Nyala Obsesi Yayoi Kusama
Dari sebanyak 130 karya lukisan, video seni, patung, dan instalasi seni Yayoi Kusama (89), asal Jepang, di Museum Seni Modern dan Kontemporer di Nusantara, Jakarta, terpapar kisah yang panjang. Yayoi Kusama seakan hadir dan bercerita tentang obsesi seninya yang tak pernah padam.
Yayoi sejak kecil tidak pernah mendapat dukungan dari keluarga untuk menjadi seorang seniman. Berbekal sekoper sketsa yang dia buat, dan 60 kimono sutera, pada 1957 Yayoi pergi dari Jepang ke Amerika Serikat. Kimono sebanyak itu dibawa untuk menghidupinya di sana,” ujar Karisa Rahmaputri dari Museum Seni Modern dan Kontemporer di Nusantara (Museum of Modern and Contemporary Art in Nusantara/Museum Macan) ketika memandu rombongan wartawan untuk menelaah karya-karya Yayoi yang dipamerkan.
Perjalanan hidup Yayoi dengan karya-karya seni beraliran minimalis, melahirkan karakter polkadot atau motif bulat-bulat, karya lukis dilapisi jaring, karya seni sketsa dekoratif, dan karya-karya terkini yang abstrak penuh warna mencolok. Direktur Museum Macan Aaron Seeto berharap, pameran ini memberikan kontribusi bagi dunia seni rupa kita.
Obsesi ”dot”
Bola-bola berukuran besar berwarna dasar kuning dengan hiasan dekoratif bulat-bulat hitam dipajang di bagian awal ruang pamer. Di situ ada pula karya Pumpkins, sebuah labu berukuran besar berwarna kuning dengan hiasan bulat-bulatan hitam. Itulah karya Yayoi tentang obsesi dot atau titik-titik.
”Sejak masa kecilnya, Yayoi mengalami halusinasi secara visual. Halusinasi itu selalu memunculkan gambar titik-titik pada obyek tertentu yang dia lihat,” ujar Karisa.
Halusinasi itu mengindikasikan Yayoi memiliki ”brain disorder” atau gangguan otak, yang kemudian banyak dilihat sebagai gangguan mental. Yayoi berhasil mendamaikan diri dengan halusinasinya dengan melukis.
”Pada usia 10 tahun, Yayoi sudah menyatakan diri ingin menjadi seniman lukis. Keluarganya menolak,” kata Karisa.
Meski berat hati, ayahnya menyekolahkan Yayoi di Kyoto Municipal School of Arts and Crafts. Yayoi—sekitar akhir 1940-an— pun belajar melukis sesuai seni tradisi Jepang, nihonga.
Pada masa inilah Yayoi harus menghadapi halusinasinya. Di dalam kuratorial pameran ”Early Works” di dinding ruang pamer, diceritakan, Yayoi juga mengalami halusinasi suara, dengan melihat tanaman dan binatang yang berbicara.
Untuk mengatasi kondisi itu, ia justru merekam dan menuangkannya ke dalam lukisannya. Di saat-saat seperti inilah, teknik atau gaya melukis nihonga dirasakan membatasinya.
Hingga suatu ketika Yayoi menjumpai karya lukis berkecenderungan mistis yang disukainya karya seniman Georgia O’Keefe dari Amerika Serikat. Tahun 1955, Yayoi berkirim surat dan menyertakan beberapa contoh karya seninya kepada O’Keefe di AS. O’Keefe menerima dan menyatakan terkejut atas karya-karya Yayoi itu. Hal ini pula yang mendorong Yayoi ingin pergi ke AS.
Menghancurkan
Di pameran bertajuk Yayo Kusama: ”Life is the Heart of a Rainbow”, ini Museum Macan menampilkan beberapa lukisan Yayoi di era tahun 1950-an. Ada di antaranya lukisan kecil yang diberi judul ”Self Portrait” (1952), ”Flower” (1952), dan ”Plaster Spirit” (1953). Wujud obyek dari lukisan-lukisan itu berlanggam abstrak, tidak pernah sama dengan yang dimaksudkan Yayoi sesuai judul-judulnya.
Periode ini menunjukkan Yayoi sudah beralih ke gaya melukis abstrak. Kemudian seperti apakah lukisan-lukisan realisme nihonga yang pernah ia buat? Sebelum keberangkatannya ke AS pada 1957, Yayoi banyak menghancurkan karya-karya lukisannya itu.
Jaring tak berhingga
Fase karya awal Yayoi dilanjutkan fase jaring tak berhingga (infinity nets). Fase ini ditandai karya-karya lukisan Yayoi di New York yang diberi lapisan jaring di depannya.
Jaring-jaring itu bukan terinspirasi halusinasi visualnya, tetapi inspirasinya dari pemandangan ombak Samudra Pasifik yang dilihat Yayoi dari jendela pesawat terbang melintas dari Jepang ke New York. Yayoi selain meraih inspirasi dari dunia yang tidak nyata atau maya, juga dari dunia nyata.
Di Museum Macan, dipamerkan karya jaring tak berhingga Yayoi yang terinspirasi ombak Samudra Pasifik berjudul ”No. A” (1959) koleksi Yas Takeda dari Jepang. Karya ini yang pertama kali dipamerkan Yayoi di New York.
