Estetika Para Pengajar
Suku bangsa, sejarah, antropologi, dan segala yang ada dalam napas masyarakat Nusantara tanpa penghalang mampu menjadi inspirasi kreativitas berkesenian. Eksplorasi tanpa batas menjadi kunci seorang seniman mampu mencipta karya.
Bahkan, setinggi apa pun dia sebagai seorang seniman, sekalipun berkecimpung di dunia akademik, harus bisa tampil memberi nuansa serta wacana baru. Karya beberapa dosen Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar membuktikannya dalam kemasan Festival of Indonesianity in the Arts (FIA), di ruang pamer Bentara Budaya Bali, 11-20 September 2018.
Meski tak banyak, pameran ini sanggup meneguhkan kata ”Indonesia” sebagai garda depan pemajuan seni di ISI Denpasar. Sebanyak 12 dosen mengetengahkan ragam estetika Indonesia dalam berbagai macam media, yaitu I Wayan Gulendra (seni lukis), AA Ngr Anom Mayun K Tenaya (desain mode), Ida Bagus Triwindu (desain komunikasi visual), I Kadek Dwi Noorwatha, Cokorda Istri Puspawati Nindhia, I Ketut Buda, I Nyoman Laba, Dyah Kustiyanti, Saptono, I Kadek Widnyana, I Gede Gunadi, dan I Gede Oka Surya Negara. Karya-karya disajikan, antara lain, berupa karya fotografi, busana, film dokumenter, tarian, dan tas.
Kun Adnyana selaku kurator FIA, Jumat (14/9/2018), mengapresiasi karya-karya akhir para dosen tersebut.
”Konsepnya sebagai peneguhan kata Indonesia, sesuai dengan nama yang melekat pada ISI. Artinya, ISI sebagai lembaga pendidikan tinggi seni mesti menjadi ruang penyemaian pemajuan kesenian Indonesia, baik itu bersifat pelindungan seni-seni tradisi Nusantara maupun seni inovatif dan kreasi baru yang terbangun oleh prinsip estetika lokal dan pengembangannya,” katanya.
Pameran FIA ini, menurut Kun, tepat dalam situasi dan kondisi politik yang tengah memanas di Nusantara ini. Tak hanya mampu membangkitkan rasa solidaritas dan kecintaan terhadap bangsa, kekayaan Nusantara mampu menjadi kekuatan inspirasi berkesenian.
Bahkan, kesenian baru yang muncul dari kekayaan budaya Nusantara itu justru semakin memperkuat dan menjadi wadah keberagaman langgam seni yang proses kreatifnya didasari penelitian lapangan. Sehingga lanjut Kun, berbagai khazanah seni tradisi dari berbagai suku bangsa di Indonesia menjadi sumber kreativitas yang luar biasa.
”Seperti isian acara FIA yang pertama ini mampu menghadirkan pewacanaan dan juga dari berbagai ekspresi seni, seperti wayang wong inovatif, tari Bedhaya dan komposisi gamelan Jawa yang dinamis,” ujarnya.
Warih Wisatsana dari Bentara Budaya Bali mengatakan, program FIA pertama yang digagas Lembaga Penelitian, Pengabdian Masyarakat dan Pengembangan Pendidikan (LP2MPP) ISI Denpasar merupakan terobosan perguruan tinggi seni yang mampu menempatkan platformsebagai pendidikan seninya. ”Pemajuan seni dapat menyeimbangkan antara upaya rekonstruksi seni tradisi, pelestarian seni masyarakat, dan juga loncatan kreatif yang berbasis keunikan hingga orisinalitas pribadi sang seniman,” katanya.
Apalagi, lanjut Warih, dinamika kultur Bali terus-menerus berwarna dengan adanya persinggungan arus globalisasi dan lokalitas. Bali, bagai berada di simpang pilihan antara mengikuti kemajuan Barat atau tetap berpegang pada nilai-nilai Timur. Sering kali masyarakat dikejutkan dengan hadirnya tindakan ekstrem dan aneka rupa gerakan yang seakan tercerabut dari akar kultur nilai filosofis setempat.
Kontekstual
Hadirnya gagasan berpameran FIA ini, Warih optimistis mampu merepresentasikan pendekatan kontekstual demi membangun kesadaran kini atas apa yang dimaksud dengan kelokalan, keglobalan, serta pergaulan lintas batas bangsa atau masyarakat. FIA diharapkan bisa membantu menimbang kembali makna globalitas dan kemajuan kemodernan berjalan seiring dengan nilai-nilai tradisi kelokalan. Tentu saja tanpa harus mengesampingkan satu dengan yang lainnya.
Seperti pada konsep ”Rasayatra: Eksplorasi Estetika Hindu Nawarasa sebagai Sarana Edukasi Psikologi pada Desain Interior Interactive Trick Art” karya I Kadek Dwi Noorwatha. Ia menampilkan ruang yang Merasakan Ruang dan Meruangkan Rasa. Perpaduan tren swafoto dengan teknologi tiga dimensi tanpa meninggalkan rasa estetika Hindu Nawarasa, misalnya: Shringara (cinta), Hasya (lucu), Karuna (sedih). Hal ini dapat diwujudkan dalam suatu ruang pariwisata dengan interior yang menggugah emosi para pengunjungnya.
Bagitu pula pada karya I Nyoman Laba dalam ”Penciptaan Tas Wanita dengan Memanfaatkan Kain Songket Bali sebagai Upaya Pengembangan Industri Kreatif di Bali”. Baginya, Bali merupakan daerah yang berpotensi dalam pengembangan berbagai produk kerajinan. Tas menjadi salah satu hal yang mampu mewakili perkembangan zaman, khususnya bagi perempuan.
Melalui tas dari pilihan bahan dan warna dapat mewakili status ekonomi pemakainya. Perkembangan ekonomi yang kreatif dan inovatif tenyata tidak meninggalkan kerajinan lokal. Kain-kain songket atau tenun tradisional makin berani menjadi bagian dari aksesori perempuan terutama tas. Karena itu, ia berharap produk tas menjadi salah satu yang dapat mengangkat nilai kain songket baik secara harfiah ataupun secara filosofinya.
Karena itu, Rektor ISI Denpasar I Gede Arya Sugiartha mengapresiasi atas keberanian mengemas tugas akhir ini menjadi festival. Ya, tentu saja, festival ini bagian dari introspeksi dan evaluasi kemampuan studi seni bergengsi di Indonesia. Sudahkah terus menjaga kreasi dan inovasi dari keragaman dan keberagaman Nusantara, Indonesia? (AYU SULISTYOWATI)