Akhir Tragis Figur Sakti
”Batara Yamadipati bergeming tatkala Dewi Madrim memintanya menunda ajal Pandu. Suratan takdir telah ditetapkan.”
Pandu Dewanata, putra kedua Begawan Abiyasa, dalam jagat pewayangan dikenal sebagai ayah kelima ksatria Pandawa yang sakti. Saat menjadi raja setelah ayahnya ingin menjalani kehidupan sebagai pertapa, Pandu sukses menjalankan misinya sebagai raja.
Wilayah Hastinapura jadi lebih luas, dan beberapa kali menolong Kahyangan saat diserbu raja-raja sakti yang menginginkan bidadari untuk dijadikan sebagai istri.
Namun, Pandu—yang memenangi sayembara pilih di Kerajaan Mandura dan mendapatkan putri kerajaan Dewi Kunti, kemudian juga mendapatkan Dewi Madrim, adik ksatria Mandaraka Narasoma yang juga bisa ia kalahkan—memiliki kelemahan dan kesalahan.
Besarnya cinta kepada istri membuat Pandu mudah mengiyakan permintaan Dewi Madrim yang lebay, misalnya meminjam Lembu Andini, hewan tunggangan dewa super Batara Guru, untuk sekadar bersenang-senang di angkasa.
Batara Guru merasa Pandu sudah berlebihan, dan menjatuhkan kutukan, yaitu kalau Pandu selalu menuruti permintaan istri yang aneh-aneh tersebut, hal itulah yang akan menjadi penyebab kematiannya.
Rupanya takdir telah digariskan. Pandu tak bisa menolak ketika Madrim memintanya menangkap sepasang kijang yang tengah memadu kasih. Padahal ternyata sepasang kijang itu adalah Resi Kimindama dan pasangannya, Kimindami.
Sang Resi bertanya, ”Apa salah kami berdua? Mengapa Paduka Raja membunuh kami yang sedang menjalankan kewajiban alam memperbanyak keturunan?” Pandu berargumen, ”Tidak ada salahnya pemburu membunuh binatang buruan di hutan.” Sang Resi melanjutkan, ”Memang benar, tetapi ada hukum alam yang lebih tinggi bahwa setiap makhluk yang sedang memadu kasih dengan pasangannya sama tinggi nilai kesuciannya dengan seorang pertapa yang sedang bersemedi.”
Sang Resi pun menjatuhkan kutukan bahwa jika Pandu melakukan kewajiban sebagai seorang suami terhadap istrinya, ajalnya pun datang (Ensiklopedi Wayang Indonesia).
Takdir
Pandu, raja sakti berwajah pucat—”Pandu” dalam bahasa Sansekerta berarti pucat—tak bisa mengelak dari takdirnya. Dalam satu versi, ia gugur bersama Prabu Tremboko saat raja raksasa ini menuntut balas.
Dalam versi yang ditampilkan oleh LPP RRI Surakarta bekerja sama dengan Griya Budaya Titah Nareswari Surakarta di Gedung Pewayangan, TMII, Jakarta, 25 November silam, Pandu gugur saat mengajarkan Aji Sastrajendra kepada Prabu Kala Tremboko dan Prabu Drupada.
Menurut penjelasan Ali Marsudi, pemeran Pandu, Tremboko rupanya tidak kuat menerima ajian tersebut. Pandu lalu menghentikan pelajarannya, tetapi Tremboko marah.
Oleh kesaktian Sastrajendra, Tremboko tewas, tetapi Pandu juga terkena racun di gigi taring Tremboko yang juga menjadi penyebab tewasnya.
Apa pun versi yang dianut, akhir tragis riwayat Pandu tak dapat dielakkan. Dewi Madrim membuktikan kesetiaannya dengan ikut bela pati, mengiringi suami dalam kematian.
Sementara Dewi Kunti mendapat amanat untuk mengasuh kelima putra Pandawa yang dipersiapkan untuk menjadi pemimpin masa depan.
Riwayat Pandu berakhir dengan tragis, dan oleh seniman Surakarta berhasil ditampilkan dengan apik dan menimbulkan kesan sumedot (trenyuh dan penuh iba).
Namun, sekadar menulis ”berakhir tragis” saja rupanya jauh dari mencukupi (understatement), mengingat akhir Pandu justru awal dari rentetan bencana yang terjadi kemudian. Inilah kisah yang menjadi standar alur Mahabharata, epik yang banyak diyakini ditulis Empu Viyasa.
Dalam kisah itu, kelima anak Pandu yang lalu dibesarkan oleh Dewi Kunti harus menyusuri kehidupan penuh derita setelah saudara tua Pandu—Destarastra—yang dititipi kekuasaan tak bisa mengendalikan anak-anaknya, para Kurawa, yang haus kuasa setelah dididik secara keliru oleh Sangkuni, ipar Destarastra yang menjadi Patih Hastina.
Berbagai tipu daya licik dipraktikkan, dan ketika solusi damai tak bisa diwujudkan, konflik pun berujung pada perang besar yang menghabiskan Kurawa di medan laga Kurusetra.
Agenda TWI
Lakon Pandu yang dipentaskan Teater Wayang Indonesia (TWI) menandai terus menggeliatnya wayang orang di Indonesia. Setelah ditetapkan UNESCO sebagai warisan dunia tak benda pada 7 November 2003, wayang harus mampu melestarikan diri di tengah tantangan zaman yang membuat wayang hidup dalam bayang-bayang seni modern yang lebih penuh gebyar.
Bersama-sama dengan Wayang Orang (WO) Bharata di Jakarta, WO Sriwedari di Surakarta, dan WO Ngesti Pandawa di Semarang, kelompok-kelompok pelestari wayang memperlihatkan keuletan untuk tetap eksis meski seperti diakui Ali Marsudi, kiprahnya untuk mementaskan wayang harus disertai ”ider tampah” (mengedarkan proposal) untuk mendapatkan dukungan dana.
Fakta itu rupanya tak menyurutkan semangat untuk terus menghadirkan wayang ke tengah-tengah masyarakat. Selain untuk memberi hiburan, wayang juga ikut memberi ”tuntunan” (petunjuk) tentang bagaimana kehidupan yang baik harus dijalani, dan apa akibat perbuatan buruk.
Kabar disetujuinya tanggal 7 November sebagai Hari Wayang tentunya akan lebih membesarkan hati para seniman wayang yang banyak di antaranya masih harus berjuang untuk bisa hidup sejahtera.