Pertemuan Beragam Dimensi
Teknologi efek film makin canggih, kisah-kisah pahlawan super pun kian subur diangkat ke layar lebar. Publik terus dijejali film-film semacam itu, tetapi dahaga mereka seakan tak pernah terpuaskan.
Film Spider-Man: Into the Spider-Verse bisa menjadi oase pada liburan kali ini. Sejak kesuksesan trilogi Spider-Man yang dimulai lebih dari 15 tahun lalu, film manusia laba-laba itu selalu sukses mereguk laba. Film Spider-Man dibuat berkali-kali dengan dengan tiga bintang berbeda, Tobey Maguire, Andrew Garfield, dan Tom Holland.
Teknik grafis mutakhir menjadikan adegan-adegan spektakuler tak lagi jadi penghalang bagi para kreator film fantasi untuk mewujudkan impiannya. Tak ada yang mustahil. Maka, quo vadis, mau dibawa ke mana Spider-Man dengan film terbarunya ini?
Spider-Man bak berada di persimpangan jalan. Persimpangan itulah yang digambarkan dalam Spider-Man: Into the Spider-Verse. Film ini menyuguhkan dunia yang mempertemukan enam Spider-Man dari dimensi berlainan.
Film animasi ini diawali penjelasan singkat soal Spider-Man. Sudah 10 tahun terakhir Peter Parker (diisi suara oleh Chris Pine), alter ego Spider-Man, membasmi kejahatan. ”Aku digigit laba-laba radioaktif lalu punya kekuatan super. Kuselamatkan kota ini, lagi... lagi... dan lagi...,” ujarnya.
Di sudut lain, Miles Morales (Shameik Moore), seorang remaja tanggung, jenuh belajar di Vision Academy, Brooklyn, New York, Amerika Serikat. Sekolah itu pilihan ayah Miles, Jefferson Davis (Brian Tyree Henry). Miles malah lebih suka mencorat-coret buku, membuat tulisan seni atau grafiti. Alhasil, nilai pelajaran Miles hancur-hancuran.
Layaknya Peter Parker, Miles pun terjangkit bisa laba-laba. Seusai menorehkan grafiti di lorong kereta api bawah tanah, racun serangga itu menyeruak dalam nadi Miles. Peter Parker dalam film Spider-Man (2002) berujar, ”Menjadi Spider-Man adalah berkahku... (tetapi juga) musibahku.”
Demikian pula Miles yang tak bisa mengendalikan kekuatan supernya. Dia termangu-mangu memikirkan rangkaian kekacauan yang terjadi karena jemarinya tak henti melekat pada dinding dan atap bangunan. Miles pun kembali ke lorong kereta bawah tanah dan menemukan bangkai laba-laba yang menggigitnya.
Saat itulah Miles jadi saksi kekejian Kingpin (Liev Schreiber), bos mafia yang membunuh Spider-Man. Kingpin memicu huru-hara dengan mesinnya yang membuka pintu ke sejumlah dunia paralel lain.
Miles lantas bertemu Peter B Parker (Jake Johnson), Spider-Man lain dari dunia paralel berbeda. Sosok itu, sama seperti Peter Parker yang dikenal jenaka dan ngocol. Bedanya, Peter B Parker sudah menua dan berperut buncit.
Ulah Kingpin juga menyebabkan empat Spider-Man lain bermunculan dari dunia paralel masing-masing: Spider-Woman (Hailee Steinfeld), Spider-Man Noir (Nicolas Cage), Spider-Ham (John Mulaney), dan Peni Parker (Kimiko Glenn).
Mereka harus kembali ke jagat masing-masing, karena metabolismenya tak cocok dengan dunia yang dihuni Miles. Jika tidak, lambat laun Peter B Parker, Spider-Woman, Spider-Man Noir, Spider-Ham, dan Peni Parker akan mati.
Selain Kingpin, Miles dan sahabat-sahabatnya juga menghadapi tiga musuh tangguh lain. Doctor Octopus (Kathryn Hahn), Prowler (Mahershala Ali), dan Tombstone (Marvin Jones III) selalu merintangi para pembasmi kejahatan menghentikan ambisi Kingpin.
Para penonton Spider-Man: Into the Spider-Verse sudah pasti disuguhi adegan khas tokoh rekaan mendiang komikus legendaris Stan Lee itu. Jagoan-jagoan dengan kostum bermotif jaring asyik berayun di tengah belantara pencakar langit. Temali yang ditembakkan dari ujung lengan mendahului aksi mereka berjumpalitan di atas kepadatan lalu lintas New York.
Tak lupa, figur Stan Lee juga dimunculkan sebagai cameo, tentu saja dalam bentuk kartun.
Bob Persichetti, salah satu dari tiga sutradara Spider-Man: Into the Spider-Verse, saat diwawancarai situs film Collider mengatakan, pihaknya melibatkan 142 animator. ”Itu jumlah animator paling besar yang pernah dipekerjakan Sony (Sony Pictures Animation) untuk membuat sebuah film,” ucapnya.
Gabungan gaya
Hasil kesungguhan para animator itu yakni film dengan gabungan animasi yang khas. Miles dan panorama dunianya ditampilkan dengan warna-warni komik Marvel, termasuk beragam gradasi yang memikat. Saat menyaksikan Spider-Man: Into the Spider-Verse, para penonton pun menikmati panel-panel komik bergerak.
Sementara Peni Parker, Spider-Man berdarah Jepang, disajikan sebagai sosok kartun dengan keunikan manga. Lain lagi dengan Spider-Man Noir, figur hitam dan putih dengan titik-titik kecil serupa dot matrix, serta babi kecil Spider-Ham yang mengingatkan akan gaya gambar tokoh kartun tahun 1980-an.
Kerja keras para kru Spider-Man: Into the Spider-Verse juga diganjar nominasi penghargaan Golden Globe 2019 dan Critics’ Choice ke-24, masing-masing untuk kategori film animasi terbaik. Beberapa situs web hiburan dunia bahkan menyebutkan, Sony Pictures Animation sudah memikirkan untuk membuat sekuel dan spin-off karena hangatnya sambutan khalayak terhadap film tersebut.
Film itu tak sekadar mengisahkan baku hantam antara penjahat dan pembela kebenaran. Tak melulu pula memanggungkan para pemanjat dinding dengan kehebatan akrobatik dan kekuatan supernya. Lebih dari itu, Spider-Man: Into the Spider-Verse menekankan kesetiakawanan mereka menghadapi Kingpin dan para begundalnya.
Pelajaran lain yang bisa dipetik adalah bangkitnya Miles dari keputusasaan. Miles sempat dipandang sebelah mata karena tak bisa mengeluarkan kemampuannya untuk menghilang dan melumpuhkan musuh dengan sengatan listrik. Apa lagi saat Miles mendapati bahwa paman yang sangat disayanginya, Aaron Davis, adalah anak buah Kingpin.
”Apa yang menunjukkan kau seorang Spider-Man? Kau berkali-kali jatuh, tapi sanggup berdiri lagi,” ujar Peter B Parker. Ucapan pria paruh baya yang terlihat cuek tetapi sebenarnya peduli itu menyemangati Miles untuk ikut membekuk Kingpin.
Spider-Man: Into the Spider-Verse dibumbui humor slapstick yang sedikit klise. Namun, musik hip hop dan pop kekinian mampu mendeskripsikan sosok dan kehidupan Miles menjadi keunggulan.
Dwi Bayu Radius