Keseharian Pramoedya
Pram untuk nama Pramoedya Ananta Mastoer, yang kemudian diubah oleh Pramoedya sendiri menjadi Pramoedya Ananta Toer (6 Februari 1925-30 April 2006). Alasannya, Mastoer ada kata ”Mas” yang terkesan aristoktratik dalam tradisi budaya Jawa.
Pramoedya sendiri tumbuh dengan ideologi kiri yang justru kerap menghantam aristokrasi itu. ”Pameran ini bukan seperti pameran-pameran sebelumnya tentang karya Pramoedya. Bukan seperti pameran sampul buku karya Pramoedya,” kata Engel, Kamis (19/4/2018) sore itu.
Dalam rentang masa hidup Pram yang penuh tekanan, ia menghasilkan sekitar 50 karya buku. Hingga masa akhir hayatnya, diketahui setidaknya Pramoedya tengah menggarap dua buku besar yang belum sempat diterbitkan.
Kedua buku itu adalah Ensiklopedia Citrawi Indonesia dan Ensiklopedia Geografi Indonesia. Engel menyebutkan, di rancangan buku Ensiklopedia Geografi Indonesia itu Pramoedya mengumpulkan ribuan nama desa yang ada di Indonesia.
Ensiklopedia Citrawi Indonesia berisikan naskah karya Pramoedya tentang perjalanan kebudayaan di Nusantara. Dua rancangan ensiklopedia karya Pramoedya ini terbayang bakal menarik untuk diikuti. Mengingat tulisan Pramoedya selalu memikat dan cerdas, hingga terbukti sampai sekarang ada alih bahasa karya-karya Pram ke dalam 42 bahasa dunia. Tetapi, pameran Catatan & Arsip ”Namaku Pram” bukan ditujukan untuk memamerkan itu.
Pameran ini untuk mengetengahkan keseharian Pram. Pameran juga untuk memberikan contoh hidup Pram bagi generasi penerus sekarang.
Pram sebagai contoh hidup yang nyata, ada di antara polemik kehidupan sosial politik kita. Pram memberikan hidupnya sebagai pengalaman konkret berbangsa dan bernegara. Manfaat yang bisa dipetik, bergantung sejauh mana generasi bangsa ini dalam memaknainya.
Hidup Pram tidak hanya menimbulkan ”masalah” bagi pemerintahan Orde Baru. Pram pun pernah berpolemik dan menimbulkan ”masalah” bagi pemerintahan Orde Lama. Bahkan, pernah bermasalah pula dengan pemerintah kolonial Hindia Belanda hingga ia sempat mendekam di penjara pula saat itu.
Itulah Pram. Hidupnya penuh perlawanan. Hidupnya untuk menggugat lewat karya-karya tulis yang ditujukan demi rasa keadilan sesuai hati nurani dan sejauh pengetahuannya.
Tujuh bagian
Pameran Catatan & Arsip ”Namaku Pram” disuguhkan ke dalam tujuh bagian di Galeri Dia.Lo.Gue yang berlangsung antara 17 April dan 20 Mei 2018. Pameran serupa yang jauh lebih ringkas digelar pula di Galeri Indonesia Kaya, Jakarta, 17 April hingga 2 Mei 2018.
Titimangsa Foundation yang dipimpin artis Happy Salma menggandeng Galeri Dia.Lo.Gue dan didukung Bakti Budaya Djarum Foundation menghelat pameran tersebut. ”Dari sinilah kita bisa melihat keseharian Pram,” ujar Danny Wicaksono, desainer tata letak pameran.
Bagian pertama, ”Dinding Perjalanan Hidup Pram”. Di situ terpampang garis panjang dari angka tahun 1925, tahun kelahiran Pram, hingga tahun 2006 saat Pram tutup usia. ”Bibliografi Pram ada di ’Dinding Perjalanan Hidup’ ini, termasuk kejadian-kejadian penting secara nasional maupun internasional yang dialami Pram,” kata Danny.
