Melodrama Rasa Baru
Arini merupakan film pertama Ismail yang diadaptasi dari sebuah novel. Cerita berdasarkan novel karya Mira W berjudul Masih Ada Kereta yang Akan Lewat itu pernah difilmkan tahun 1987 dengan bintang Rano Karno dan Widyawati. Kala itu, film tersebut dinilai sukses.
Rasa baru ini, menurut Ismail, penting karena mau tak mau penonton pasti akan membandingkan kedua film tersebut. ”Ini tantangan juga untuk mencari hal-hal baru bagi diri sendiri. Jika saya tidak merasakan kebaruan, penonton pasti juga tidak merasa ada kebaruan,” tuturnya.
Itulah sebabnya, dia justru ingin melepaskan diri dari bayang-bayang film sebelumnya. Meskipun jalinan ceritanya sama, karena berdasarkan novel yang sama, film lawas dan film garapannya tidak hendak berkompetisi. Dulu, kata Ismail, ia pernah menonton film lawasnya, tetapi tidak terlalu ingat detailnya.
Ismail bahkan melarang segenap kru film, terutama para pemerannya, untuk menonton film lawas Arini. Alasannya, anak- anak muda ini nanti malah tidak berani ketika dihadapkan pada nama-nama besar dalam film tersebut. ”Agar mereka tidak ikut takut. Nanti film jadi jelek. Itu yang saya hindari. Lebih baik mereka fokus pada skrip dan novel karena bahasa teks tidak terlalu mengancam,” ujar Ismail.
Jadilah akhirnya film Arini, Masih Ada Kereta yang Akan Lewat menjadi film melodrama yang lebih rileks dan tidak berlebih-lebihan. Penataan gambar juga tidak dilakukan berlebihan, lebih banyak mengambil lanskap atau ruang yang sudah bagus.
Kilas balik
Garis besar kisahnya sejalan dengan novel, yakni kisah cinta antara Arini (Aura Kasih) dan Nick (Morgan Oey) yang terpaut usia 15 tahun serta terhalang kabut masa lalu Arini. Keduanya bertemu dalam kereta di Jerman. Arini sedang menyelesaikan studi, sementara Nick masih mahasiswa yang sedang menjadi backpacker di Eropa.
Di tengah perjalanan, Arini yang sedang melamun dikejutkan oleh Nick yang duduk di depannya dan menitipkan tas. Itulah awal mula Nick yang terkesan jatuh cinta begitu saja kepada Arini.
Cerita berjalan berselingan dengan kilas balik masa lalu Arini yang menyakitkan. Satu percakapan atau perjalanan Arini dan Nick langsung disambut adegan kisah di masa lalu Arini.
Setelah Arini menyelesaikan studi, latar cerita beralih ke Yogyakarta. Di kota itu, kepahitan hidupnya berawal. Arini berhadapan langsung dengan orang-orang dari masa lalu yang menyakitinya. Sementara di hadapannya juga, Nick yang menyusul ke Yogyakarta tak henti mengejar cintanya, membuat galau.
Sejak awal film hingga mendekati akhir, sosok Arini hampir tidak pernah tersenyum. Kesedihan selalu menggelayuti raut mukanya. Karakternya digambarkan polos, baik, tetapi keras untuk menutupi luka batinnya. Nick digambarkan sebagai anak muda milenial yang tidak terlalu peduli pendapat orang sekitarnya. Dalam banyak hal, sifat keduanya sangat bertentangan.
”Kenapa kamu optimistis?” tanya Arini.
”Karena kamu pesimistis,” jawab Nick.
Berhubung judulnya kereta, ada banyak adegan terjadi di dalam kereta. Rangkaian gerbong kereta juga berseliweran, baik
di Jerman maupun di Yogyakarta.
Bagi penonton perempuan, terutama usia 20-30 tahun, film ini bakal lebih menyentuh. Bikin baper, istilahnya. Dialognya pun ringan, bercampur dengan bahasa Inggris.
Meskipun melankolis, film ini tidak mengumbar air mata dan kesedihan berlebihan. Intinya tentu bukan semata soal cinta perempuan matang dan seorang lelaki muda, melainkan juga tentang perjuangan untuk bahagia.
Ismail menyadari, film Arini, Masih Ada Kereta yang Akan Lewat didesain untuk penonton yang spesifik. ”Kalau melihat reaksi terhadap film itu, saya senang karena sesuai desain penontonnya. Sebab, tidak semua penonton bisa disenangkan. Kalau pria dewasa mungkin beda tanggapannya,” ujar Ismail.
(FRANSISCA ROMANA NINIK)