Lukisan ”No. A” berukuran 64 cm kali 80 cm itu bernuansa abstrak dengan tekstur dominan warna putih. Ceruk-ceruk kecil berwarna gelap tersebar di bawah tekstur warna putih itu. Ini seperti pemandangan buih putih di hamparan air yang luas.
Yayoi menggunakan teknik sama untuk melukis dengan judul ”Infinity Nets” (E.T.A) pada 2000, ukuran 194 cm x 1.024 cm. Ini lukisan Yayoi terbesar yang dipajang di Museum Macan selama pameran yang berlangsung pada 12 Mei hingga 9 September nanti.
Selama di AS, ada rekaman foto mengenai aktivitas performa seni Yayoi. Di antaranya untuk menolak peperangan (perang Amerika di Vietnam), Yayoi dan teman-temannya membuat performa melukis tubuhnya dengan bentuk bulat-bulatan dan tampil bertelanjang di jalan.
Di sini terlihat aktivitas Yayoi tidak hanya terkungkung oleh pemikiran atas dirinya sendiri. Yayoi juga menuangkan pemikirannya tentang dunia luar.
Di antaranya, Yayoi di kemudian hari menciptakan karya instalasi ”Infinity Mirrored Room – Brilliance of The Soul” (2014). Dimensi ruang kubus yang terbatas dibuat Yayoi menjadi ruang tak terbatas dengan pemantulan cermin di dalamnya. Bola-bola diposisikan sedemikian rupa untuk mengilustrasikan semesta.
Yayoi mengingatkan betapa tak berhingganya semesta. Kemudian betapa kecilnya kita di semesta ini.
Pada 1966, di luar undangan resmi Yayoi menghadirkan seni eksperimental di Biennale Venesia Ke-33 di Venesia, Italia. Ia membuat kritik betapa narsisnya dunia terhadap karya-karya seni rupa pada masa itu.
Yayoi menampilkan 1.600 bola stainless steel yang bisa digunakan untuk becermin berdiameter sekitar 30 cm. Di dekat Paviliun Italia, Yayoi memberi judul karya eksperimentalnya itu sebagai ”Narcissus Garden”.
Di situ Yayoi menjual setiap bolanya seharga 2 dollar AS. Bola-bola ini juga yang kemudian dipamerkan di Museum Macan saat ini. Jumlahnya ada 1.500 bola. Di Museum Macan, di sudut ruang pamer bola-bola ini akhirnya menjadi sudut gambar favorit pengunjung untuk berswafoto.
Kembali ke Jepang
Yayoi memutuskan kembali ke Jepang dari AS pada 1973. Di Jepang, ia melihat perubahan sosial dan ekonomi yang drastis. Begitu pula, ia melihat masyarakat Jepang yang tak acuh dan berkomentar dangkal terhadap karya-karyanya.
Komentar dangkal itu di seputar kondisi psikologis Yayoi dan kesan eksentrik terhadap dirinya. Yayoi pun memutuskan sendiri untuk dirawat di sebuah rumah sakit jiwa. Pada 1977 Yayoi membuat studio di seberang rumah sakit itu dan berkarya di sana hingga sekarang.
Di Jepang, selain mengembangkan corak karya polkadot, Yayoi mulai membuat ragam karya figuratif maupun dekoratif. Selain itu, Yayoi mulai membuat prosa, puisi, dan video seni.
Pada 2004 Yayoi memamerkan karya-karya sketsanya dengan simbol masa kekanak-kanakannya dalam pameran tunggal Kusamatrix di Mooi Art Museum, Tokyo. Karya-karya figuratif dan dekoratif dalam sketsa Yayoi saat itu terus dikembangkan. Di antaranya menjadi seri sketsa dengan teknik cetak saring.
Seri sketsa dengan teknik cetak saring itu kemudian diberi judul ”Love Forever” (2004-2007). Ditemukan lapisan variasi baru selain pengulangan, ada pengembangbiakan subyek yang dipicu ketakutan terhadap ruang kosong (horror vacui).
Seri sketsa ”Love Forever” ini akhirnya berkembang dalam penyajiannya. Di antaranya terkait kembali dengan ”Infinity Mirrored Room” menjadi kotak intip ”I Want to Love on a Festival Night” (2017).
Seri sketsa ”Love Forever” ini mengantar ke bagian terakhir fase karya Yayoi, yaitu ”My Eterna Soul”. Yayoi berencana membuat 100 karya pada fase ini, tetapi akhirnya tak bisa berhenti. Hingga sekarang sudah ada sekitar 500 karya ”My Eternal Soul” di studionya.
Saat ini sebanyak 24 karya ”My Eternal Soul” dipamerkan di Museum Macan. Karya lukisan itu bercorak abstrak dengan warna-warna mencolok. Yayoi seakan menciptakan ilusi optik yang menggelora, di samping ia wujudkan abstraksinya itu ke dalam wujud tiga dimensi patung lunaknya.
Yayoi Kusama kini menjadi fenomena seni rupa dunia. Ia bersikukuh tak mau menggolongkan dirinya ke dalam aliran tertentu.
Yayoi menjadi contoh figur yang berdamai dengan ”brain disorder”, yang kerap dimaknai sebagai gangguan mental. Obsesinya menyalurkan di bidang seni rupa tak pernah padam dan akhirnya memberikan sumbangan pengetahuan baru.