”Dinding Perjalanan Hidup Pram” itu terbentang mulai dari pintu masuk hingga ke tengah ruang galeri. Banyak pengunjung yang tekun menelusurinya dari ujung awal ke ujung akhirnya.
Bagian kedua, ”Ruang Arsip”. Di sinilah ada tulisan tangan maupun ketikan Pram yang menjadi bagian dari buku yang belum sempat diterbitkan, yaitu Ensiklopedia Citrawi Indonesia dan Ensiklopedia Geografi Indonesia. Ada pula arsip Pram berupa surat kepada anaknya.
”Hallo Gus. Kau sudah besarkah sekarang? Kau sudah di Klas I SD sekarang? Bagaimana angka-angkamu? Ingin benar aku lihat kau. Gagahkah kau? Pasti kau bakal gagah seperti kedua kakekmu. Kau radjin bekerdja dan membantu bunda, bukan? .......”
Itulah salah satu petikan surat Pram tertanggal Wanajasa, 6 Oktober 1972. Menurut Danny, surat ini ditujukan kepada salah satu anaknya, Yudhistira Ananta Toer.
Danny memberikan catatan, keluarga Pram sangat disiplin menyimpan arsip dari Pram. Begitu pula, Pram sendiri dalam hidupnya sangat disiplin bertindak sebagai dokumentator. Pram bertindak sebagai pengarsip yang disiplin.
Danny pun menunjukkan buku tebal hasil kopian kliping milik Pram di Ruang Arsip itu. Isinya kliping dari sejumlah koran nasional dan internasional.
Bagian ketiga, ”Surat-surat Keluarga”. Di sini dipajang surat-surat yang dikirimkan Pram ataupun surat yang dikirimkan anak dan istrinya kepada Pram. Bagian keempat, ”Tembok Memorabilia”. Berbagai lukisan, gambar dengan model Pram atau yang lainnya, misalnya untuk keperluan sampul buku, ada di situ.
Di ”Tembok Memorabilia” itu terpajang antara lain lukisan ”Nyai Ontosoroh”oleh Galam, 2002. Lukisan ”Solilouy”oleh Enrico Soekarno, 2002, serta gambar Pram dari masa ke masa oleh Enrico Soekarno.
Bagian kelima, ”Ruang Kerja”. Sebuah ruang yang ditata untuk menunjukkan situasi kamar atau ruang kerja Pram di rumahnya. Di situ ada tiga mesin ketik, meja, kursi, rokok, asbak, geretan, sarung yang disukai Pram, celana dan kemeja favorit Pram.
Ada pula piagam Hadiah Budaya Asia Fukuoka (Fukuoka Cultural Grand Prize), 2000. Lalu, UNESCO Madanjeet Singh Prize, Perancis, 1996.
Di ”Ruang Kerja” ini dilantunkan musik dengan lagu ”Bunga Penutup Abad” karya Ricky Lionardi. Lagu ini pula yang pernah mengiringi pertunjukan teater produksi Titimangsa Foundation, Bunga Penutup Abad, 2006.
Bagian keenam, ”Wajah Buku”. Danny menata setidaknya dari sampul 50 buku karya Pram ada di situ. Bagian ketujuh, ”Taman Kata”. Nukilan kata atau kalimat puitik yang dipetik dari sejumlah karya tulis Pram dituangkan ke dalam bentangan kain putih tegak. Kain-kain yang bertuliskan kata itu menjadi ”Taman Kata” di bagian belakang galeri Dia.Lo.Gue.
”Hidup sungguh sangat sederhana. Yang hebat-hebat hanya tafsirannya.” Demikian salah satu kutipan di dalam Taman Kata itu.
Tertulis pula pada bentangan kain itu, ”Jangan kehilangan keseimbangän”.
Lainnya, ”Aku kira, masa terbaik dalam hidup seseorang adalah masa ia dapat menggunakan kebebasan yang telah direbutnya sendiri”.
Pram memang luar biasa. Akan tetapi, seperti dikatakan Engel Tanzil, semua proses Pram itu tidak pernah serba instan. Melalui keseharian Pram, kita belajar untuk menjadi lebih bermartabat. (NAWA TUNGGAL)