Pemetaan Teater
Pekan Teater Nasional 2018 tak lain merupakan wadah pemetaan teater nasional dalam mencari generasi baru. Pemetaan ini sekaligus untuk meneropong kemungkinan pemain teater dapat menghidupi diri dari pemanggungan.
Laki-laki yang hanya memakai celana itu menutup kepalanya dengan karung. Dia memijat seorang berjas rapi dan bertopeng yang terus-terusan tertawa seolah mengejek pria tadi.
Dalam adegan lain, pria berjas perlente tadi membagi-bagikan topeng kepada para pria-pria lusuh. Mereka memakainya, lalu bergembira ria, seperti bocah-bocah mendapat kembang gula.
Sejatinya, mereka serupa dengan pria-pria yang hanya memakai celana dan bertelanjang dada tadi.
Dua adegan tadi merupakan potongan dari lakon Tui di Titik Koordinat Entah persembahan kelompok teater Sakata dari Padang Panjang, Sumatera Barat. ”Lakon ini tercipta dari kasus yang terjadi di Bukit Tui,” kata Tya Setiawati, sang sutradara.
Tui di Titik Koordinat Entah merupakan satu dari 16 lakon yang dimainkan para kelompok teater dari sejumlah kota dalam Pekan Teater Nasional 2018.
Acara yang digelar Subdit Seni Pertunjukan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan bekerja sama dengan Dewan Kesenian Jakarta ini berlangsung 7-14 Oktober 2018.
Lakon Tui di Titik Koordinat Entah bercerita tentang konflik tambang antara warga sekitar dan pemilik modal. Seperti menjadi cerita klasik di banyak tempat, warga lokal kalah dan tersingkir oleh mereka yang bermodal.
Tya lebih banyak mengeksplorasi tubuh sebagai cara berkomunikasi sehingga minim dialog. Cara ini relatif sering digunakan teater modern dalam memanggungkan karyanya.
Hal serupa dilakukan oleh kelompok Teater Polelea dari Sigi, Sulawesi Tengah. Lewat lakon Songi, mereka menjabarkan keresahan tentang nilai-nilai adat yang makin ditinggalkan sekaligus menyindir standar moralitas.
”Kadang, orang yang dianggap gila itu mempunyai rasa kemanusiaan lebih tinggi daripada yang waras,” kata Ais Mangala, sutradara.
Lakon ini bercerita tentang Songi, sebuah tradisi pada masyarakat Sigi, tentang bilik berukuran 1 meter x 0,5 meter, tempat orang introspeksi diri dan merenungi nilai-nilai kemanusiaan menjelang dewasa.
Di dalamnya, Ais menyelipkan adegan orang yang merindukan untuk dapat memiliki anak hingga sakit jiwa. Hingga suatu saat, dia menemukan dan merawat tiga bayi yang dibuang orangtuanya.
Baik Songi maupun Tui di Titik Koordinat Entah menggunakan musik ilustrasi, bahkan dialog dalam bahasa lokal. Bagi penonton yang menguasai
bahasa lokal Sigi atau Minang, dapat dengan mudah menemukan cantolan emosi adegan per adegan sehingga mudah masuk ke dalam cerita.
Seperti pada akhir lakon Songi, banyak penonton menitikkan air mata tatkala salah seorang pemain menyanyikan lagu daerah yang ternyata berkisah tentang hukuman seseorang yang harus dimutilasi karena melakukan kejahatan berat, seperti pembunuhan.
Kurator Pekan Teater Nasional (PTN) 2018 Benny Yohanes menjelaskan, generasi teater sekarang yang ikut Pekan Teater Nasional, secara eksplisit terpisah dengan isu teater modern yang sifat wacananya lebih sentralistik, misalnya wacananya dibangun di Jakarta.
Generasi ini tidak punya figur patron atau kiblat bagi orientasi estetika sehingga mereka melakukan pencarian pengetahuan melalui relasi yang lebih fragmental dengan tradisi. Tradisi dikenali lagi sebagai relasi eksistensial.
”Pencarian ini berdampak pada produksi pengetahuannya lebih domestik karena dibatasi dalam pemahaman persepsi mereka tentang budaya lokal masing-masing. Grup-grup ini membangun bahwa mereka ingin lebih dekat dengan latar belakang budaya penonton itu,” kata Benny.
Dramaturgi
Catatan lainnya, pementasan 16 kelompok teater dari sejumlah kota ini belum memperlihatkan penggarapan dramaturgi yang memadai. Masih banyak yang menggunakan dramaturgi bertutur meski kadang diselipi parodi gerak tubuh atau proverb.
Padahal, sebagaimana yang dikatakan Ketua Komite Teater Dewan Kesenian Jakarta Afrizal Malna, PTN 2018 juga sebagai ajang untuk memetakan produksi pengetahuan. Salah satunya adalah dengan mengidentifikasi dramaturgi.
Dramaturgi menjadi sentral karena di sanalah daya tarik penting sebuah lakon teater. Dramaturgi sebagai bahasa lain dari produksi pengetahuan ini harus sebangun dengan produksi estetika.
Dia secara kategoris membagi para kelompok teater peserta PTN ini menjadi tiga, yakni teater kota, teater kampus, dan teater komunitas. ”Tiga kategori di atas mencoba melihat posisi setiap grup teater sebagai semacam indikator kreativitas tiap-tiap grup teater tersebut dalam menentukan metode kerja kelompok, mengolah landasan konseptual karya, dan invensi estetik yang dikembangkan.
Tentu kategorisasi ini tidaklah fixed karena setiap grup dapat menggeser orientasi kreativitasnya sesuai dengan urgensi produksi teaternya,” kata Benny.
Dia menambahkan, teater komunitas tumbuh berdasarkan solidaritas anggota untuk memperkuat loyalitas grup. Teater kota memiliki kekhususan dalam mengolah diskursus teater.
Dengan kesadaran bahwa diskursus teater ditemukan melalui pengamatan atas fenomena kota, maka terbentuk kebutuhan untuk melakukan riset. Teater kampus berbasis pada aktivitas kampus dan diaktivasi oleh penggiat teater kampus.
Sementara itu, Afrizal mengingatkan, di Indonesia, teater masih sulit berkembang karena keterbatasan distribusi dan kesadaran. Biaya produksi yang demikian mahal tidak sebanding dengan perolehan ketika manggung.
Banyak teater yang berlatih tiga sampai empat bulan, tetapi hanya manggung sekali. Padahal, di luar negeri, satu lakon ada yang bisa terus manggung sampai 30 tahun dari satu kota ke kota lain.
Jika hal yang sama bisa terjadi di Indonesia, bukan saja akan terjadi keragaman wacana dan referensi dalam berteater, melainkan juga para pemain teater dapat hidup dari panggung. ”Sekarang bayangkan, Teater Koma saja sulit main di luar Jakarta,” kata Afrizal.
Untuk itu, PTN 2018 juga sedang mencari kemungkinan para pemain teater dapat manggung di banyak kota sehingga terjadi penyebaran dan peragaman wacana. Para peserta PTN juga dihitung sebagai bibit-bibit generasi baru setelah Teater Koma.