Nekara (gendang perunggu) yang dipercaya ditemukan tahun 1686 oleh petani disimpan di tempat khusus di Kelurahan Bontobangun, Kecamatan Bontoharu, Kabupaten Kepulauan Selayar, Sulawesi Selatan, Selasa (10/7/2018). Hasil penelitian akademisi China, nekara yang berfungsi sebagai alat komunikasi, politik, dan status sosial tersebut dibuat 300 tahun sebelum Masehi atau tertua kedua di dunia setelah nekara di China.
Bagi peminat sejarah, tak lengkap bila belum ke Kabupaten Kepulauan Selayar di Sulawesi Selatan. Di sanalah rumah nekara berumur ribuan tahun, yang disebut buatan 300 atau 600 tahun sebelum Masehi.
Nekara itu tersimpan di Kelurahan Bontobangun, Kecamatan Bontoharu, sekitar tiga kilometer dari Benteng, pusat kota Selayar. Tinggi benda mirip dandang terbalik itu 92 sentimeter dengan ukuran keliling dasarnya, 414,5 cm. Kompas melihat nekara terbesar di Asia Tenggara itu, Selasa (10/7/2018).
Tidak sulit menemukan Bontobangun. Dengan pesawat, perjalanan Bandara Sultan Hasanuddin Makassar-Bandara H Aroeppala Selayar butuh 35 menit. Setiap hari ada dua penerbangan bertarif Rp 350.000-Rp 600.000 per orang. Dari bandara, setengah jam berkendara tiba di Bontobangun.
Alternatif lain, dari Pelabuhan Bira, Bulukumba, perjalanan dua jam menggunakan kapal penyeberangan menuju Pelabuhan Pamatata, Selayar. Kapal itu beroperasi pagi dan sore hari. Perjalanan lanjut Pamatata ke Bontobangun ditempuh satu jam.
Tiba di Bontobangun, pengunjung disambut gapura berlambang nekara. Jangan keliru, meski ada Museum Nekara, benda itu tak di sana. Nekara disimpan di rumah opu, panggilan keturunan kerajaan di Selayar.
KOMPAS/ABDULLAH FIKRI ASHRI
Museum Nekara di Benteng, Kabupaten Kepulauan Selayar, Sulawesi Selatan, terekam kamera, Jumat (6/7/2018). Museum tersebut berisi aneka kerajinan kuno, pakaian adat, hingga alat tenun.
Ahmad Wahidin (19), petugas museum, mengatakan, rumah opu 500 meter dari museum. Atas kesepakatan keluarga pemilik, nekara itu tak boleh berpindah tempat. Museum itu sendiri menyimpan 380 benda bersejarah terkait jejak sukses perdagangan masa lalu di Selayar, seperti tembikar asal China hingga alat tenun kapas kuno.
Wahid menemani Kompas bertemu opu untuk melihat nekara. Kami berjumpa Opu Aru Tandjeng Karaeng Tinggimae (68), generasi ketujuh dari Sijati Karaeng Manena, salah satu Raja Bontobangun, di rumahnya. Rumah panggung dua lantai itu beberapa bagiannya keropos.
”Pernah ada 250 turis naik kapal pesiar datang. Mereka menyaksikan nekara dan berfoto di rumah ini. Saya takut rumah ini bakal runtuh,” ujar Opu Aru.
Kisah Sawerigading
Asal usul nekara ada beragam versi. Salah satunya dari keluarga pemilik. Kisah Opu Aru, nekara Selayar ditemukan pada 1686 di Papanlohea oleh Sabura, petani penggarap tanah kerajaan, saat mengolah kebun Opu Sumahe Dg Mappasang. Opu Sumahe adalah Raja Putabangun, kerajaan di Selayar. Cangkul Sabura membenturnya. Dibawa pada raja, nekara dijadikan pusaka kerajaan.
Selayar berperan penting dalam hubungan internasional kerajaan maritim dan dunia Barat yang berburu rempah di Kepulauan Maluku.
Menurut Opu Aru, asal nekara itu dari salah satu kerajaan di China ketika periode kekuasaan manusia-dewa. Saat itu, Sawerigading, tokoh utama dalam La Galigo (naskah kuno asal Sulawesi yang diduga lahir di abad Masehi dan terpanjang di dunia) asal Luwu, datang ke China untuk berdagang. Saat bersamaan, kerajaan itu membuat sayembara membunuh raksasa Oro yang kerap mengganggu.
”Sawerigading yang memiliki banyak ilmu ikut sayembara itu. Dia membunuh Oro lalu dapat hadiah harta kerajaan, salah satunya nekara. Sawerigading bahkan dinikahkan dengan We Cuddai, putri kerajaan,” ujarnya.
Seperti tertulis di La Galigo, ketika pulang ke Luwu, entah kenapa, kapal yang ditumpangi Sawerigading dan istrinya mengarah ke Selayar. Pendapat lain, Sawerigading memang hendak pergi ke Selayar.
