Keluarga yang Tidak Tunggal
Apa yang membuat sekelompok orang disebut keluarga? Apakah karena ada bapak, ibu, dan anak saja? Antologi lima film pendek yang terangkum dalam tajuk ”Keluarga ala Indonesia” karya para peserta Masterclass Project Change Kalyana Shira Foundation menghadirkan wajah keluarga yang tidak tunggal, beragam, dan memiliki dinamika masing-masing.
Ada keluarga hasil pernikahan dini, keluarga ayah-anak yang menanti kepulangan ibu, dan keluarga berisi papa-papi-anak, yang tertuang dalam tiga film fiksi. Dua film lain berupa film dokumenter yang mengisahkan perjuangan keluarga mempertahankan tempat tinggal dan kiprah pendeta sekaligus aktivis HIV-AIDS memberikan edukasi kesehatan keluarga.
Tidak hanya menampilkan ragam wajah keluarga, kelima film itu juga mengangkat problematika yang dihadapi setiap keluarga. Dengan durasi 15-20 menit, film-film itu memotret persoalan yang lebih besar yang kadang kala luput dari perhatian masyarakat.
Film fiksi pertama berjudul Elinah karya sutradara Ninndi Raras. Elinah (Ersya Ruswandono), gadis berusia 14 tahun, yang sudah menikah dengan pria yang berusia jauh lebih tua. Suatu malam, Elinah terbangun, merasa mual, dan muntah. Rupanya dia mengandung. Elinah senang mengajak jabang bayinya bercakap-cakap.
Suami istri itu tinggal di sebuah desa dengan rumah yang sederhana, jauh dari keluarga Elinah. Dia rindu ibunya kemudian mengambil uang suaminya dan pergi ke terminal bus. Sembari menunggu, dia pun asyik bermain di kolam terapi ikan, di mana ikan-ikan kecil menggigiti kakinya. Karena keasyikan, dia tidak sadar bus berangkat.
Dia hendak mengejar bus, tetapi karena hamil, langkahnya pun terhambat. Saking kesalnya, dia berkata, kalaulah si jabang bayi tak ada, dia bisa pulang.
Ninndi menuturkan, dirinya menemukan fenomena pernikahan dini saat mengunjungi Indramayu, Jawa Barat. Lewat film itu, dia menggambarkan betapa sulitnya menjadi ibu di usia belia, sementara si suami menuntutnya menjadi sosok istri yang dewasa. Jiwa bermain masih kuat di dalam diri Elinah.
Dalam film Har, sutradara Luhki Herwanayogi menampilkan kisah anak laki-laki bernama Har (Raditya Evandra) yang tinggal bersama ayahnya, Pras (Adi Marsono), di sebuah desa di Jawa yang belum dialiri listrik. Har menanti kepulangan ibunya yang menjadi tenaga kerja Indonesia di Hong Kong. Film itu mengambil latar tahun 1998 ketika Indonesia diselimuti gonjang-ganjing politik.
Orang-orang dewasa di sekitar Har sibuk membicarakan gonjang-ganjing politik, harga-harga naik, juga kesenangan karena sebentar lagi listrik masuk desa mereka. Sementara pikiran Har hanya soal kepulangan ibunya.
Film ini dituturkan dalam bahasa Jawa. Beberapa dialognya membuat penonton tergelak. Namun, dramanya mampu menyentuh perasaan penonton.
Lewat film Perfect P karya sutradara Santosa Amin, tergambar keluarga yang ”unik”. Seorang remaja, Putra (Chicco Kurniawan), bekerja di sebuah kafe dan menjalin asmara dengan Maria (Nala Amrytha). Suatu ketika ada pengunjung kafe, seorang pria berperawakan gemuk, tetapi bergaya gemulai, memesan makanan dan minuman dengan banyak permintaan.
Maria langsung menuding bahwa pria gemulai selalu rempong, tetapi Putra menepisnya. Keduanya lalu terlibat diskusi tentang keluarga. Kemudian ada dua pria bersama-sama yang datang ke kafe dan membuat Putra gelisah. Maria heran. Putra pun memperkenalkan dua pria itu sebagai papa dan papinya.
Santosa Amin hendak menyampaikan tentang beban yang ditanggung kaum homoseksual karena belum diterima di masyarakat. ”Kenanga itu kuning, mawar itu merah, dan dunia itu penuh warna. Itu kata Sponge Bob,” ujar Santosa tentang film itu.
Terpinggirkan
Dua film dokumenter datang dari peserta yang berasal dari Indonesia bagian timur. Film Rumah Terakhir karya Thyke Syukur mengikuti perjalanan hidup Lina, istri Junaidi, nelayan di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur. Mereka tinggal di rumah berdinding seng di atas tanah milik teman Junaidi bersama anak-anak mereka.
Di sekeliling mereka adalah area menyelam, snorkeling, dan pantai yang menyedot wisatawan. Suatu ketika rumah mereka dirobohkan secara sepihak oleh pemerintah setempat tanpa memberi mereka kesempatan untuk mencari tempat tinggal baru.
Thyke, aktivis komunitas Mata Rantai di Labuan Bajo, menyoroti orang-orang yang ”ditinggalkan” dalam laju pariwisata daerah itu. Di balik hotel, resor, dan restoran yang berdiri untuk memenuhi kebutuhan wisatawan, ada orang-orang seperti Lina yang terpinggirkan.
Film Demi Sebuah Prevensi karya Wenda Tokomonowir menghadirkan harapan berkat kiprah Mama Klasina yang keluar masuk kampung untuk mengedukasi warga di Jayapura (Papua) dan sekitarnya tentang HIV-AIDS. Dia mengajak anak laki-laki, juga pria dewasa, untuk sunat sebagai bagian dari kesehatan.
Masih banyak orang yang tidak setuju dengan sunat. Ada yang beralasan tidak sesuai agama, ada yang memang malu dan takut. Penuturan para peserta sunat dewasa membuat penonton terbahak.
Direktur Kalyana Shira Foundation Nia Dinata, yang juga menjadi produser kelima film, menuturkan, Masterclass Project Change selalu fokus pada isu toleransi dan jender. ”Isu pernikahan dini ini belum pernah diangkat. Isu dari Papua selama ini sering kali hanya soal tambang, konflik. Padahal, banyak sekali isu lain, apalagi kisah tentang mama-mama. Tidak ada habisnya,” katanya.
Nia sangat menghargai keberanian para pembuat film dari Papua dan Labuan Bajo mengingat minimnya infrastruktur perfilman di sana. Film ini bisa menjadi media bagi para aktivis untuk menyuarakan isu-isu yang terlewatkan.
Bagi para peserta dari Yogyakarta atau Jakarta, lanjut Nia, infrastruktur bukan merupakan persoalan. Mereka akhirnya bisa lebih bebas mengeksplorasi beragam isu lewat narasi dan visualisasi yang menarik.
Antologi ”Keluarga ala Indonesia” akan dibawa ke berbagai festival, kampus, komunitas film, dan lembaga budaya. Bersiaplah menikmati kejutan dari para sineas ini.
(FRANSISCA ROMANA NINIK)