besar. May seolah menemukan jalan terapi mentalnya sendiri setelah delapan tahun terpuruk.
”Pada akhirnya, pahlawan yang ada di film ini ya May itu sendiri. Meski, dukungan dari lingkungan sekitarnya sangat berpengaruh hingga May berani membebaskan diri dalam trauma masa lalunya,” ujar Rayya Makarim yang menjadi penulis naskah film ini.
Alegori Mei 1998
Film ini pertama kali diputar di Busan International Film Festival pada Oktober 2018. Setelah itu, film ini kembali diputar di beberapa festival film internasional, seperti Cape Town International Film Market and Festival dan Bengaluru International Film Festival.
Film panjang ketiga yang disutradarai Ravi Bharwani ini juga telah mendapatkan sejumlah penghargaan, seperti film terbaik kategori film panjang Asia terbaik di Jogja-Netpac Asian Film Festival (2018).
Dalam ajang Festival Tempo 2018, film ini juga mendapatkan dua penghargaan, yakni penulis skenario pilihan Tempo untuk Rayya dan aktris pilihan Tempo untuk Raihaanun.
”Awalnya 27 Steps of May terinspirasi dari peristiwa kekerasan seksual yang banyak dialami perempuan dalam Mei 1998. Film ini menjadi alegori (cerita untuk menggambarkan nilai kehidupan) dari apa yang terjadi pada saat itu,” kata Rayya.
Bagaimanapun, kisah yang dialami May adalah masalah universal. Siapa saja bisa mengalami, baik sebagai korban, keluarga, masyarakat sekitar, bahkan pelaku. Sayangnya, belum banyak perhatian diberikan pada isu kekerasan seksual di Indonesia.
Untuk itu, Rayya dan Ravi akhirnya bersepakat membuat film ini tidak memuat unsur politis, tetapi lebih personal. Dampak sosial pun diharapkan bisa lebih berkesan bagi penontonnya.
Raihaanun mengatakan, konflik batin sungguh ia rasakan ketika berperan sebagai May dalam film ini. Butuh waktu yang lama hingga akhirnya ia bisa melepaskan sosok May dalam dirinya
”Yang jelas, sakit yang dirasakan May bukan kesakitan yang sederhana. Setiap detail yang dialami May dalam film ini bisa saja menggambarkan konflik yang dialami setiap orang yang pernah mengalami kekerasan seksual,” ujarnya.
Jerat luka batin yang begitu kuat juga trauma yang mendalam membutuhkan waktu lama bagi korban untuk terbebaskan. Tak hanya harus bisa menerima diri sendiri, tetapi juga meyakinkan keluarga serta lingkungannya bahwa kehidupan harus berlanjut.
Semua orang di muka bumi ini tentu memikul masalahnya sendiri-sendiri. Namun, jangan pernah melontarkan ucapan keji—seperti bos dari tokoh Ayah—yang menyebut trauma kekerasan seksual sebagai masalah basi. (SF)