Versi lain ada di buku Obyek-obyek Wisata Budaya Kepulauan Selayar (2015). Asal nekara disebut dari kebudayaan Dong Son di Sungai Merah, Vietnam utara. Nekara itu diduga buatan 600 tahun sebelum Masehi dan punya kembaran di Vietnam. Dibuat menggunakan metode cor campuran perunggu. Cetakannya terbagi dalam dua bagian sebelum disatukan secara vertikal.
Penelitian terbaru empat guru besar asal China yang fokus pada nekara, Januari 2018, mengungkap fakta lain. Ermawati, staf Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kepulauan Selayar yang mendampingi penelitian, mengatakan, nekara dibuat 300 tahun sebelum Masehi. ”Ini yang tertua kedua setelah nekara di China buatan 700 tahun sebelum Masehi,” ujarnya.
Saat ini, belum ada penelitian komprehensif terkait sejarah dan fungsi utama nekara. Namun, Ermawati yakin keberadaan nekara menunjukkan Selayar pernah jadi titik penting dalam dunia pelayaran internasional.
Itu senada dengan Anthony Reid, sejarawan Indonesianis asal Australia, dalam buku panduan perjalanan Periplus tentang Sulawesi. Dia menulis, Selayar berperan penting dalam hubungan internasional kerajaan maritim dan dunia Barat yang berburu rempah di Kepulauan Maluku (Kompas, 19/11/2009).
KOMPAS/LUCKY PRANSISKA
Nekara perunggu disimpan di sebuah tempat di Kelurahan Bontobangun, Kecamatan Bontoharu, Kabupaten Selayar, Sulawesi Selatan, Selasa (17/11/2009). Benda ini sejak tahun 1760 menjadi benda pusaka Kerajaan Putabungun kemudian diserahkan kepada Kerajaan Bontobangun dan ditetapkan sebagai pusaka kerajaan.
Kekuatan nekara
Di luar silang pendapat asal usulnya, nekara ini berperan dalam hidup masyarakat lokal. Nekara dijadikan alat musik saat upacara meminta hujan hingga mengumpulkan makanan. Itu tak lepas dari keberadaan empat arca kodok sepanjang 20 cm di permukaan nekara.
”Konon, pukulan nekara dapat mengobati berbagai penyakit, seperti lumpuh,” kata Opu Aru. Bisa jadi, motif sirih, daun obat, dan bahan giok di nekara ikut memengaruhi.
Dalam perjalanannya, nekara ini pernah jatuh dalam pusaran perebutan kalangan tertentu. Tahun 1995, satu arca kodok dicuri dan ditemukan di Bandara Soekarno-Hatta. Menurut rencana, arca akan dijual Rp 40 juta. Sebenarnya, nekara juga ada di daerah lain, seperti di Nusa Tenggara Timur.
KOMPAS/KORNELIS KEWA AMA
Nekara dan moko besar disimpan di Museum daerah 1.000 moko milik Pemda Alor, Nusa Tenggara Timur, Jumat (28/10/2016). Nekara ini menjadi tempat mesbah, persembahan sesajian kepada leluhur.
Di Selayar, keluarga keturunan kerajaan pun pernah berdebat tentang lokasi penyimpanan. ”Akhirnya, kami sepakat nekara tidak boleh berpindah tempat. Lebih baik begini, di rumah ini. Jangan ada perang saudara,” ujar Opu Aru.
Tidak hanya itu, beberapa kali ada tawaran untuk membawa nekara itu ke Jakarta, bahkan ke luar negeri untuk dipamerkan.
”Informasinya, pameran bisa menghasilkan Rp 1 juta per hari. Namun, kami tidak setuju. Biarkan wisatawan yang ke sini melihatnya. Setidaknya bisa membuat Selayar semakin ramai,” ujarnya. Sejauh ini, peran nekara mengenalkan Selayar sangat ampuh.
Berjarak belasan meter dari lokasi penyimpanan nekara, pengunjung bisa napak tilas di hutan mangrove Matalalang yang dulunya istana Kerajaan Botobangun.
Di Dusun Padang, peradaban jaya Nusantara juga terlihat dari tiga meriam yang mengarah ke nekara. Meriam berbahan perunggu itu memiliki panjang berbeda, yakni 119 cm, 137 cm, dan 145 cm. Tidak jauh dari sana, ada dua jangkar raksasa sepanjang 270 cm dan 240 cm dengan ketebalan 3 cm. Benda kuno itu merupakan milik saudagar China bernama Baba Desan.
Menurut cerita yang berkembang di sana, Desan bekerja sama dengan pedagang lokal di Selayar. Meriam dan jangkar itu diduga termasuk barang yang ditukarkan. Berbagai peninggalan itu masuk dalam 25 situs bersejarah di pulau seluas 255 kilmoeter persegi itu.
Mengunjungi Selayar seperti menelusuri sebagian ”harta karun” dunia di Indonesia. Menunggu dalam senyap, mungkin jejak-jejak masa lalu itu sudah tak sabar lagi melihat bangsa ini menemukan lagi kejayaan maritim yang kini mulai dirintis lagi.